Niken Vidya Ambarwati Fresh Graduate 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Indonesia merupakan negara yang sangat beragam. Tidak hanya suku dan agamanya, namun termasuk manusianya. Beragam jenjang pendidikannya, status ekonominya, opininya hingga pilihan politiknya. Semua itu menjadi satu disatukan oleh semboyan bangsa kita yaitu Bhineka Tunggal Ika. Walaupun berbeda, kita tetap satu tujuan. Dalam masyarakat yang mulai beragam karena adanya transmigrasi, kita disatukan oleh RT atau Rukun Tetangga. Belakangan ini, banyak sekali terdengar di berita kriminalitas yang membuat gempar masyarakat di Indonesia. Angka pembunuhan dalam keluarga semakin banyak terjadi. Ini membuat banyak orang menjadi was-was apakah tetangga mereka bahkan anggota keluarga mereka bisa menjadi ancaman tersebut. Berita terakhir mengenai kasus pembunuhan dalam keluarga membuat kita bertanya-tanya, apa motifnya hingga tega melakukan hal tersebut? Berdasarkan kasus yang sudah ada [3], motif terkuat yang menyebabkan terjadinya kasus pembunuhan dalam keluarga adalah perebutan warisan. Hal ini tidak langsung didasari oleh aspek ekonomi, namun ada yang menjadi pemicu dalam tiap kasus tersebut. Pemicu yang terjadi bisa dimulai dari cekcok antar anggota keluarga, kekerasan verbal, mempertahankan diri, hingga audiens, seperti yang dikutip dari Luckenbill melalui Rahayu (2020), atau pihak yang berada disekitar tempat kejadian yang memberikan garam pada luka atau tidak berusaha menengahi. Audiens yang dikategorikan menjadi dua, pasif dan aktif, tersebut seharusnya memberikan bantuan kepada pihak keluarga yang memiliki masalah. Audiens aktif tidak seharusnya menuangkan minyak pada api yang sudah ada. Lalu, audiens pasif jangan menjadi penonton saja, namun memberikan tindakan yang sesuai. Mungkin bisa dibilang kurang etis mencampuri urusan dapur rumah tangga orang, namun, menjadi mediator bisa menjadi salah satu alternatif kepada pihak luar. Namun, siapa yang berwenang menjadi pihak mediator? Tentu saja Pak RT atau Bu RT yang dapat membantu. Menurut Permendagri No. 18 Tahun 2018 [1] menyebutkan bahwa RT dan RW menjadi bagian dari LKD atau Lembaga Kemasyarakatan Desa yang memiliki tugas salah satunya adalah memberdayakan masyarakat desa. Ini didorong dengan fungsi LKD yang akan disoroti dalam artikel ini adalah menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, menumbuhkan partisipasi gotong royong dalam masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sehingga dalam pasal 7 disebutkan bahwa RT dan RW membantu Kepala Desa dalam mewujudkan fungsi LKD tersebut. Bagaimana caranya? Untuk mencapai tujuan tersebut, RT harus menjadi tempat yang dapat dipercaya. Artinya, jika ada pemicu kuat yang bisa menjadi masalah dalam sebuah keluarga, RT dapat menjadi tempat untuk mencurahkan keluhan dan memberikan saran kepada pihak yang terkait. Lalu, RT tidak boleh memberikan penghakiman sepihak kepada keluarga yang memiliki masalah yang tidak dapat diselesaikan secara internal dan membutuhkan pihak luar. Kedua hal tersebut bisa membantu untuk menekan pemicu lain yang bisa membuat masalah tersebut semakin membesar. Mungkin kita bertanya-tanya, Polisi dan Pemerintah kan sudah cukup? Masa dibebankan saja pada RT? Masalah ini menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah atau LKD sebagai wadah dari aspirasi masyarakat mau mendengarkan apa yang terjadi, sehingga dapat menanggulangi agar tidak semakin parah. Dari aspirasi warga, Pemerintah dapat membuat sebuah peraturan dan juga membuat program yang dapat membantu. Misalnya, Pemerintah dapat memberikan fasilitas layanan konseling di tiap kecamatan yang tersedia setiap hari. Tidak hanya fasilitas saja, namun didukung dengan orang yang ahli dalam bidang tersebut untuk memberikan layanan konseling jika sudah tidak bisa dibicarakan secara kekeluargaan. Hal ini juga bisa menjadi wadah bagi masyarakat untuk melepaskan stigma bahwa mereka yang ke layanan konseling memiliki “masalah dengan jiwanya”. Untuk mendukung langkah tersebut, Polisi dan Pemasyarakatan dapat membantu kemudahan bagi pelaku untuk mendapatkan akses layanan konseling. Tidak hanya pihak-pihak yang memiliki jabatan, namun juga masyarakat atau tetangga sekitar. Sudah semestinya tidak menjadikan masalah yang tidak dapat diselesaikan dalam sebuah keluarga sebagai bahan “gosip”. Juga, tidak memberikan bumbu-bumbu lain ketika RT memberikan peran sebagai mediator. Membuka ‘pintu rumah’ ketika sebuah keluarga sedang memanas. Sering terjadi ketika sedang membutuhkan bantuan, namun yang lain menjadi apatis. Membukakan pintu bisa menjadi langkah awal untuk menyelesaikan masalah sebelum menjadi semakin pelik. Ketika semua pihak saling bahu membahu dalam menjaga keamanan dan ketertiban antar anggota masyarakat, maka perdamaian tercapai. Sesuai dengan SDG nomor 16 poin 16.a, bentuk gotong royong ini dapat mengurangi segala bentuk kekerasan sehingga angka kematian dapat ditekan terutama pada lingkungan rukun tetangga. Sehingga perwujudan keluarga yang sejahtera dan damai bisa tercapai. RT berperan aktif sebagai wadah mediasi agar masalah dalam internal keluarga yang tidak dapat diselesaikan secara internal terbantu. Ini membutuhkan syarat yang tidak gampang yaitu menjadi tempat yang dapat dipercaya dan tidak menghakimi. Peran ini juga didukung oleh Pemerintah yang memberikan layanan konseling dengan ahli yang membantu mediasi sehingga tidak membuat masalah yang ada semakin besar. Jika permasalahan ini sudah mencapai jalur hukum, maka peran Polisi dan Lembaga Pemasyarakatan dengan memberikan fasilitas konseling juga menjadi peran penting agar pelaku tidak merasa terbebani dari sisi hukum melainkan dibantu dari sisi psikologisnya. Terakhir, sebagai tetangga berikan bantuan disaat yang tepat dan tidak memberikan bumbu lain yang bisa memperkeruh suasana. Referensi: [1] Kementerian Dalam Negeri. 2018. Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat. [2] Rahayu, M., & Rohayati, A.C. (2020). INTERAKSI ANTARA PELAKU PEMBUNUHAN DALAM KELUARGA DENGAN KORBAN DILIHAT DARI SUDUT PANDANG PELAKU. EMPATI: Jurnal Ilmu Kesehatan Sosial, 9(1), 99-107. 10.15408/empati.v9i1.9655 [3] Sam, M.I., Murdiana, S., & Zainuddin, K. (2021). Studi Deskriptif Narapidana Kasus Pembunuhan Keluarga Di Rutan Kelas II B. Jurnal Psikologi Talenta Mahasiswa, 1(1). 22-32.
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More