fbpx

.

PENTINGNYA PERAN MASYARAKAT TERHADAP PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI PERSIDANGAN MELALUI PEMANTAUAN PERSIDANGAN

Oleh

Hendro Tri Wibowo

Program Kepemimpinan SGDs Angkatan VI

 

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan terkait pentingnya Pemantauan persidangan perkara perempuan berhadapan dengan Hukum bagi masyarakat dikaitkan dengan Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (SDGs).  Adapun subjek  dalam penelitian  ini  adalah  perempuan berhadapan dengan Hukum di persidangan seluruh Indonesia.  Teknik  pengumpulan data adalah dengan Analisis data dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Berdasarkan  hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa  Pemantauan Persidangan melalui  Pengawasan Persidangan dan Komisi Yudisial RI butuh peran serta dari masyarakat untuk terlibat langsung mengawasi jalannya persidangan khususnya persidangan perempuan berhadapan dengan Hukum.;

Kata Kunci : Pemantauan Persidangan, Pembangunan Berkelanjutan; SDGs; Perempuan berhadapan dengan Hukum; Kesetaraan Gender

 

PENDAHULUAN

Kesetaraan gender adalah salah satu isu yang menjadi perhatian, disamping isu korupsi, Mafia Tanah, restorative justice maupun isu-isu lainnya. Di Indonesia kekerasan terhadap perempuan masih banyak terjadi. Dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2021 sepanjang tahun 2020 disebutkan masih adanya kejadian kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah pribadi atau privat sebanyak 79% (6.480 kasus), dan di ranah komunitas/masyarakat sebesar 21% (1.731 kasus). Kekerasan yang sering dialami perempuan meliputi kekerasan fisik, verbal, dan seksual. Perkara kekerasan terhadap perempuan, seperti KDRT, pembunuhan, pemerkosaan, diproses sampai ke pengadilan dan pelakunya diadili dihadapan majelis hakim.[1]

Pada tanggal 25 sampai dengan 27 November 2015 negara-negara anggota PBB termasuk salah satunya Indonesia telah menan-datangani kesepakatan terkait Transforming our Word: The 2030 Agenda for Sustainable Development sebagai bukti komitmennya untuk melaksanakan SDG (Sustainable Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sebanyak 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan 169 target yang ditetapkan seluruhnya terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan, menyeimbangkan tiga dimensi pembangunan berke-lanjutan: ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Tujuan 5 adalah mencapai kesetaraan gender dan mem-berdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Ada 9 target dalam Tujuan 5 sebagai syarat utama tercapainya tujuan ini.[2]

Perempuan dan laki-laki adalah mitra sejajar dalam pembangunan, sayangnya konsepsi ini tidak mudah untuk diwujudkan. Perempuan masih mengalami marginalisasi, dominasi, dan diskriminasi di berbagai bidang baik di area reproduktif (domestik) maupun produktif (publik). Dalam bidang hukum tercatat perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) mengalami peningkatan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 sepanjang tahun 2020 terjadi sebanyak 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Lembaga layanan/formulir pendataan Komnas Perempuan mendata sebanyak 8.234 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) terdiri dari jenis kekerasan di ranah pribadi atau privat sebanyak 79% (6.480 kasus) dan di ranah komunitas/publik sebesar 21% (1.731 kasus). Kekerasan terhadap perempuan dengan pelaku negara berjumlah 23 kasus (0.1%). Kekerasan di ranah negara antara lain adalah kasus PBH sebanyak (6 kasus), kasus kekerasan terkait penggusuran 2 kasus, kasus kebijakan diskriminatif 2 kasus, kasus dalam konteks tahanan dan serupa tahanan 10 kasus, serta 1 kasus dengan pelaku pejabat publik. (Tim Komnas Perempuan. 2021. Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2021. Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-19. Jakarta: Komnas Perempuan.)

3.838 kasus, laporan lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus. Artinya, terjadi peningkatan signifikan 50% kasus KBG terhadap perempuan, yakni menjadi 338.506 kasus pada 2021 dari 226.062 kasus di tahun 2020. Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG sebesar 52% yakni dari 215.694 pada 2020 menjadi 327.629 di tahun 2021. Peningkatan juga terjadi pada sumber data pengaduan ke Komnas Perempuan sebesar 80% yaitu dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus di tahun 2021. Selama Januari s.d November 2022, Komnas Perempuan telah menerima pengaduan 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal. Data tahun 2020 hingga 2022 menunjukkan tren kasus kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Melihat data di atas, relasi kuasa antara perempuan dan lakilaki memang masih timpang. Ketidaksetaraan dan diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi meskipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) telah mengamanatkan negara wajib melakukan tindakan menyeluruh dalam mewujudkan kesetaraan substantif dan anti-diskriminasi. Negara didorong untuk memastikan bahwa Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dapat diterapkan dalam sistem hukum dan penetapannya sepenuhnya digabungkan dengan undang-undang nasional.

Dalam lingkup penanganan perkara di persidangan, Mahkamah Agung (MA) telah melakukan langkah konkret dalam memastikan penghapusan segala potensi diskriminasi terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum (PBH) dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017[3]. Peraturan ini menetapkan standar bagi hakim dan segenap aparatur peradilan dalam menangani perkara yang melibatkan perempuan, baik sebagai pelaku, saksi, dan/atau korban, atau para pihak.

Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi berinisiatif mengambil langkah untuk memastikan tidak adanya diskriminasi berdasarkan gender dalam praktik 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. KY melakukan pengawasan hakim di dalam persidangan dan di luar persidangan sebagai bagian dari upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Sebagai bagian dari lembaga negara, KY mempunyai andil dalam pemenuhan hak PBH melalui tugasnya untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam mengimplementasikan PERMA No. 3 Tahun 2017 dan KEPPH. Pemantauan terhadap perkara PBH dimaksudkan untuk mengamati hakim dalam menerapkan asas-asas keadilan, non diskriminasi, dan kesetaraan gender serta pemenuhan hak PBH sebagai wujud penegakan KEPPH.

Komisi Yudisial (KY) berfungsi melakukan pencegahan dan penegakan kode etik hakim, termasuk melakukan pemantauan persidangan, sebagaimana diatur Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial[4]. Untuk itu KY memiliki kepedulian yang besar dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan keseteraaan gender secara keseluruhan, khususnya yang berkaitan dengan praktik di pengadilan. Dalam menjalankan tugas pemantauan perilaku hakim, KY melakukan kegiatan pengamatan, pendeskripsian, pengecekan secara langsung jalannya proses persidangan secara cermat dan berkesinambungan yang bertujuan sebagai kontrol agar tidak terjadi pelanggaran kode etik hakim. Ini juga dimaksudkan untuk mengawal persidangan agar berlangsung adil bagi semua pihak yang berperkara di persidangan, termasuk perkara yang mana salah satu pihaknya adalah perempuan. Jika berhadapan dengan masalah hukum, perempuan mengalami berbagai hambatan akibat ketidaksetaraan gender. Hambatan yang dialami perempuan ketika berhadapan dengan hukum dalam lingkup persidangan meliputi ancaman dan tekanan sebagai korban, pelaku, saksi, atau para pihak dalam suatu perkara karena khawatir akan terjadi kekerasan berulang oleh pelaku, sehingga takut untuk memberikan kesaksian. Perempuan juga berhadapan dengan masalah keterbatas akses terhadap informasi hukum, keterbatasan secara fisik atau mental untuk berhadapan dengan hukum, sehingga membutuhkan pendampingan/ fasilitas.

PEMANTUAN PERSIDANGAN PERKARA PEREMPUAN DENGAN HUKUM BAGI MASYARAKAT

Kegiatan pemantauan adalah suatu kegiatan pengamatan, pendeskripsian, pengecekan secara langsung yang dilakukan oleh KY terhadap jalannya proses persidangan dan/atau pengadilan secara cermat dan berkesinambungan yang bertujuan sebagai kontrol agar tidak terjadi pelanggaran KEPPH dan mengawal persidangan yang adil bagi semua pihak yang berperkara di persidangan. Pemantauan persidangan pada dasarnya dapat dilakukan berbagai pihak akan tetapi untuk KY pelaksanaan pemantauan didasarkan pada adanya permohonan masyarakat dan inisiatif KY.

Pelaksanaan pemantauan perilaku hakim dilakukan dalam perkara yang sedang berjalan dan/atau hakim dalam menangani perkara yang sedang ditangani, hal ini dilakukan dalam rangka menjaga dan menegakkan KEPPH serta pelaksanaan hukum acara. Adapun beberapa kriteria bagi KY untuk melakukan pemantauan persidangan adalah:

  1. Berdasarkan data awal (laporan masyarakat dan/atau informasi usulan KY) diduga berpotensi akan terjadi pelanggaran KEPPH dan persidangan yang tidak fair.
  2. Memperoleh perhatian publik dan diberitakan secara masif di media cetak dan digital yang didasarkan pada:
  3. laporan dan/atau informasi perkara yang terkait dengan hak warga negara dan kasus tersebut mencerminkan perkara rasa keadilan masyarakat pada umumnya, khususnya yang menyangkut diri para pencari keadilan (pihak yang berperkara).
  4. menyangkut kepentingan banyak pihak atau bersentuhan dengan masyarakat yang menjadi korban atau yang dirugikan dengan adanya perkara tersebut.
  • memiliki nilai ekonomi yang cukup besar dan merugikan keuangan negara.
  1. menyangkut isu politis yang berpotensi akan mengesampingkan nilai-nilai hukum dan keadilan.
  1. Adanya dugaan bahwa hakim yang memeriksa dan mengadili perkara dimaksud, sebelumnya melakukan perbuatan tercela atau tidak independen, sehingga dikhawatirkan kasus-kasus berikutnya yang akan ditangani bernasib sama (sebagai early warning system).

Menurut buku Kualitas Hakim dalam Putusan (Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial, 2014) ditemukan penilaian atas profesionalisme hakim pada pengadilan tingkat pertama dalam penanganan perkara pidana memiliki nilai 50% dan penanganan perkara perdata memiliki nilai 53,23%. Pada tingkat banding penilaian atas profesionalisme hakim dalam penanganan perkara pidana memiliki nilai cukup baik sebesar 67,50% dan pada perkara perdata lebih baik lagi mencapai nilai 75,81%. Simpulan dari penelitian ini juga menunjukkan penalaran hukum yang logis (runtut dan sistematis) memang diperlihatkan oleh sebagian putusan tetapi sebagian lagi mengandung kelemahan yang cukup signifikan. Ada logika melompat (jumping to conclusion), yang terjadi karena kesimpulan ditarik berdasarkan premis-premis yang tidak terhubung secara valid. Untuk putusan-putusan pengadilan tinggi ada sekitar 52% (pidana) dan 48,39 (perdata) yang diidentifikasikan belum mencerminkan penalaran yang baik, begitu pula pada pengadilan tingkat pertama, yaitu 51% (pidana), dan 53,76% (perdata).

Fakta di atas menunjukkan bahwa kekuasaan hakim memerlukan pemantauan agar kualitas putusan akuntabel sehingga dapat dicapai peradilan objektif dan bersih. Asas peradilan yang terbuka untuk umum memberikan hak kepada masyarakat untuk melihat, mendengar, dan mengikuti jalannya peradilan. Kehadiran masyarakat dalam proses peradilan menjadi penjaga agar hakim tidak sewenang-wenang tetapi fakta juga menunjukkan bahwa masih banyak putusan-putusan hakim yang menurut masyarakat kontroversial atau mengusik rasa keadilan, atau tidak obyektif, sekalipun persidangannya sudah disaksikan oleh masyarakat.[5]

Kesetaraan gender ditempatkan sebagai aspek yang sangat penting dalam tujuan ke-5 pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), yaitu Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Semua Perempuan dan Anak Perempuan. Tujuan ke-5 banyak menekankan pada usaha-usaha menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan aspek pemberdayaan perempuan. Targetnya adalah menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak di ruang publik dan ruang privat, termasuk perdagangan orang dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis eksploitasi lainnya.

Di dunia peradilan yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan, Mahkamah Agung (MA) ingin memastikan penghapusan segala potensi diskriminasi terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum melalui pengesahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 (PERMA Nomor 3 Tahun 2017). Perma ini merupakan suatu langkah maju bagi dunia peradilan di Indonesia, dan diharapkan menjadi standar bagi hakim dan segenap aparatur peradilan dalam menangani perkara yang melibatkan perempuan, baik sebagai pelaku, saksi, dan/atau korban, atau para pihak.[6]

Hakim yang bisa bersifat adil dan menjaga perilakunya akan menjamin proses fair and trial dalam persidangan. Kode Etik dan Pedoman Perilaku hakim (KEPPH) yang ditetapkan pada tanggal 8 April 2009 menjadi panduan keutamaan moral hakim, baik dalam tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. KEPPH yang ditetapkan bersama melalui Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 juncto 02/SKB/P.KY/IV/2009. Prinsip-prinsip dasar KEPPH diimplementasikan ke dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut:[7]

  1. Berperilaku Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum.
  2. Berperilaku Jujur bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakikat yang hak dan yang bathil.
  3. Berperilaku Arif Dan Bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan, maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi, dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar, dan santun.
  4. Bersikap Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.
  5. Berintegritas Tinggi bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur, dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakikatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.
  6. Bertanggung Jawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaikbaiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.
  7. Menjunjung Tinggi Harga Diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.
  8. Berdisiplin Tinggi bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
  9. Berperilaku Rendah Hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.
  10. Bersikap Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan, dan wawasan luas.

Hakim wajib berpegang pada PERMA No. 3 Tahun 2017 yaitu:[8]

Hakim wajib memegang asas penghargaan atas:

  1. harkat dan martabat manusia;
  2. non diskriminasi;
  3. kesetaraan gender;
  4. persamaan di depan hukum.

Tujuan PERMA No. 3 Tahun 2017:

  1. memahami dan menerapkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
  2. mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan; dan
  3. menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.

Hakim wajib mempertimbangkan kesetaraan gender dan nondiskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan:

  1. ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara;
  2. ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan;
  3. diskriminasi;
  4. dampak psikis yang dialami korban;
  5. ketidakberdayaan fisik dan psikis korban;
  6. relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya;
  7. riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.

Hakim dilarang:

  1. menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum;
  2. membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender;
  3. mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; dan
  4. mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotipe gender.

Hakim wajib:

  1. mempertimbangkan kesetaraan gender dan stereotipe gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis;
  2. melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/ atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender;
  3. menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi; dan
  4. mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjianperjanjian internasional terkait kesetaraan gender yang telah diratifikasi.

Yang harus selalu diingat hakim:

  1. hakim agar menanyakan kepada perempuan sebagai korban tentang kerugian, dampak kasus, dan kebutuhan untuk pemulihan;
  2. hakim agar memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk melakukan penggabungan perkara sesuai dengan Pasal 98 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan/atau gugatan biasa atau permohonan restitusi sebagaimana diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal pemulihan korban atau pihak yang dirugikan, hakim agar:

  1. konsisten dengan prinsip dan standar hak asasi manusia;
  2. bebas dari pandangan stereotipe gender; dan
  3. mempertimbangkan situasi dan kepentingan korban dari kerugian yang tidak proporsional akibat ketidaksetaraan gender.

Adapun objek pemantauan persidangan adalah hakim, proses persidangan, situasi dan kondisi pengadilan. Penentuan objek pemantauan dimaksudkan agar tercapainya pemantauan yang fokus dan tepat sasaran serta memberikan kemudahan bagi petugas pemantau untuk melaksanakan tugas pemantauan. Pemantauan perilaku hakim dilakukan di pengadilan tingkat pertama. Perilaku hakim yang dipantau adalah sikap, perkataan, dan interaksi yang berhubungan dengan KEPPH ketika hakim memimpin persidangan. Pemantauan proses persidangan di pengadilan tingkat pertama tidak hanya fokus pada penerapan hukum acara tetapi juga memperhatikan suasana di persidangan akan dibawa kemana oleh majelis hakim atau para pihak yang bersidang.[9]

Sebagai salah satu tugas KY, pemantauan yang dilakukan KY bersumber dari permohonan pemantauan oleh masyarakat atau inisiatif KY. Inisiatif didasarkan pada perkara yang menarik publik dan/atau terdapat informasi di masyarakat maupun media massa atas dugaan pelanggaran KEPPH dalam persidangan. Pemantauan dapat dilakukan berdasarkan laporan atau permohonan dari masyarakat. Masyarakat dapat mengajukan permohonan pemantauan terhadap suatu perkara melalui pengajuan laporan dan/atau informasi tertulis ke KY. Masyarakat sebagai pemohon dapat terdiri orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum. Masyarakat sebagai pemohon mengajukan permohonan pemantauan yang paling sedikit memuat identitas pemohon, informasi perkara, dan alasan diperlukannya pemantauan. Di bawah ini adalah bagan alir/flowchart tata cara permohonan pemantauan.[10]

 
   

Dalam hal akan melakukan pemantuan persidangan perlu mempersiapkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Bagi Masyarakat Umum
  2. Menyiapkan alat tulis dan formulir pemantauan;
  3. Melakukan penelusuran informasi awal mengenai jadwal sidang, agenda sidang, ruang sidang, pihak-pihak berperkara, majelis hakim, dan panitera pengganti atas perkara yang dipantau.
  1. Bagi Petugas Pemantauan KY
  2. Menyiapkan legalitas pemantauan, berupa surat perintah penunjukan tim pemantau;
  3. Menyiapkan perlengkapan pendukung pemantauan, seperti alat rekam audio dan video), baterai, alat tulis, kartu identitas pemantau, dan formulir instrumen pemantauan;
  4. Menyiapkan referensi perkara yang akan dipantau, seperti peraturan terkait, pendapat ahli, maupun yurisprudensi, laporan dari berbagai sumber, atau berita di media massa;
  5. Mengupayakan kasus yang dipantau mendapat jawaban dengan menggunakan teknik 5W+1H (apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana);
  6. Mengupayakan menemukan informasi dan fakta terhadap obyek yang akan dipantau melalui:

Dalam hal Pelaksanaan pemantauan membutuhkan kemampuan bekerja berganda (multi tasking) karena terdapat beberapa kegiatan yang harus dilakukan bersamaan, seperti mendengar, mencatat, dan mengamati proses persidangan serta perilaku aparat penegak hukum di ruang sidang, khususnya hakim. Pada tahap ini pemantau melakukan:

  1. Bagi Masyarakat Umum
  2. Meminta izin kepada pihak pengadilan (ketua pengadilan dan/atau ketua majelis perkara PBH) untuk melakukan dokumentasi;
  3. Mendatangi pengadilan, mengamati, dan mencatat setiap informasi yang diperoleh baik di dalam proses persidangan maupun di luar persidangan serta mengisi instrumen.
  4. Bagi Petugas Pemantauan KY
  5. Mendatangi pengadilan dan melakukan pengamatan secara langsung. Tim pemantau dapat menginformasikan kehadiran KY dan/atau meminta izin kepada pihak pengadilan (ketua pengadilan dan/atau ketua majelis hakim perkara PBH yang dipantau) untuk melakukan Melakukan wawancara kepada pihak yang dianggap dapat memberikan informasi terkait perkara yang akan dipantau.Informasi dapat diperoleh melalui pihak yang berperkara, pejabat yang bersangkutan (seperti hakim, jaksa, panitera pengganti), praktisi hukum (advokat), jurnalis yang meliput, lembaga swadaya masyarakat, organisasi pemantau, dan lain-lain. pemantauan persidangan serta mendokumentasikan, baik sebelum dan/atau sesudah kegiatan pemantauan dilakukan. Proses ini merupakan early warning system bagi penyelenggara proses peradilan;
  6. Mengamati dan mencatat setiap informasi baik di proses persidangan maupun di luar persidangan, dan mengisi formulir;
  7. Melakukan wawancara kepada pihak yang dianggap dapat memberikan informasi terkait perkara yang akan dipantau. Informasi dapat diperoleh melalui pihak yang berperkara, pejabat yang bersangkutan (seperti hakim, jaksa, panitera pengganti), praktisi hukum (advokat), jurnalis yang meliput, lembaga swadaya masyarakat, organisasi pemantau, dan lain-lain.[11]

PENUTUP

Peran masyarakat terhadap perempuan berhadapan dengan hukum di persidangan melalui pemantauan persidangan menjadi penting dengan masih tingginya jumlah kasus yang melibatkan perempuan di berbagai daerah karena Seringkali, perempuan berada dalam posisi tidak mendapatkan perlindungan yang memadai sehingga dapat mempengaruhi kedudukan perempuan dalam persidangan oleh karenanya, dibutuhkan pedoman yang jelas bagi masayarakat  yang ingin berkontribusi langsung berperan dalam melakukan pemantauan persidangan tentunya dengan harapan besar kualitas penegakan hukum dibangun secara kolektif, dengan kerjasama antara penyelenggara peradilan, lembaga pengawas, dan masyarakat.

Adanya panduan bagi para pemantau persidangan untuk memantau persidangan yang melibatkan perempuan dengan cara yang efektif dan efisien dapat sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk berkontribusi langsung dalam pemantauan persidangan. Partisipasi aktif masyarakat merupakan instrumen utama dalam membuat efektif pelaksanaan pemantauan persidangan dan diharapkan dapat membantu mencegah terjadinya pelanggaran KEPPH, khususnya pada perkara perempuan berhadapandengan hukum (PBH).

Kehadiran Komisi Yudisial maupun Maysarakat melalui pemantauan persidangan menjadi salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap peradilan. Pemantauan persidangan tidak ditujukan untuk mengintervensi hakim maupun mencari kekurangan dalam proses persidangan, tetapi sebagai upaya untuk memastikan agar persidangan berjalan sesuai dengan hukum acara menerapkan asas-asas keadilan, non diskriminasi, kesetaraan gender, dan pemenuhan hak perempuan berhadapan hukum, serta patuh terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

DAFTAR PUSTAKA

  1. Ninek Ariyani, (2023) Pemantuan Persidangan Perkara Perempuan berhadapan di depan Hukum Bagi Masyarakat;
  2. Alek K. Kurniawan. 2017. Eksaminasi Publik Sebagai Instrumen Pengawasan Publik atas Putusan Pengadilan. Jurnal Peradilan Indonesia Vol.6 Juli-Desember 2017;
  3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017;
  4. Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
  5. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim mengalami perubahan setelah uji materiil disetujui lewat putusan Mahkamah Agung Nomor 36P/HUM/2011;
  6. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1084, 4 Agustus 2017;
  7. Artikel dari Koalisi Perempuan indonesia, Perempuan & Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

[1] Ninek Ariyani, (2023) Pemantuan Persidangan Perkara Perempuan berhadapan di depan Hukum Bagi Masyarakat halaman 1-2.

[2] Artikel dari Koalisi Perempuan indonesia, Perempuan & Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

[3] Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017

[4] Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

[5] Alek K. Kurniawan. 2017. Eksaminasi Publik Sebagai Instrumen Pengawasan Publik atas Putusan Pengadilan. Jurnal Peradilan Indonesia Vol.6 Juli-Desember 2017: 31-48.

[6] Ninek Ariyani, (2023) Pemantuan Persidangan Perkara Perempuan berhadapan di depan Hukum Bagi Masyarakat halaman 30.

[7] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim mengalami perubahan setelah uji materiil disetujui lewat putusan Mahkamah Agung Nomor 36P/HUM/2011, dimana Majelis Hakim PK mengabulkan penghapusan delapan poin KEPPH yang ada pada point 8.1, 8.2, 8.3, 8.4. dan 10.1. 10.2, 10.3 dan 10.4. Poin-poin 8 ini menyangkut kewajiban hakim dalam rumpun “berdisplin tinggi” sedangkan poin-poin 10 masuk rumpun “Bersikap Profesional”  Judicial Review telah mengurangi beberapa kekhususan pengawasan tetapi kegiatan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim masih tetap bisa berjalan optimal.

[8] Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1084, 4 Agustus 2017.

[9] Ninek Ariyani, (2023) Pemantuan Persidangan Perkara Perempuan berhadapan di depan Hukum Bagi Masyarakat halaman 76.

[10] Ninek Ariyani, (2023) Pemantuan Persidangan Perkara Perempuan berhadapan di depan Hukum Bagi Masyarakat halaman 74.

[11] Ninek Ariyani, (2023) Pemantuan Persidangan Perkara Perempuan berhadapan di depan Hukum Bagi Masyarakat halaman 79.