Gita Utami 0shares PELATIHAN KEPEMIMPINAN SDGS DALAM MENDUKUNG MERDEKA BELAJAR DI MALUKU Read More BIOGRAFI DAN KONTRIBUSI PEMIKIRAN NINA NURMILA TERHADAP KESETARAAN GENDER BIOGRAFI NINA NURMILA Prof. Dra. Hj. Nina Nurmila, MA, Ph.D lahir di Cirebon, pada tanggal 6 September 1969. Ia adalah seorang peneliti, penulis, editor, dosen senior dan aktivis di Alimat, yaitu sebuah gerakan untuk keadilan dan kesetaraan di dalam keluarga. Nina sudah menjadi dosen di UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung sejak 1994 dan menjadi Guru Besar atau Profesor di Bidang Ilmu Fikih sejak 2017. Nina terlibat dalam proses persiapan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017. Gambar 1 Nina Nurmila merupakan alumni Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam, sekaligus menjadi Dosen pada Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Peraih gelar master dari Murdoch University, Western Australia, tahun 1997 ini, mengaku banyak mendapat pengalaman berkesan. Salah satu yang menurutnya paling membekas di hati adalah pengalamannya menjadi dosen tamu di Amerika Serikat selama satu tahun pada 2008-2009. Ia menjadi dosen tamu di Departemen Sosiologi dan Antropologi, University of Redlands, California yang dibiayai oleh beasiswa Fullbright. Salah satu hobinya yaitu menulis artikel dalam Bahasa Inggris dan berhasil diterbitkan di jurnal internasional, yang kemudian mengantarkannya menjadi Guru Besar pada 20 September 2017. PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI TERHADAP KESETARAAN GENDER Sebagai wujud kontribusi serta perjuangannya dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan gender, Nina Nurmila telah mengambil peranan yang sangat penting. Beberapa bentuk perjuangannya terutama untuk membela hak-hak perempuan salah satunya yaitu mengambil peran sebagai Anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Pada saat itu, Nina Nurmila menyatakan dukungan KUPI terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dengan alasan: 1) menolak kemafsadatan, di mana kekerasan seksual masih banyak terjadi dengan berbagai modus, 2) menarik kemaslahatan, 3) menolak kemungkaran, 4) perlindungan martabat manusia dan 5) perlindungan keturunan. Selain sebagai Anggota KUPI, ia juga menjadi salah seorang Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) periode 2015-2019. Gambar 2 Tidak hanya terjun sebagai anggota suatu organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan, Nina juga memberikan kontribusinya melalui gagasan dan pemikiran yang dituangkan dalam beberapa karya ilmiah. Salah satu hasil pemikirannya yaitu pada tahun 2009, Nina berhasil mempublikasi buku yang berjudul Women, Islam, and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia yang diterbitkan oleh penerbit di New York, Routlegde. Buku tersebut merupakan publikasi disertasinya kala menempuh studi doktoral di University of Melbourne, Australia, dan diterbitkan ulang pada 2011. Latar belakang penulisan buku ini karena ia menemukan banyak fakta yang menunjukkan bahwa poligami menimbulkan banyak keburukan, termasuk kekerasan, baik fisik, psikologis, seksual maupun penelantaran ekonomi. Selain itu, Nina juga pernah menulis Modul Studi Islam dan Gender (2008) yang diterbitkan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan menjadi penerjemah untuk buku Masyarakat Egaliter Visi Islam (1999) yang diterbitkan oleh Mizan. Gambar 3 Buku Karya Nina Nurmila Lebih lanjut, kehadiran Nina Nurmila tidak hanya melalui sebuah organisasi, atau sebuah karya tulis dalam buku-buku. Tetapi, Nina Nurmila juga hadir dan aktif menjadi narasumber dalam seminar-seminar, talk show, podcast, dan media-media penyiaran lainnya dalam mewujudkan penegakan keadilan dan kesetaraan gender. Kehadirannya pun memberikan pengaruh dan kontribusi yang sangat besar dalam menyuarakan hak-hak perempuan yang sering kali tertindas karena ketidakadilan dan ketidaksetaraan itu. KONTEKS PEMIKIRAN NINA NURMILA Isu kesetaraan gender menurut sebagian orang merupakan adopsi dari budaya Barat. Banyak kalangan menilai konsep gender tak ada dalam ajaran Islam. Namun, Prof. Dra. Nina Nurmila, Ph.D., membantah anggapan tersebut. Gender sebenarnya adalah sebuah konsep yang diajarkan dalam Islam. Sebagai contoh, Islam menolak ketidakadilan terhadap perempuan, begitupula konsep gender. Itulah yang membuat Nina tak bergeming ketika mendapat berbagai kritikan terkait perjuangannya dalam kesetaraan gender. Nina menyebut meski tema gender sendiri tak ada dalam Islam, konsep gender sebenarnya ada dalam kitab Al-Qur’an. Gender merupakan konsep yang diusung para kelompok gerakan feminism dalam rangka memperjuangkan kesetaraan gender, keadilan, dan menghilangkan berbagai diskriminasi yang ada.Penolakan tersebut terjadi karena buruk sangka bahwa feminisme itu isu Barat yang tidak ada hubungannya dengan isu perempuan di Indonesia. Idealnya, mereka harus mau belajar sebelum alergi menilai negatif terhadap isu feminisme. Karena tujuan akhir feminisme adalah mencapai keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan Nina memberikan pengertian bahwa keseteraan gender adalah kondisi dimana laki-laki dan perempuan sama-sama mendapat akses, semisal akses pada pendidikan dan pelayanan kesehatan, kontrol, misalnya memiliki kontrol atas tubuh atau penghasilan yang didapat, dan partisipasi. Kesetaraan gender terjadi jika laki-laki ataupun perempuan dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan baik di dalam maupun luar rumah. Mayoritas masyarakat di Indonesia masih belum bisa membedakan gender dan kodrat. Biasanya gender selalu diidentikan dengan jenis kelamin. Padahal realitasnya, gender adalah apa yang bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, sedangkan kodrat adalah bawaan manusia yang tidak bisa dirubah. Kodrat adalah ketetapan yang tidak bisa dirubah, kodrat yang membedakan lelaki dan perempuan, misalnya perempuan mengalami menstruasi, hamil, dan menyusui sedangkan lelaki tidak mengalami hal-hal tersebut. Gender bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan semisal bekerja di ruang publik atau ranah domestik. Nina Nurmala menyimpulkan bahwa feminisme sebagai kesadaran akan penindasan atau subordinasi perempuan karena jenis kelamin, sekaligus cara untuk menghilangkan subordinasi tersebut guna mencapai kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Feminisme memiliki banyak jenis, seperti liberal, radikal, sosialis, marxis, eksistensialis dan pos modern. Artinya, feminisme tidak homogen. Nina sendiri mengategorikan feminisme Indonesia menjadi tiga jenis. Pertama, feminis sekular yakni datang dari afiliasi agama apa pun baik Islam, Kristen atau lainnya yang menggunakan hukum nasional atau internasional untuk mencapai keadilan gender. Kedua, feminis islamis yang meyakini bahwa laki-laki dan perempuan adalah komplementer. Laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan perempuan yang mengatur rumah tangga. Kelompok ini di anggap sebagai anti-feminis meskipun mereka aktif dalam kehidupan publik. Ketiga, feminis muslim yang meyakini bahwa al-Qur’an adalah dasar kuat bagi kesetaraan gender, namun telah ditafsirkan menurut lensa patriarki. Artinya, diperlukan penafsiran kembali berdasarkan perspektif kesetaraan gender. Dalam beberapa kesempatan, Nina Nurmila menyampaikan keprihatinannya terhadap maraknya praktik kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan gender yang terjadi di era demokrasi sekarang ini. Ketidakadilan terhadap kaum perempuan hingga kini masih kerap dialami. Bahkan kekerasan terhadap perempuan juga masih dominan terjadi, bukan hanya di ranah domestik tapi juga di ranah publik. Untuk itu persoalan kesetaraan gender mutlak dilakukan, sehingga peran perempuan sama dengan laki-laki. Menurut doktor lulusan Melbourne University ini, ada lima indikator terjadinya ketidakadilan gender, yaitu diskriminasi, subordinasi, marjinalisasi, multiple burden (beban ganda), dan stereotype. Terkait dengan peran perempuan, Nina berpandangan bahwa menjadi ibu rumah tangga itu merupakan peran, bukan kodrat perempuan. Karena peran, maka urusan domestik rumah tangga bisa dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Karena itu, baik laki-laki maupun perempuan harus bisa mengurus urusan domestik rumah tangga. Supaya perempuan menjadi berdaya, baik di urusan domestik maupun publik, ada tiga kondisi yang harus dipenuhi. Tiga kondisi tersebut adalah berpendidikan tinggi, memiliki akses terhadap informasi, dan kemampuan memanfaatkan informasi untuk mengakses berbagai kesempatan dan peluang karir yang memerlukan kompetensi. KESIMPULAN Nina Nurmila merupakan salah satu tokoh aktivis yang menyuarakan dan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan bernegara. Sebagai wujud kontribusi serta perjuangannya dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan gender, Nina Nurmila telah mengambil peranan yang sangat penting. Beberapa bentuk perjuangannya terutama untuk membela hak-hak perempuan yaitu dengan mengambil peran sebagai seorang peneliti, penulis, editor, dosen senior dan aktivis. Kehadirannya sangat memberikan pengaruh dan kontribusi yang sangat besar dalam menyuarakan hak-hak perempuan yang sering kali tertindas karena ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Kegigihannya dalam menyuarakan keadilan dan kesetaraan itu, melahirkan banyak karya yang bisa memberikan kontribusi terhadap bangsa untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya sesuai dengan cita-cita Banga Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Rusli Latief, https://kupipedia.id/index.php/Nina_Nurmila, diakses pada Selasa, 11 Juni 2024. Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, Perempuan Masih Alami Ketidakadilan Gender, https://www.uinjkt.ac.id/id/perempuan-masih-alami-ketidakadilan-gender/, diakses pada Selasa, 11 Juni 2024. Nina Nurmila: Konsep Gender Tidak Bertentangan dengan Ajaran Islam, https://duniadosen.com/nina-nurmila-konsep-gender-tidak-bertentangan-dengan-ajaran-islam/, diakses pada Selasa, 11 Juni 2024. Mevy Eka Nurhalizah, Penyebaran Ide Feminis Muslim Di Indonesia, https://nursyamcentre.com/artikel/riset_budaya/penyebaran_ide_feminis_muslim_di_indonesia_, diakses pada Selasa, 11 Juni 2024. Ibnu Fauzi, Nina Nurmila: Gender Bukanlah Kodrat, https://suakaonline.com/nina-nurmila-gender-bukanlah-kodrat/, diakses pada Selasa, 11 Juni 2024.