Moh. Ma'sum Yusron 1share1 PELATIHAN KEPEMIMPINAN SDGS DALAM MENDUKUNG MERDEKA BELAJAR DI MALUKU Read More Pendidikan merupakan faktor utama dalam penciptaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas sebagai penggerak pembangunan nasional. Dalam konteks pendidikan, mewujudkan pembangunan berkelanjutan membutuhkan pendekatan yang holistik dan terpadu. Hal ini dikarenakan pembangunan berkelanjutan tidak hanya memerlukan kualitas sumber daya manusia yang baik dalam bidang ekonomi dan teknologi saja, tetapi juga memerlukan kesatuan sosial dan pengelolaan lingkungan yang baik. Oleh karena itu, pendidikan haruslah meliputi semua aspek tersebut. Oleh karenanya, dalam rangka mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), peran pendidikan sangatlah krusial. Pendidikan yang diselenggarakan diharapkan dapat menyediakan SDM yang memiliki kesadaran, pengetahuan, keterampilan serta komitmen dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Hal ini tidaklah mudah, mengingat pembangunan berkelanjutan adalah upaya menciptakan keseimbangan berbagai aspek dalam mencapai kemakmuran bersama jangka panjang bagi generasi saat ini dan yang akan datang. Sementara pendidikan yang selama ini diselenggarakan, masih tertatih-tatih menyelesaikan persoalan yang menjangkitinya.  Kondisi ini harus lekas dicarikan jalan keluar agar pendidikan dapat berperan optimal dalam menciptakan SDM yang dapat menjadi penggerak pembangunan berkelanjutan. Penyesuaian Kurikulum Berbasis Pembangunan Berkelanjutan Pasca reformasi saja, kurikulum pendidikan nasional telah beberapa kali berganti kurikulum. Pada tahun 2004, pendidikan nasional menjalankan kurikulum berbasis kompetensi atau KBK. Pada 2009, berubah menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Lalu pada tahun 2013, digunakanlan Kurikulum-13. Muncul kemudian Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang dijadikan dasar landasan kurikulum, atau disebut dengan Kurikulum Berbasis KKNI. Perubahan satu kurikulum dengan yang lainnya pada dasarnya tidak terlalu signifikan. Semua kurikulum tersebut dijalankan dengan pendekatan spesialisasi dan spesifikasi output. Dalam hal ini adalah kompetensi lulusan pendidikan yang secara spesifik dapat dihubungkan dengan dunia industri maupun sektor lapangan kerja. Sehingga belum mampu menyentuh kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan yang sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan TPB secara matang-matang. Orientasi pragmatis dan sempit yang selama ini dibangun dalam penyelenggaraan pendidikan harus dirubah. Tidak seharusnya program studi manajemen sekedar dibentuk sebagai tenaga kerja di bidang manajemen yang pandai mengakumulasi keuntungan dan efisiensi perusahaan. Impian seorang mahasiswa di program studi keguruan, tidak melulu harus menjadi guru. Begitu halnya seorang siswa yang mengambil kejuruan akutansi. Ia tidak harus disibukkan dengan angka-angka statistik dan laporan keuangan. Mereka semua harus belajar memahami, mengetahui dan mempraktikkan keilmuannya secara holistik. Melatih diri untuk memecahkan persoalan, merupakan langkah awal peserta didik atau mahasiswa untuk memiliki kemampuan riset yang baik dan melahirkan sebuah inovasi bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan nantinya. Membangun Kemitraan, Atasi Persoalan Persoalan yang dihadapi pendidikan nasional kita sangatlah kompleks. Mulai dari pembiayaan, sarana prasarana, ketersediaan pendidik berkualitas, kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, relevansi kurikulum, kualitas riset dan inovasi, hingga persoalan ‘moral’. Hal ini harus segera diatasi segera oleh semua pihak, khususnya pengelola lembaga satuan pendidikan dan pemangku kebijakan pendidikan. Upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan membangun kemitraan. Pengelola lembaga satuan pendidikan harus dapat memetakan kebutuhan dan kelemahan apa yang ada pada penyelenggaraan pendidikan di lembaganya. Penggalangan dukungan dan kemitraan dengan berbagai pihak baik dari sektor pemerintah, LSM/NGO maupun swasta harus diupayakan. Upaya ini khususnya perlu dilakukan oleh kampus atau Perguruan Tinggi (PT). Birokrasi kampus seyogyanya rajin membangun kemitraan dengan berbagai kalangan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi. Contohnya adalah ketika kampus memiliki permasalahan minimnya pembiayaan riset. Hal ini bisa diatasi kampus dengan jalan membangun kemitraan dengan pihak swasta maupun LSM/NGO yang memiliki concent terhadap issue atau proyek riset yang hendak dilakukan. Permasalahan lain, misalnya kampus memiliki kelemahan dalam menyediakan fasilitas praktikum kegiatan pembelajaran yang berorientasi pembangunan berkelanjutan, tentu dapat dilakukan dengan cara melibatkan mahasiswa untuk praktik diluar. Satu lagi, seandainya kampus kekurangan tenaga pendidik yang berkualitas dan kompeten di bidang pembangunan berkelanjutan, dapat pula mengundang praktisi yang kompeten di bidangnya. Upaya penyelesaian permasalahan dengan membangun kemitraan, biasanya lebih menghemat anggaran, ketimbang harus menyelesaikan secara mandiri. Terlebih, di tengah banyaknya masyarakat yang belum mampu mengakses pendidikan tinggi karena persoalan ekonomi, tidak layak ketika penyelesaian persoalan pendidikan di PT harus dibebankan biayanya kepada mahasiswa atau masyarakat. Komunitas masyarakat juga dapat dilibatkan. Justru dengan membangun kemitraan bersama komunitas masyarakat, lembaga satuan pendidikan akan lebih mudah memberikan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan yang berorientasi pembangunan berkelanjutan kepada peserta didiknya. Contohnya adalah membangun kemitraan dengan komunitas masyarakat yang bergerak di sektor pertanian kota (Petani Kampung Bayam, contohnya). Tentu komunitas pertanian kota memiliki cara pandang pembangunan berkelanjutan. Petani kota, dengan lahan yang sangat terbatas, dapat melakukan aktifitas pertaniannya dengan cara modern bahkan tanpa adanya bahan-bahan kimia. Selain itu, komunitas masyarakat pemulung yang memiliki koperasi pengolah sampah plastik (di Tangerang) misalnya, dapat dijadikan mitra pula oleh lembaga satuan pendidikan. Upaya membangun kemitraan ini adalah kunci sukses lembaga satuan pendidikan mewujudkan pendidikan yang berkualitas di tengah gempuran permasalahan yang dihadapinya. Berkarya Bersama Wujudkan Pemimpin Pembangunan Berkelanjutan Kemitraan yang telah dibangun oleh lembaga satuan pendidikan tidak sekedar sebagai formalitas belaka. Keterlibatan peserta didik dalam kerjasama kemitraan harus diorientasikan kepada pencapaian kompetensi yang multidimensional. Tidak sekedar menambah wawasan atau pengetahuan peserta didik yang terlibat. Melainkan harus diarahkan untuk membangun sikap, kesadaran, keterampilan dan komitmen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Rencana Program Pembelajaran (RPP) bersama jaringan mitra harus disusun sekompherensif dan seholistik mungkin. Capaian pembelajaran tidak sekedar diukur dengan ujian lisan maupun tulisan. Namun dapat menggunakan instrumen karya kolektif. Karya kolektif yang dimaksud adalah karya yang dihasilkan oleh peserta didik bersama pihak yang dijadikan mitra. Melalui karya kolektif ini, sedikit banyak akan muncul bakal calon pemimpin masa depan, yang menjadi penggerak pembangunan ekonomi berkelanjutan. Seperti halnya yang dilakukan oleh organisasi penulis, Front Perjuangan Pemuda Indonesia, saat mengadakan pendidikan organisasi yang bertajuk ‘Sekolah Kerakyatan Pemuda’. Pada pelaksanaan Sekolah Kerakyatan Pemuda tersebut, para peserta pendidikan diberikan materi salah satunya adalah ‘Peran Pemuda dalam Pembangunan Berkelanjutan’. Selain itu, peserta pendidikan juga diajak untuk belajar bersama komunitas petani kota yang tergabung dalam Kelompok Petani Kampung Bayam Madani. Kelompok petani kota ini sudah sejak 1990-an melakukan aktifitas pertanian kota dengan lahan terbatas, namun dikelola secara modern. Hidroponik maupun aquaponik mereka terapkan dalam usaha pertaniannya. Selain itu, mereka juga menggunakan pupuk, nutrisi tanaman dan pestisida organik. Peserta pendidikan Sekolah Kerakyatan Pemuda juga diberikan paparan materi oleh salah satu pengurus kelompok tani tersebut, tentang mengapa mereka bertani di kota metropolitan. Sehingga peserta pendidikan dapat memperoleh wawasan, kesadaran dan keterampilan, bahwa dengan bertani secara organik di perkotaan, dapat memberi manfaat di antaranya, (1). Mengurangi polusi udara dan mencegah kerusakan lingkungan hidup; (2). Menjadi sumber penghidupan mandiri bagi anggota kelompok; (3). Sebagai upaya menyediakan hasil pertanian yang sehat dan murah bagi masyarakat; (4). Bentuk usaha membantu pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan; (5). Sebagai usaha bersama menciptakan generasi bangsa yang sadar akan pembangunan berkelanjutan. Manfaat kelima ini dijelaskan oleh Narasumber, karena kelompoknya sempat bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Administrasi Jakarta Utara. Hal ini bisa dilakukan oleh lembaga satuan pendidikan untuk memberdayakan pemimpin masa depan demi tercapainya pembangunan berkelanjutan. Baik itu melalui pembelajaran di luar kelas, program kuliah praktik, atau bahkan kemitraan antara lembaga satuan pendidikan dengan komunitas masyarakat yang relevan dengan TPB.Â