fbpx

SISI LAIN ISTIMEWANYA JOGJA

Terkadang suatu yang istimewa namun terus berulang malah menjadi tidak berharga, namun ketika hal monoton itu berbeda sedikit saja, rasanya menjadi luar biasa. Momentum hari raya menjadi hal yang dinanti banyak manusia. Demi menikmati waktu bersama dengan kawan lama, keluarga, ataupun orang terkasih lainnya. Sebagaimana hari raya sebelum-sebelumnya, aku mengira tahun ini akan sama, biasa saja. Ternyata aku salah, ada secercah curah yang harus aku kisahkan atas nama kesyukuran.

Pada 30 April 2023 lalu, aku sekeluarga mengantar adikku yang kuliah di Yogyakarta sembari menghabiskan jatah libur lebaran. Aktivitas yang cukup sering kami lakukan, bahkan di luar hari raya. Starting point kami mulai dari Kota Tasikmalaya, harapannya pukul 18.00 WIB sudah sampai di Yogyakarta jika berangkat pukul 11.00 WIB. Perjalanan kami lakukan dengan santai, arus lalu lintas juga terbilang ramai lancar. Dengan leluasa kami berhenti di banyak tempat, mulai dari masjid, tempat makan, rest area ataupun sekedar jajan di pedagang kaki lima. Singkat cerita pukul 19.00 WIB kami baru sampai di Purworejo, masih 1 jam 40 menit lagi menuju Kota Jogja. Kami putuskan untuk singgah ke rumah saudara di daerah Kutoarjo. Sekitar 60 menit dihabiskan untuk silaturahim, kami tidak ada yang merasa terburu-buru karena memang perjalanan ini tidak mengejar apapun. Selepas bertamu, perjalanan pun dilanjutkan. Saat diri ini mulai mengantuk, ku putuskan untuk memejamkan mata, lagi pula tinggal selangkah lagi menginjakkan kaki di Jogja. Kursi bagian tengah menjadi pilihan aku dan adik-adikku untuk terlelap sejenak.

Aku terkesiap karena suara perselisihan antara Ayah dan Ibu di kursi depan. Mereka meributkan arah jalan, sepertinya kami berada di jalur yang salah. Ku tengok kanan dan kiri dari jendela mobil, gelap. Mobil kami berdiri tepat di tengah, bingung harus memilih jalan menurun sebelah kanan atau jalan menanjak di sebelah kiri. Aku melerai friksi diantara Ayah dan Ibu, “Bisa sampai sini awalnya gimana?”

“Ikutin Google Maps, Kak.” jawab Ibu.

“Udah tau sering bolak-balik Jogja, kenapa juga pake Google Maps!” sahut Ayahku ketus.

“Kita udah jauh belum dari jalan raya?” kataku.

“Lumayan, tadi mah jalanannya masih besar makanya Ayah gas terus.”

“Jadinya mau puter balik atau lanjut terus?”

“Coba buka Maps di hp yang lain deh” saran Ayahku.

            Satu persatu kami mencoba mengaktifkan ponsel. Ponsel Ayahku habis baterai, sedangkan ponsel aku dan adik-adikku tidak menunjukkan hal baik. Tidak ada jaringan internet, sepertinya kami terlalu jauh dari kota. Suasana semakin dingin, kami saling menatap.

“Ayah, ga ada internet. Lokasi juga ga terdeteksi” adik bungsuku menjelaskan.

“Yaudah kita ikutin dulu aja deh Mapsnya, kan tinggal 5 km lagi” jawab Ibu.

“Haaaa 5 km itu masih jauuuhhh” jawab kami serentak sembari menghembus napas kesal.

Bagaimana bisa kami terus berjalan 5 km lagi dengan penampakan sisi jalan seperti itu? Pohon-pohon tinggi yang dahannya menutupi sinar rembulan. Bingkai jalan warna putih yang telah tenggelam. Dan ponsel yang entah kapan akan menangkap jaringan. Belum lagi segala kemungkinan kejahatan yang mengintai. Dengan berat hati, kami memutuskan untuk menyusuri jalan gelap yang nampaknya tak berujung itu. Dimulai dengan menarik napas dalam-dalam dan melantangkan bismillah. Ayah menginjak pedal gas dan kami bergegas. Terlihat jalanan yang masih sama dengan sebelumnya. Aspal mulus walau tak bermarka jalan. Kemungkinannya hanya dua, bagus karena termasuk jalan utama atau bagus karena tidak sering dilewati manusia. Semoga bukan yang kedua.

Ketegangan terus menghujani kami di dalam mobil, jendela yang tadinya terbuka sedikit, menjadi tertutup rapat. Tidak perlu menggunakan AC, suasana dinginnya sudah natural. Ditambah Ayah yang mengemudi dengan cepat tanpa ampun. Sesekali keluar jalan aspal dan para penumpag terhempas. Adik bungsuku, Asti. Berada di kursi belakang sopir merapat ke tengah mendekati adikku yang besar, Intan. Aku yang berada di sisi kiri Intan, yakni sebelah jendela. Tidak sempat ku tengok keluar jendela, yang ku ingini saat itu hanyalah jalan ini cepat berakhir. Asti mulai keringat dingin dan mengaduh kepada Ayah, “Yaah, jangan ngebut ih bawanyaaa. Aku deg-deg-an” katanya sedikit berteriak. Aku membantah, justru ketidakpastian ujung jalan ini lah yang membuat kita harus melaju tanpa ampun. Lika-liku kelok kami hantam, naik-turun jalan kami telan, membelah gelapnya malam. Tidak ada waktu untuk mual, apalagi muntah. Kami sudah sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang terbesit, rasanya kami semua menahan napas tanpa sadar. Asti menceletuk kembali, “Kak kayo baca doa perlindungan yuk” tentu saja dengan sedikit teriak. Tidak apa, upaya dia dalam menahan ketakutannya. Intan membalas, “Yaudah ayo baca Al-Ma’tsurat yak, youtube nya masih ga bisa soalnya”.

Lantunan Al-Ma’tsurat sudah menemani kami menyusuri tiga kilo meter perjalanan yang sempit dan tidak berlampu jalan itu. Intan menyambinya dengan terus mengotak-atik youtube di ponselnya, mencari video bacaan Qur’an atau doa harian yang sekiranya sudah tersimpan tanpa internet. Ketika dia sedang sibuk, tiba-tiba video youtubenya berjalan bergitu saja. Mengeluarkan ayat-ayat Al-Qur’an dari salah satu Qori Indonesia yang terkenal. Secara bersamaan kami spontan mengucapkan “Haaa Alhamdulillah”. Lega sesaat itu lenyap begitu saja. Beberapa detik setelah kami mengucap syukur, radio mobil kembali menyala. Menandakan jaringan sudah tersedia, namun lagu yang terputar sungguh membuat pikiran melalangbuana. Lengser Wengi! Terputar dengan lantang dan membuat cukup tegang. Aku menarik napas segera bicara pada Ibu untuk mematikan radio, namun aku keduluan. Adik-adikku secara serentak berteriak “Matiin Bu radionyaaa!” Ibu yang terperanjat pun sedikit kikuk yang malah memperlambat gerak tangannya. “Aaaaaa cepaaatt matiin” susul teriakan kedua adikku. Ibu mengiyakan dan segera mengecilkan volume radio. Masih terdengar suara walau samar-samar, adikku Kembali mengingatkan, “Bu masih kedengeran suaranya”. Sebelum Ibu menyentuh tombol volume, radio mobil memutarkan lagunya dengan volume besar. Terkejut bukan main! Ibu langsung mematikan radio. Kembali terdengar deru dan hembusan napas-napas khawatir kami.

Sebenarnya aku tahu asal usul dan tujuan lagu Lengser Wengi itu diciptakan, hanya saja memang terkenal semenyeramkan itu. Dapat memanggil hantu lah, kiriman dari alam gaib, tanda rindu dari orang yang sudah meninggal, dan lain sebagainya. Aku memahaminya, namun aku juga mengutuk pikiran kotorku yang lebih takut dengan suasana daripada realita. Setelah kejadian itu, kami akhirnya menemukan jalan dua jalur beserta kaca pembesar berbentuk lingkaran khas persimpangan. Ya, kami sudah berada di pertigaan. Keluar dari lorong jalan yang horor. Sebuah truk melintas tepat di depan kami. Segera kami mengekor di belakangnya. Terbesit untuk mematikan aplikasi Google Maps karena sudah ada yang pasti, ikuti saja truk depan, pasti ia menuju pabrik. Beberapa menit kemudian, Tuhan menjawab instingku. Truk itu berbelok ke lorong jalan sebelah kiri, melewati gapura tertutup pohon bamboo yang lebat. Gawat! Logika ku tidak sempurna. Truk memang betul akan menuju pabrik, tetapi saat itu jam berapa? Pasti ia menuju lokasi pengangkutan material, entah pasir, batu, dan lain sebagainya. Kami kembali menjadi satu-satunya kendaraan yang melintasi jalan perbukitan itu. Ya, kami sudah tahu bahwa sedang berada di daerah bukit Kulonprogo. Rasanya baru sedikit melerai tegang, kami dihadapkan kembali dengan kemungkinan kedua. Jika bukan penjahat dari dunia lain, maka dari dunia sendiri. Di kejauhan terdapat 4 motor berisi 2 orang dimasing-masingnya. Motor bebek yang terlihat masih baru namun tidak memiliki plat nomor. Berjalan sangat lambat. Pengendaranya terlihat berunding dari atas motor. Ayah yang sudah was-was, langsung memainkan mobil dengan apik. Ia tetap berjalan ke depan yang tentu saja mendekati para pria itu. Perlahan dengan hati-hati. Menyalip dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan mereka jauh di belakang kami. Jalanan sudah makin terang, kendaraan selain kami sudah semakin terlihat. Akhirnya kami tiba di persimpangan Polsek Nanggulan, daerah dekat dengan rumah temanku.

“Aku sudah tau ini dimana, Yah! Deket rumah Yuni. Matiin aja Google Mapsnya” tegasku.

“Huuu alhamdulillah udah ketemu lampu merah” balas Ayah.

“Hahahaha” kami tertawa bersama.

            Perjalanan kami dari Nanggulan ke Jalan Godean membahas tentang kejadian mencekam beberapa jam lalu. Mulai dari Ayah yang tidak menyentuh pedal rem, Ibu yang terus berdoa supaya tidak turun gerimis, Asti yang tidak berani menengok ke arah lain selain depan, Intan yang berpikiran kami telah disesatkan oleh ‘mahluk lain’, dan aku yang sempat memberi ide payah untuk mengikuti truk. Masing-masing kami terus meledek hingga sampai di Titik Nol Kilometer Jogja. Padat sekali pelancong malam itu, berwajah ceria nan bersinar. Sama seperti kami, baru bisa tersenyum lebar setelah 2 jam bertarung dengan sunyi dan ketakutan dalam diri. Sama seperti kami, wajah-wajah seri itu bukan berarti tidak memiliki hal buruk, hanya saja memilih untuk menyimpannya. Momen lebaran hari ini benar-benar berbeda dari biasanya. Aku yang merasa sudah hafal dengan Jogja, lupa bahwa provinsi mungil ini bukan hanya Malioboro, namun ada juga perbukitan elok bernama Kulonprogo. Terkadang, ketika sudah terbiasa melihat sisi indah, kita lupa dengan sisi yang tak terjamah.