Alexander Bryan Mahasiswa Jurusan Food Business Technology, Universitas Prasetiya Mulya 0shares Politik di Meja Makan: Kelindan Kesadaran Politis dalam Budaya Pangan Read More Pernyataan Titiek Soeharto yang mengusung kembali swasembada pangan ala Orde Baru menuai banyak kritik. Di sisi lain, program pemerintah saat ini, seperti “food estate,” juga menimbulkan kekhawatiran serius. Meski terlihat menjanjikan dalam hal peningkatan produksi pangan, pendekatan monokultur yang diusungnya berpotensi menimbulkan dampak ekologis yang merugikan, mengancam keberlanjutan, dan bahkan kedaulatan pangan jangka panjang. Sejak era Orde Baru, program swasembada pangan yang lebih dikenal dengan “beras-isasi” telah mengubah budaya pangan masyarakat Indonesia secara drastis. Fokus yang terlalu besar pada produksi dan konsumsi beras sebagai makanan pokok mengesampingkan keragaman pangan lokal yang sebenarnya sudah menjadi bagian penting dari budaya Indonesia. Misalnya, sagu di Papua dan Maluku, jagung di Nusa Tenggara Timur, atau ubi di berbagai daerah lainnya. Kebijakan ini tidak hanya membatasi pilihan pangan masyarakat, tetapi juga perlahan-lahan mengubah persepsi sosial terhadap makanan. Kini, makanan pokok non-beras sering dianggap inferior, padahal dari segi gizi dan keberlanjutan, mereka tak kalah penting. Bahaya Monokultur dan Penyeragaman Pangan Salah satu risiko terbesar dari kebijakan monokultur adalah hilangnya keanekaragaman hayati. Sistem pertanian yang hanya fokus pada satu jenis tanaman meningkatkan kerentanan terhadap serangan hama dan penyakit. Akibatnya, lahan pertanian menjadi lebih bergantung pada bahan kimia pertanian, yang justru memperburuk kondisi lingkungan. Secara ekonomi, monokultur juga memaksa petani untuk menanam komoditas yang belum tentu sesuai dengan kondisi lahan atau kebutuhan lokal. Hal ini mengurangi daya tawar petani dan melemahkan ketahanan ekonomi masyarakat. Sebaliknya, sistem pertanian yang menghargai kearifan lokal dan mendorong keragaman pangan justru lebih tahan terhadap tantangan perubahan iklim dan guncangan ekonomi. Ahmad Arif, dalam bukunya Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan, menegaskan pentingnya kebijakan pangan yang menghormati kekayaan budaya pangan lokal. Penyeragaman pangan melalui monokultur tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengikis kearifan lokal yang telah berkembang selama berabad-abad. Arif mencontohkan beberapa komunitas adat yang telah lama menerapkan pola tanam selaras dengan lingkungan, seperti masyarakat Tana Toraja dengan sistem alang atau masyarakat Dayak dengan ladang berputar. Pendekatan semacam ini menunjukkan bahwa kedaulatan pangan justru bisa diperkuat melalui penghormatan terhadap keragaman pangan lokal. Buku Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan Belajar dari Thailand: Prinsip Ekonomi Cukup Sebagai perbandingan, Thailand berhasil membangun sistem pangan yang kuat melalui prinsip Sufficiency Economy atau ekonomi yang cukup, yang digagas oleh Raja Bhumibol Adulyadej. Konsep ini menekankan kemandirian, keseimbangan, dan keberlanjutan. Prinsip ini memungkinkan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar tanpa terlalu bergantung pada faktor eksternal yang rentan terhadap perubahan ekonomi global. Thailand International Cooperation Agency (TICA) kemudian mengembangkan The New Theory Agriculture, yang membagi pertanian menjadi beberapa tahap. Tahap pertama fokus pada kemandirian individu, di mana petani memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Lahan dibagi menjadi empat zona: penyimpanan air (30%), budidaya padi (30%), tanaman diversifikasi (30%), dan area perumahan serta infrastruktur (10%). Tahap ini bertujuan menciptakan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Tahap kedua adalah penguatan kerja sama komunitas. Petani didorong untuk membentuk kelompok atau koperasi guna berbagi sumber daya, pengetahuan, dan akses ke pasar. Kolaborasi ini membantu mengurangi risiko dan biaya individu, sekaligus meningkatkan produktivitas secara kolektif. Tahap ketiga adalah ekspansi komersial. Komunitas petani yang sudah stabil mulai terhubung dengan jaringan yang lebih luas, seperti perusahaan swasta atau organisasi non-pemerintah. Fokusnya adalah meningkatkan skala produksi dan memperluas akses ke pasar nasional maupun internasional, sambil tetap mempertahankan keberlanjutan. The New Theory Farming PracticeThailand International Cooperation Agency (TICA) Salah satu penerapan prinsip ini adalah Khok Nong Na Model, di mana lahan dibagi menjadi area pertanian, peternakan, dan konservasi air. Model ini memungkinkan petani menanam berbagai jenis komoditas, mengurangi risiko gagal panen, dan meningkatkan ketahanan pangan lokal. Khok Nong Na ModelNarathiwat Science Center for Education Rekomendasi untuk Indonesia Indonesia memiliki kekayaan hayati dan budaya pangan yang luar biasa, namun belum sepenuhnya dimanfaatkan. Untuk mencapai kedaulatan pangan yang berkelanjutan, pemerintah perlu mengadopsi kebijakan yang berbasis pada kekuatan lokal dan memberdayakan masyarakat setempat. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain: Mendukung Diversifikasi PanganAlih-alih fokus pada monokultur, pemerintah perlu mendorong diversifikasi pangan dengan memberi ruang bagi komoditas lokal untuk berkembang. Memberdayakan Komunitas LokalMemperkuat peran komunitas lokal dalam mengelola pangan, termasuk melibatkan masyarakat adat dan kearifan lokal, akan mendukung keberlanjutan dan kedaulatan pangan. Mengadopsi Model Sufficiency Economy dan Khok Nong NaPemerintah bisa belajar dari Thailand dengan menerapkan model serupa yang mendukung diversifikasi tanaman dan konservasi lingkungan, disesuaikan dengan kondisi lokal Indonesia. Mengembangkan Pendidikan Pertanian BerkelanjutanEdukasi dan pelatihan tentang pertanian berkelanjutan perlu digalakkan, dengan fokus pada diversifikasi dan praktik ramah lingkungan. Dengan pendekatan yang menghargai keragaman pangan lokal, Indonesia bisa membangun sistem pangan yang lebih berkelanjutan dan tangguh. Daripada mengulang kesalahan masa lalu dengan model swasembada yang kaku, kita perlu mengembangkan kebijakan pangan yang inklusif, adaptif, dan berbasis pada kekuatan lokal.