Muhammad Alif Dzulfikar Mahasiswa 0shares MENYULUT ENERGI HIJAU DARI EMAS CAIR: PERAN STRATEGIS KELAPA SAWIT DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Read More Jelas tertulis dalam situs Mongabay (2020), “Selama pagebluk, harga produk perikanan mengalami penurunan hingga lebih dari 50% dari harga normal.” Misalnya saja untuk komoditas Ikan Kembung di Kecamatan Mangarabombang, Sulawesi Selatan, yang awalnya 50.000 per 5 ekor, kini anjlok menjadi Rp. 25.000 per 5 ekor. Selain Ikan Kembung, harga jual Ikan Kerapu Bebek dan Ikan Kerapu Sonok juga terjun bebas dari yang awalnya dihargai ratusan ribu rupiah, kini hanya dijual seharga Rp. 7000/kg. Berarti, benar bahwa perikanan kita sedang penyakitan, bahkan bisa kita sebut kronis. Sungguh miris… Bagi nelayan dan pembudidaya ikan, sulitnya menjual hasil tangkapan akibat turunnya daya beli adalah kendala utama yang membebani mereka. “Hasil tangkapan normal, kendala utama ada di pemasarannya,” kata salah seorang nelayan. Penurunan daya beli ini terus terjadi akibat adanya bejibun kebijakan pembatasan yang diterapkan silih berganti, sehingga hampir semua aktivitas perekonomian terhenti, yang berimbas turunnya pendapatan, sehingga akhirnya berdampak pada turunnya daya beli konsumen pada berbagai produk pangan tertentu, termasusk produk perikanan dan kelautan. Hal tersebut, belum lagi menurunnya daya ekspor komoditas lokal, yang disebut Tirto.id (2020) sebagai yang terburuk sejak 2016. Bayangkan, betapa sulitnya kelompok nelayan dan petambak selama pagebluk akibat permintaan produk perikanan dan kelautan yang kian terjun bebas. Kendala yang dirasakan petambak dan nelayan belum selesai sampai di sini, karena selain derasnya penurunan daya beli, nelayan dan pembudidaya juga semakin dipersulit dengan biaya operasional yang semakin melangit. Biaya operasional yang dimaksud meliputi solar sebagai bahan bakar kapal yang cenderung meningkat hampir setiap tahun, ditambah perbaikan dan pembaruan secara berkala alat tangkap dari kapal itu sendiri bila mengalami kerusakan. So, sampai sini paham? pendapatan nelayan menurun amat drastis, lantas diperparah dengan pengeluaran operasional yang cenderung terus membengkak, sebuah kondisi yang bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. “Kondisi ini bahkan jauh lebih parah ketimbang musim angin kencang,” ujar salah seorang nelayan dalam Mongabay (2020). Tidak ada pilihan lain, hal ini pun menyebabkan nelayan dan petambak harus legowo, menurunkan harga jual produk perikanan dan kelautan mereka, bahkan hingga lebih dari 50% dari harga normal agar hasil tangkapan dan budidaya mereka dapat terjual sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan operasional melaut serta mendapatkan pendapatan sebagai modal untuk bisa bertahan dari gerogot ganas pagebluk. Seperti ini lah derita nelayan dan petambak selama pagebluk… Selama kurang lebih hampir sekitar satu setengah tahun pagebluk. Mulai dari bulan Maret 2020 hingga bulan Mei 2021, dari A sampai Z. Selama dan sebanyak itulah, sudah bejibun usaha pemulihan yang dilakukan oleh pihak berwenang dalam menangani sektor perikanan yang selama pagebluk jelas penyakitan ini. Pemerintah Kabupaten Kayong Utara misalnya, dijelaskan dalam situs berita lingkungan Mongabay (2020), melalui Dinas Perikanan setempat, mereka bekerja sama dengan pihak ketiga, yakni pemilik usaha cool storage untuk sementara membeli hasil tangkapan nelayan, di mana hal ini bertujuan agar harga jual hasil tangkapan bisa tetap stabil. Lain hal di Kabupaten Takalar yang demi mendukung ketahanan nelayan selama pagebluk, DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) setempat juga melakukan upaya untuk mempertahankan anggaran DAK (Dana Alokasi Khusus) dan DAU (Dana Alokasi Umum) dengan rincian bantuan meliputi pengadaan dan perbaikan kapal serta alat tangkap. Tidak ketinggalan juga, pemerintah pusat pun juga turut membuat regulasi soal skema logistik produk perikanan selama pagebluk agar tidak ikut dibatasi. Hal ini menjadikan produksi perikanan tetap berjalan, sehingga diharapkan produk dapat menjangkau konsumen yang lebih luas. Setelah mengarungi beragam upaya penanganan dan pemulihan dari permasalahan perikanan di regional beberapa daerah di Indonesia. Kali ini perlu disampaikan juga contoh respon pemerintah pusat terhadap permasalahan perikanan yang terjadi. Kita ambil respon bapak Jokowi kala menginspeksi Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) Brondong Kabupaten Lamongan beberapa waktu yang lalu. Respon beliau ini terekama dengan baik dalam situs Mongabay (2020) yang menyatakan bahwa pemerintah pusat tidak bisa mengendalikan harga karena menyangkut pasar yang luas, baik di dalam maupun luar negeri. Ujarnya, pemerintah hanya bisa memberikan ijin. Lantas timbul lah pertanyaan, “Apa memang hanya itu yang dapat dilakukan pemerintah?” Menurut kalian, apa segudang upaya penanganan dan pemulihan yang telah dilakukan pemerintah sudah efektif? Oh, tentu saja tidak bisa sepenuhnya kita anggap “Iya.” Coba kita preteli satu-persatu, mulai dari skema cool storage yang nyatnya masih saja memiliki celah, karena bisa dibilang, skema ini hanya akan efektif dalam jangka pendek. Mengapa? karena ikan yang terlalu lama didinginkan, tingkat kesegarannaya pun tentu juga akan menurun sehingga secara tidak langsung, hal ini tentu menurunkan harga jual yang sudah barang tentu menurunkan (pula) daya beli konsumen, alias sama aja, bukankah demikian? Upaya berikutnya, perihal bantuan non tunai dari pemerintah kepada nelayan yang juga sama halnya seperti skema cool storage, alias banyak juga kekurangannya, mulai tidak meratanya bantuan, hingga bentuk bantuan yang bisa dikatakan kurang manusiawi karena terlewat sedikit. Terakhir, yakni soal pernyataan ketidakmampuan pemerintah pusat dalam mengendalikan harga, sebuah pernyataan yang tidak mendasar. Iya, memang tidak mendasar dan cenderung ngawur, padahal kita semua tahu bahwa pemerintah bisa melakukan segalanya bukan? Sekurang-kurangnya dengan membuat kebijakan yang pro kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan, iya kan? Pada akhirnya, sesuai dengan konsep umum kebijakan publik ya, jadi yang namanya kebijakan nih memang pada dasarnya tidak ada yang sempurna. Alias, semua sudah tentu ada celahnya. Lantas, yang bisa dilakukan pemerintah, mudahnya dengan menetapkan kebijakan mana yang paling banyak mendatangkan kesejahteraan bagi publik, dalam hal ini kelompok nelayan dan petambak. Nah, ketika kita menemui hal yang sebaliknya, maka memberikan kritik yang membangun terhadap kebijakan tersebut adalah cara kita mendukug pemerintah, bukan lain agar kebijakan yang telah ditetapkan bisa dikaji ulang sehingga dapat terwujud kebaikan bersama.
MENYULUT ENERGI HIJAU DARI EMAS CAIR: PERAN STRATEGIS KELAPA SAWIT DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Read More