fbpx
Youtube: Lien Foundation

Deskless Classroom: Konsep Kelas Tanpa Meja untuk Kegiatan Belajar yang Setara

Sudah lama sejak saya terakhir kali menonton sebuah video dokumenter bertajuk How We Do School Finland (HWDSF) di sebuah kanal Youtube, Lien Foundation. Namun informasi tentang bagaimana kegiatan belajar mengajar di sebuah sekolah dasar (SD) di Finlandia tersebut bertahan begitu lama di ingatan hingga sekarang. Saya selalu terbayang betapa menyenangkan kegiatan pendidikan di sekolah tersebut diperlihatkan. Juga betapa tayangan tersebut mencerminkan suksesnya negara Finlandia dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif.

Dalam video yang mengisahkan studi banding dua orang guru SD Singapura ke sebuah SD di Finlandia tersebut diketahui bahwa sudah beberapa tahun ke belakang, Finlandia, negara peringkat kedua dengan sistem pendidikan terbaik oleh US News (2023) ini, berusaha menjadikan semua SD di negara tersebut sebagai Sekolah Inklusi yang benar-benar inklusif.

Pemerintah Finlandia menargetkan ke depannya tidak ada lagi SD khusus untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) di sana, atau yang biasa kita sebut di negara kita sebagai Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Mereka memiliki tujuan nantinya anak-anak ABK maupun non-ABK dapat bersekolah di sekolah terdekat manapun bersama-sama tanpa rasa khawatir, karena seluruh sekolah di negara tersebut pada akhirnya dapat mengakomodasi kebutuhan apapun per individu siswa (Amstrong & Spandagou, 2010). Salah satu tujuan dari inklusivitas SD yang mereka kampanyekan adalah untuk meningkatkan keterampilan meta kognitif siswa ketika dihadapkan pada masalah kesenjangan sosial (social inequality) dalam lingkungan mainstream (Lingard & Mills, 2007). 

Pengurangan SDLB di Finlandia tentu tidak semerta-merta dilakukan tanpa persiapan dan pertimbangan. Guru Pendamping Khusus (GPK), terapis, dokter, konselor dan psikolog, dipekerjakan di tiap-tiap sekolah. Seluruh guru juga wajib memegang gelar magister dan mengikuti pelatihan khusus. Mereka begitu disiapkan untuk menghadapi siswa dengan masing-masing kondisi dan situasi berbeda.

Today, classroom teachers, subject teachers and special education teachers (in Finland) are expected to work together to assess learning environments and to provide support to students in neighbourhood schools” (Lakkala, Uusiautti, & Määttä, 2016).

Mempertimbangkan kualitas guru dan sistem pendidikan guru di Indonesia yang mungkin masih belum siap jika dibandingkan dengan kualitas guru Finlandia, tidak berlebihan jika menganggap mungkin Indonesia memang masih harus mengadopsi ide pemisahan antara SD reguler dan SDLB. Walau demikian, SD-SD inklusi yang ada di Indonesia mungkin dapat menjadi harapan dalam penerapan pendidikan inklusif yang sukses nantinya sebagaimana Finlandia. Beberapa teori yang dirangkum oleh Lakkala (2019) menyebutkan pentingnya pendidikan Inklusif bagi reformasi sosial:

Inclusive education highlights the need for an ongoing societal reform towards social justice and social sustainability and strives to counteract the negative impact of students’ socio-economic backgrounds on their studies” (e.g. Bossaert, Colpin, Pijl, & Petry, 2011; Lingard & Mills, 2007).

Lalu, sudah seberapa jauh SD inklusi di Indonesia sekarang menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusi dibandingkan sekolah di Finlandia?

Melalui tulisan ini saya ingin secara khusus menyoroti salah satu penerapan dasar yang mendukung terciptanya inklusivitas dalam kegiatan belajar di sekolah dasar yang dicontohkan dalam tayangan episode 3 HWDSF yaitu konsep Deskless Classroom (DS), atau kelas tanpa meja. DS menjadi prinsip penataan ruang kelas di sekolah-sekolah dasar di Finlandia. Mengutip artikel ‘The best guess for the future?’ Teachers’ adaptation to open and flexible learning environments in Finland oleh Niemi (2021), Finlandia secara masif menerapkan prinsip open learning environment ini sejak tahun 2016:

Since 2016, all new schools incorporate open and flexible design, at least to some extent. The more open school design challenges the conventional organisation of space and pre-defined structures and interaction practices.”

Penerapan penataan ruang yang demikian didasarkan pada teori Universal Design Learning bahwa pembelajaran yang efektif harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan beragam siswa dengan menyediakan berbagai pilihan representasi, ekspresi, dan keterlibatan (Bracken & Novak,
2019).

Dalam tayangan HWDSF juga diperlihatkan melalui wawancara bagaimana para siswa terlihat puas dan bahagia berada di sekolah yang menggunakan prinsip DS karena memungkinkan mereka untuk belajar dimanapun dengan posisi apapun yang menurut mereka nyaman. Meja-meja untuk belajar tetap ada namun bukan menjadi keharusan dan monopoli per individu siswa. Semua anak boleh menggunakan atau tidak menggunakan meja untuk belajar. Sebagai gantinya, sofa-sofa, kursi-kursi santai dan meja besar untuk berkelompok terlihat memenuhi ruang kelas. Berikut karpet yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan belajar dengan posisi berbaring. Salah satu guru sekolah di video tersebut mengatakan, “Walau sepertinya terlihat kacau, namun anak-anak terlihat bebas. Semakin bebas terlihat, semakin terasa keharusan untuk mereka bekerjasama karena mereka tidak lagi merasa harus bekerja sendiri dalam sebuah “kotak”.

Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Reinius (2021) dalam publikasinya bertajuk The design of learning spaces matters: perceived impact of the deskless school on learning and teaching. Menghilangkan meja-meja yang “berbaris” di kelas dapat menciptakan suasana belajar yang lebih interaktif dan mendorong kerjasama antar siswa, pergerakan aktif, dan fleksibilitas. Hal ini dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam diskusi, kerja kelompok, kegiatan praktik, serta memfasilitasi berbagai metode pengajaran dan integrasi teknologi untuk mendukung kreativitas dan inovasi dalam pembelajaran. Konsep DS juga menambah rasa tanggung jawab siswa terhadap properti yang dianggap menjadi milik umum. 

Moving around during the lessons appeared to elicit interaction, and the premises seemed to encourage collaborative learning when the desks did not artificially separate the pupils from one another.” (Reinius, 2021).

DS juga bisa memberikan keuntungan tambahan bagi siswa ABK dengan menciptakan lingkungan belajar yang lebih mendukung. Dalam video HWDSF, diperlihatkan dengan tanpa meja, ruang kelas menjadi lebih terbuka dan mudah diakses oleh anak-anak yang menggunakan kursi roda atau alat bantu mobilitas lainnya. Struktur yang fleksibel memungkinkan penyesuaian yang lebih baik untuk tiap kebutuhan individu, sementara kolaborasi dan interaksi antar siswa terjadi antar anak-anak ABK untuk belajar dari teman Non-ABK mereka dan sebaliknya. 

DS juga bisa menjadi alternatif penggabungan antara ruang kelas dan sensory room. Sebagaimana diketahui, sensory room menyediakan ruang yang dirancang khusus untuk merangsang dan mengatur input sensorik, membantu anak-anak untuk mengatur diri mereka sendiri, dan meningkatkan fokus serta konsentrasi. Integrasi sensory rooms dalam DS dapat memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk memanfaatkan kedua konsep ini secara optimal. Misalnya, siswa dengan diagnosa ADHD dan/atau autism syndrome dapat memanfaatkan ruang sensorik untuk meredakan stres, ketegangan, atau kecemasan sebelum dan sesudah kelas, sehingga lebih siap untuk terlibat dalam aktivitas di ruang kelas.

Other forms of flexible seating might include therapy balls, standing desks, or bands, which in some cases have been effective alternatives to chairs for students with ADHD, as they can promote on-task behavior.” (Schilling, Washington, Billingsley, & Deitz, 2003).

Demikian pula kolaborasi antar murid dengan guru dan guru dengan guru juga lebih terakomodasi. Keadaan di mana ruangan tidak didesain untuk memaksa murid duduk berbaris menghadap, mengikuti, dan terus mendengarkan guru sebagai sosok otoritas dapat memberikan banyak kesempatan bagi murid untuk bekerja sama dan berinteraksi dengan bebas, baik dengan sesama murid maupun dengan guru. Gerakan bebas selama pelajaran memicu interaksi. Murid secara aktif bekerja sama memecahkan pertanyaan, dan guru bisa memantau murid mereka lebih cepat secara berkelompok. Para guru juga mau tidak mau harus bekerjasama untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Walaupun sepertinya hal ini dianggap sebagai sebuah tantangan, selebihnya para guru menyadari dengan bekerja sama, mereka lebih mudah menyelesaikan pekerjaan mereka (wawancara terhadap guru di tayangan HWDSF).

Selain itu, penataan ruang kelas secara tradisional yang membutuhkan meja dan kursi untuk setiap siswa, menimbulkan biaya yang signifikan bagi sekolah entah dari pengadaan maupun pemeliharaan.

Pemerintah Kota Semarang, pada tahun lalu, mengganti 10.074 meja dan kursi di 183 sekolah dasar negeri wilayah mereka dengan menghabiskan dana Rp 19 Milyar dari anggaran APBD perubahan 2023 (solopos.com).

Bayangkan jika pemerintah terkait beralih ke kebijakan kelas tanpa meja. Sekolah dapat menghilangkan kebutuhan furnitur tersebut dan berpotensi mengalihkan dana ke inisiatif lainnya seperti alokasi beasiswa untuk siswa tidak mampu, insentif dan pengadaan pelatihan guru, atau perekrutan guru GPK.

Keuntungan lainnya, penghematan ini, jika dilakukan, tidak hanya mendorong keberlanjutan dalam segi keuangan namun juga lingkungan. Produksi dan pembuangan limbah furnitur berkontribusi besar pada limbah lingkungan dan emisi karbon. Mengadopsi konsep DS sejalan dengan tujuan keberlanjutan lingkungan yaitu mengurangi konsumsi sumber daya alam sebagai bahan utama pembuat meja (kayu) dan meminimalkan pembuangan limbah. Pendekatan sederhana yang sadar lingkungan terhadap desain ruang kelas ini dapat mempromosikan implikasi positif jangka panjang bagi lingkungan, selain tentunya bagi siswa, sekolah, dan masyarakat.

Pada akhirnya, seperti yang telah saya utarakan di awal tulisan. Pertanyaan yang muncul adalah sudah seberapa jauh penerapan inklusivitas di SD inklusi di Indonesia dibandingkan dengan contoh penerapan di SD inklusi di Finlandia di atas? Bilakah SD inklusif disini sudah memikirkan hal-hal mendasar seperti tata ruang kelas yang nyaman bagi setiap individu siswa dengan beragam kebutuhan? Dan apakah penerapan konsep DS ini dan konsep lainnya seperti penggabungan siswa SD ABK dengan non ABK akan menjadi hal prioritas yang nantinya diterapkan seperti yang telah dimulai di Finlandia dan negara-negara maju lainnya?

Beberapa SD inklusi seperti SDN 5 Karawaci sudah memang menerapkan konsep DS namun hanya untuk siswa yang masuk dalam kelas inklusi (kelas bagi siswa ABK), dan tidak untuk kelas reguler. Lalu, apakah makna dari inklusif di sekolah inklusif di negara ini sudah benar diterapkan? Ataukah memang kita tidak perlu mengadopsi sistem dan prinsip pendidikan inklusi negara lain karena suatu hal dan yang lainnya? Semoga pertanyaan-pertanyaan lanjutan tersebut dapat mengakomodasi lahirnya ide dan inovasi praktik baik pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan di lingkungan sekolah lainnya.

Ilustrasi Gambar Deskless Classroom (Sumber: Google dan Youtube Channel: Lien Foundation)

Daftar Pustaka:

Youtube, Lien Foundation Channel, How We Do School Finland, 2019.

Ria Aldila, 2023. Pemkot Semarang Ganti Ribuan Meja Kursi Sekolah Jadi Lebih Modern dan Rapi. Jateng.Solopos.com.

Armstrong, D., Armstrong, A. C., & Spandagou, I. (2010). Inclusion: By choice or by chance? International Journal of Inclusive Education.

Cox, E. (2020). Prioritizing Engagement and Movement in the World Language Classroom: An Action Research Study on Deskless Seating in Secondary, Novice-Level Spanish Class. University of Oklahoma.

Bossaert, G., Colpin, H., Pijl, S. J., & Petry, K. (2011). Truly included? A literature study fo- cusing on the social dimension of inclusion in education. International Journal of Inclusive Education.

Bracken & Novak. (2019). Transforming Higher Education Through Universal Design for Learning.

Lakkala, S., Uusiautti, S., & Määttä, K. (2016). How to make the nearest school a school for all? Journal of Research in Special Educational Needs.

Lakkala, S., Takkala, Miettunent ,H., (2016). Steps Towards and Challenges of Inclusive Education in Northern Finland.

Lingard, B., & Mills, M. (2007). Pedagogies making a difference: Issues of social justice and inclusion. International Journal of Inclusive Education.

Niemi, K. (2021). The best guess for the future?’ Teachers’ adaptation to open and flexible learning environments in Finland.

Oz, A.S. (2023). How does student with and without disabilities percieve student-teacher relationship in inclusive elementary classroom?

Reinius. (2021). The design of learning spaces matters: perceived impact of the deskless school on learning and teaching.

Schilling, Washington, Billingsley, & Deitz. (2003). Classroom setting for children with deficit hyperactive disorders.