Eka Wahyu Murtiningtyas A Fresh Graduate Majoring in International Relations 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Pada 15 November 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan setidaknya terdapat 8 miliar orang tinggal di dunia ini, di mana sebanyak 1,3 miliar atau satu dari enam orang adalah penyandang disabilitas.[1] Alih-alih mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, penyandang disabilitas justru menjadi individu yang dua kali lebih rentan terhadap kekerasan, diskriminasi dan pelecehan daripada mereka yang non-disabilitas. Sebut saja diskriminasi di lingkungan sosial yang membuat mereka mungkin merasa termarginalkan, di tempat kerja misalnya. Menurut Robert Pamela dan Harlan Sharon dalam jurnalnya yang berjudul “Mechanisms of Disability Discrimination in Large Bureaucratic Organizations: Ascriptive Inequalities in the Workplace”, menuliskan bahwa diskriminasi di tempat kerja tidak hanya ditoleransi tetapi juga didorong oleh praktik dan kebijakan organisasi birokrasi besar di mana diskriminasi ini mengarah pada pemisahan pekerjaan, rendahnya tingkat promosi dan akomodasi yang memadai hingga lingkungan kerja yang tidak bersahabat.[2] Tidak cukup sampai disitu, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan serta minimnya partisipasi di ranah politik adalah realita yang juga harus dihadapi. Bukan hanya penyandang disabilitas, orang tua dengan anak penyandang disabilitas khususnya ibu juga mengalami hal yang berat. Menurut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dimuat dalam The Conversation menuliskan bahwa setidaknya ibu dengan anak disabilitas menghadapi tiga tantangan. Pertama, tantangan terkait sikap (attitudinal barriers) di mana hal ini berkaitan dengan stigma dari masyarakat yang menganggap bahwa ibu adalah penyebab seorang anak mengalami disabilitas. Kedua, tantangan fisik. Pentingnya peran ibu untuk mendukung aktivitas rutin harian anak penyandang disabilitas tidak diragukan lagi. Akan tetapi dengan kondisi anak yang terbatas, para orang tua khususnya ibu membutuhkan waktu lebih untuk melakukan pengawasan terhadap anak tersebut terlebih jika mereka diharuskan berkegiatan di luar rumah. Salah satu bentuk pengawasan di luar rumah adalah ketika para orang tua memilih untuk mengantarkan anak penyandang disabilitas dengan moda transportasi online dibandingkan dengan angkutan publik karena masih banyak fasilitas yang belum ramah disabilitas. Ketiga, tantangan kondisi finansial. Anak penyandang disabilitas membutuhkan biaya di luar layanan yang disediakan oleh perusahaan asuransi, seperti biaya terapi dan pemanggilan petugas kesehatan ke rumah sehingga tagihan keuangan ditaksir akan 30% lebih besar jika dibandingkan dengan keluarga non-disabilitas. Maka dengan kondisi seperti ini, banyak ibu lebih memilih untuk merawat anaknya dan mengorbankan karirnya sehingga kebutuhan finansial diserahkan sepenuhnya kepada ayah.[3] Hal-hal di atas adalah masalah yang sebenarnya telah kita ketahui namun masih minim implementasi dalam penyelesaiannya. Akan tetapi, isu ketidakadilan bagi penyandang disabilitas perlahan naik ke permukaan serta mulai diperhatikan sejak Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) diperkenalkan pada tahun 2006 dan mulai entry into force pada 3 Mei 2008. CRPD adalah instrumen hukum internasional pertama yang merefleksikan pentingnya pemenuhan hak yang dikhususkan bagi para penyandang disabilitas di mana konvensi ini telah diratifikasi oleh 185 negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan pernyataan ratifikasi yang dituliskan dalam Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2011 dapat ditafsirkan bahwa Indonesia telah terikat dan berkewajiban untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Kemudian untuk menindaklanjuti komitmennya terhadap CRPD, pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam Pasal 53 UU No. 8 Tahun 2016, telah dituliskan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) berkewajiban untuk mempekerjakan setidaknya 2% sedangkan sektor swasta diwajibkan setidaknya mempekerjakan 1% individu penyandang disabilitas dari total pekerja yang ada.[4] Namun hingga kini, masih banyak perusahaan yang belum menerapkan sebagaimana diamanatkan sehingga mayoritas penyandang disabilitas bekerja pada sektor informal, seperti pertanian atau sebagai buruh.[5] Selain fasilitas bagi penyandang disabilitas yang belum memadai, permasalahan lain yang akan muncul ketika individu penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan adalah sikap rekan kerja yang mungkin kurang dapat diterima. Mengubah pandangan individu tentang suatu isu bukanlah hal yang mudah dan dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Untuk itu, perbaikan infrastruktur mungkin adalah salah satu cara yang dapat diperjuangkan untuk mewujudkan lingkungan ramah penyandang disabilitas. Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan adalah agenda ke-11 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), yang harus diwujudkan oleh pemerintah Indonesia. Kini pasti banyak warga kota-kota besar mulai menyadari keberadaan guiding block di jalan pedestrian (jalan khusus pejalan kaki), penyediaan lift dan kursi roda di jembatan penyeberangan orang (JPO) dan fasilitas publik lain seperti stasiun, serta penyediaan kursi prioritas pada transportasi umum adalah hal yang nampaknya sudah lumrah dan wajib ada untuk menyokong kebutuhan penyandang disabilitas meskipun masih banyak angkutan umum, seperti angkutan kota (angkot) dan terminal yang masih perlu dibenahi. Di sisi lain, terdapat inovasi yang sudah ada namun perlu dioptimalisasi dan disebarluaskan penggunaannya. Pengembangan Website Ramah Disabilitas Kini hampir seluruh instansi pemerintah, perusahaan dan keorganisasian memiliki platformnya di media sosial maupun website resmi untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas. Namun, tidak sedikit website yang belum ramah terhadap penyandang disabilitas. Bukan berarti tidak ada karena nyatanya terdapat beberapa website Pengadilan Agama (PA) serta organisasi kini telah dilengkapi dengan fitur ramah disabilitas, seperti website milik PA Tigaraksa dan ITDP Indonesia. Website tersebut dapat dikembangkan oleh seluruh pihak karena berdasarkan tampilan yang dapat dilihat sangat ramah terhadap disleksia dan penyandang tunanetra. Para penyandang disleksia dapat mengatur besar huruf, jarak spasi teks dan tampilan kontras website, sedangkan para penyandang disabilitas netra dapat menggunakan fitur suara. Inovasi ini tentunya akan sangat membantu beberapa kelompok masyarakat untuk menciptakan linkungan yang inklusif. Penggunaan Huruf Braille Di era globalisasi ini tidak menampik bahwa kehadiran teknologi berbasis digital melalui beberapa fitur aplikasi dapat memberikan informasi dalam waktu yang cepat. Teknologi juga telah memudahkan manusia dalam menyokong kebutuhan sehari-hari. Namun, seluruh kemudahan tersebut belum tentu dapat dinikmati oleh beberapa kelompok masyarakat, seperti masyarakat yang tidak memiliki identitas, masyarakat yang tidak memiliki telepon pintar dan akses internet, serta beberapa bentuk penyandang disabilitas salah satunya penyandang disabilitas netra. Untuk itu diperlukan inovasi yang lebih inklusif, seperti penyediaan papan huruf Braille. Di salah satu puskesmas di kota Malang, penggunaan huruf Braille termanifestasikan ke dalam Braille e-Ticket and Extraordinary Access for Visual Disabilities (BREXIT). Hal ini dinilai telah meningkatkan kemandirian bagi para penyandang disabilitas netra karena melalui BREXIT penyandang disabilitas netra dapat mendaftarkan diri untuk pemeriksaan, mengambil obat serta membaca dosis penggunaan obat secara mandiri. Dengan demikian, inovasi yang demikian perlu dikembangkan di berbagai instansi dan fasilitas publik di Indonesia.[6] Pengadaan Transportasi Khusus Penyandang Disabilitas Tahun 2016 lalu, pemerintah provinsi DKI Jakarta meluncurkan layanan transportasi yang dikhususkan bagi penyandang disabilitas bernama ‘Transjakarta Cares’. Tidak hanya untuk penyandang disabilitas, transportasi ini juga dapat diakses oleh para lansia, pendamping dan lainnya. Pada setiap mobil yang disediakan, terdapat satu orang pengemudi dan satu orang petugas yang telah dilatih untuk menangani penyandang disabilitas. Meskipun dengan keterbatasan jumlah armada dan zona layanan, namun pihak PT. Transjakarta mengklaim bahwa angkutan ini dapat mengantar dari lokasi asal pelanggan ke halte terdekat yang ramah disabilitas. Untuk itu, sebagaimana penjelasan di atas bahwa orang tua lebih memilih untuk menggunakan transportasi online untuk mengantarkan anak penyandang disabilitas berkegiatan di luar rumah akan sedikit terbantu dengan hadirnya transportasi khusus ini. Transjakarta Cares akan mengurangi pengeluaran para orang tua dengan anak penyandang disabilitas karena layanan ini tidak berbayar. Pemerintah menyiapkan subsidi sebagai wujud keadilan bagi seluruh penduduk tanpa terkecuali. Dengan demikian, transportasi khusus ini perlu digiatkan baik dari pemerintah maupun dorongan dari sektor privat melalui program corporate social responsibility (CSR) di berbagai daerah yang juga harus diiringi dengan perbaikan fasilitas publik lain ramah disabilitas. Pendekatan Bottom-Up untuk Berkolaborasi Mengambil contoh yang diterapkan oleh Kota Jönköping di Swedia, pemerintah kota harus melibatkan perwakilan penyandang disabilitas dalam proses pengambilan keputusan demi memahami apa yang diperlukan oleh penduduknya. Dalam proses pembuatan keputusan untuk penataan kota, perwakilan penduduk menyuarakan proyek konstruksi pengadaan fasilitas publik yang ramah disabilitas, seperti gedung yang dilengkapi oleh peta, deskripsi audio dan papan bahasa isyarat (sign language), jalur khusus kursi roda dan kereta bayi pada setiap undakan, serta huruf Braille. Pengadaan jalan ramah kursi roda juga diharapkan hadir pada taman rekreasi serta pantai yang dilengkapi oleh adanya keranjang pantai (beach basket). Pada ruang terbuka hijau dan penyeberangan jalan diperlukan fasilitas sensor yang apabila disentuh atau sensor tersebut mendeteksi keberadaan seseorang dapat memberikan penjelasan mengenai tanaman yang ada atau arahan penyeberangan. Kemudian, diperlukan pendirian sekolah khusus untuk melatih guru di mana nantinya mereka akan menyelenggarakan pendidikan bagi penyandang disabilitas. Untuk acara tahunan, pemerintah kota perlu mengadakan penghargaan tahunan untuk bisnis lokal yang fokus pada penciptaan lingkungan yang inklusif.[7] REFERENSI [1] World Health Organization, “10 Facts on Disability”, 1 Desember 2020, tersedia di https://www.who.int/news-room/facts-in-pictures/detail/disabilities diakses pada 3 Januari 2023. [2] Pamela M. Robert dan Sharon L. Harlan, “Mechanism of Disability Discrimination in Large Bureaucratic Organizations: Ascriptive Inequalitive in the Workplace”, The Sociological Quarterly 47(7): 599-630, 2006 [jurnal on-line]; tersedia di https://www.jstor.org/stable/4121184 diakses pada 5 Januari 2023. [3] Angga Sisca Rahadian, dkk, “Melepas Karir, Mendapat Stigma dan Sinisme: Bagaimana Tantangan yang Dihadapi Ibu dengan Anak Disabilitas”, The Conversation, 22 Desember 2022, tersedia di https://theconversation.com/melepas-karir-mendapat-stigma-dan-sinisme-bagaimana-tantangan-yang-dihadapi-ibu-dengan-anak-disabilitas-196786 diakses pada 4 Januari 2023. [4] Presiden Republik Indonesia, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016”, 2016, tersedia di https://pug-pupr.pu.go.id/_uploads/PP/UU.%20No.%208%20Th.%202016.pdf diakses pada 4 Januari 2023. [5] Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Australian Government, “Disability Situation Analysis Challenges and Barriers for People with Disability in Indonesia”, 2020, tersedia di https://www.tnp2k.go.id/download/39050Disability%20Situation%20Analysis.pdf diakses pada 5 Januari 2023. [6] Localise SDGs, “BREXIT, Inovasi Peningkatan Kemandirian Penyandang Disabilitas Netra di Kota Malang”, tersedia di https://localisesdgs-indonesia.org/beranda/cs/brexit-inovasi-peningkatan-kemandirian-penyandang-disabilitas-netra-di-kota-malang diakses pada 3 Januari 2023. [7] European Commission, “Access City Award 2021: Examples of Best Practice in Making EU Cities More Accessible”, 2021, tersedia di https://ec.europa.eu/social/main.jsp?catId=738&langId=en&pubId=8395&furtherPubs=yes diakses pada 5 Januari 2023.
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More