fbpx

Politik di Meja Makan: Kelindan Kesadaran Politis dalam Budaya Pangan

Pangan dan politik sering dianggap sebagai dua ranah yang terpisah. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Fadly Rahman dalam bukunya Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, keduanya memiliki hubungan erat yang saling memengaruhi dan membentuk sejarah peradaban manusia. Politik bukan sekadar urusan kekuasaan; ia menentukan bagaimana masyarakat mendapatkan, memproduksi, dan mengelola pangan. Oleh karena itu, memahami keterkaitan ini penting agar kita tidak memandang politik sebagai sesuatu yang jauh dari kehidupan sehari-hari.

Politik dan Budaya Pangan: Jejak dalam Sejarah Indonesia

Dalam sejarah Indonesia, kita bisa melihat bagaimana dinamika politik membentuk budaya pangan. Pada masa berburu dan meramu, pola makan masyarakat ditentukan oleh kebijakan adaptasi terhadap lingkungan, yang dipengaruhi oleh pemimpin komunitas. Di masa kerajaan Hindu-Buddha, pangan menjadi simbol status dan ritual religius, seperti persembahan hasil bumi kepada para dewa.

Kemudian, masuknya Islam membawa perubahan besar, termasuk dalam pola konsumsi yang dipengaruhi oleh syariat, seperti larangan memakan babi dan alkohol. Perdagangan rempah-rempah yang berkembang di Nusantara tidak hanya menjadi penopang ekonomi, tetapi juga menarik kolonialisasi Barat yang membentuk ulang sistem pertanian melalui tanam paksa. Setelah merdeka, kebijakan pangan terus menjadi strategi politik dalam membangun identitas nasional, seperti program diversifikasi pangan pada era Orde Baru yang mendorong konsumsi beras sebagai simbol kedaulatan.

Kebijakan dan Krisis Pangan: Pelajaran dari Masa Kini

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah peristiwa yang melibatkan krisis pangan di Indonesia menunjukkan betapa besar pengaruh politik terhadap sistem pangan nasional. Kebijakan yang diambil—atau diabaikan—dapat menciptakan dampak besar terhadap stabilitas ekonomi, kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan, hingga akses masyarakat terhadap bahan makanan pokok. Berikut beberapa contoh nyata yang mencerminkan bagaimana arah politik dapat berkontribusi pada krisis pangan, sekaligus memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya partisipasi publik dalam pengawasan kebijakan tersebut.

  1. Kelangkaan dan Kenaikan Harga Minyak Goreng (2021-2022)

Krisis minyak goreng pada akhir 2021 dan awal 2022 menjadi salah satu episode yang menyadarkan masyarakat tentang kerentanan kebijakan pangan nasional. Sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia, ironisnya Indonesia mengalami kelangkaan minyak goreng di pasar domestik, yang disertai kenaikan harga yang signifikan.

Masalah ini bermula dari kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan ekspor minyak kelapa sawit untuk mendapatkan devisa, sehingga pasokan domestik menjadi tidak mencukupi. Ketika harga minyak sawit mentah (CPO) melonjak di pasar global, produsen lebih memilih mengekspor hasil mereka daripada menjualnya di pasar lokal dengan harga yang diatur pemerintah. Akibatnya, konsumen menghadapi kelangkaan dan harus membayar harga yang jauh lebih tinggi untuk kebutuhan sehari-hari.

Krisis ini menggambarkan lemahnya regulasi pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan pasar domestik dan prioritas ekspor. Selain itu, kebijakan yang tidak tegas terhadap monopoli produsen besar memperburuk situasi. Dari sini, kita belajar bahwa politik perdagangan harus didasari prinsip keadilan, di mana kebutuhan dasar masyarakat menjadi prioritas utama dibandingkan keuntungan komersial di pasar global.

  1. Kembalinya PMK pada Ternak Ruminansia (2022)

Penyakit mulut dan kuku (PMK) adalah salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan hewan ternak, yang dapat berdampak luas pada peternak dan industri pangan. Setelah 32 tahun menyandang status bebas PMK tanpa vaksinasi, Indonesia kembali dilanda wabah ini pada tahun 2022. Penyebab utamanya adalah pelonggaran impor ternak dan produk ternak dari luar negeri tanpa pengawasan yang memadai.

Keputusan politik yang membuka keran impor tanpa mempertimbangkan risiko biologis ini bukan hanya menunjukkan lemahnya regulasi kesehatan hewan, tetapi juga memberikan beban besar bagi peternak lokal. Ribuan ternak terinfeksi, banyak yang harus dimusnahkan, dan peternak menderita kerugian besar akibat penurunan produksi serta pembatasan distribusi ternak. Selain itu, wabah ini memicu kenaikan harga daging dan produk olahannya di pasar domestik, membebani konsumen yang sudah menghadapi inflasi pangan.

Kembalinya PMK mengajarkan pentingnya politik berbasis bukti (evidence-based policy), di mana keputusan impor tidak hanya didasari pertimbangan ekonomi semata tetapi juga dampaknya pada ekosistem lokal. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kontrol masyarakat terhadap kebijakan perdagangan internasional yang dapat mengancam sektor pangan domestik.

  1. Petani Membuang Sayur Hasil Panen

Fenomena petani membuang hasil panen, seperti sayur-mayur, karena harga jual yang terlalu rendah adalah ironi dalam negeri agraris seperti Indonesia. Ini bukan sekadar persoalan overproduksi, tetapi juga cerminan buruknya tata niaga hasil pertanian.

Pada tahun-tahun tertentu, petani sering kali menghadapi situasi di mana harga jual hasil panen tidak mampu menutup biaya produksi mereka. Ini terjadi karena tidak adanya sistem yang memastikan stabilitas harga, seperti mekanisme penyerapan hasil panen oleh pemerintah atau akses yang memadai ke pasar yang lebih luas. Akibatnya, ketika produksi melimpah tetapi permintaan menurun, hasil panen menjadi tidak bernilai dan petani memilih membuangnya daripada menjual dengan kerugian besar.

Masalah ini juga terkait dengan kebijakan impor yang kurang berpihak pada petani lokal. Ketika produk impor, seperti sayur atau buah, membanjiri pasar dengan harga lebih murah, produk lokal kalah bersaing. Hal ini diperparah dengan infrastruktur distribusi yang kurang memadai, sehingga hasil panen sulit mencapai pasar di luar daerah penghasil.

Fenomena ini menegaskan perlunya kebijakan politik yang mendukung pembangunan sistem logistik yang efisien dan keberpihakan pada petani kecil. Program stabilisasi harga dan penyediaan insentif bagi petani untuk mengelola surplus produksi menjadi kebutuhan mendesak agar sektor pertanian dapat menjadi lebih berkelanjutan dan adil.

Konteks yang Lebih Luas: Politik dan Masa Depan Pangan

Artikel ini bertujuan untuk mengulik SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh, yang menekankan pentingnya tata kelola yang inklusif, transparan, dan akuntabel dalam sistem pemerintahan, terutama terkait sistem pangan. SDG 16 mendorong masyarakat untuk memiliki akses terhadap proses pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Dalam konteks pangan, hal ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran politis dan partisipasi publik dalam mendefinisikan arah kebijakan yang akan memengaruhi ketahanan pangan, kesejahteraan petani, dan keberlanjutan produksi pangan.

Sebagaimana dibahas, kebijakan yang kurang berpihak pada sektor pangan domestik, seperti pelonggaran impor ternak atau kebijakan ekspor minyak kelapa sawit yang tidak mempertimbangkan kebutuhan lokal, dapat menyebabkan krisis pangan yang berdampak langsung pada konsumen dan produsen. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang dibuat di tingkat pemerintahan sering kali memiliki konsekuensi besar, baik pada harga pangan, aksesibilitas, dan bahkan kesehatan masyarakat.

Untuk itu, kesadaran politis sangat diperlukan untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan tersebut tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga berpihak pada kepentingan rakyat banyak, terutama kelompok rentan seperti petani, peternak, dan nelayan. Masyarakat yang melek politik akan lebih mampu mengawasi kebijakan pangan, mengkritisi keputusan yang tidak berpihak pada kesejahteraan bersama, dan mendorong transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya pangan. Partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan menjadi salah satu pilar penting untuk mewujudkan tata kelola yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan pangan masyarakat.

Oleh karena itu, mengajak masyarakat untuk lebih aktif dalam politik, terutama dalam isu pangan, bukan hanya penting untuk memastikan keberlanjutan sistem pangan, tetapi juga untuk menjaga integritas dan keadilan dalam kebijakan yang diterapkan oleh negara. Kesadaran dan partisipasi yang lebih luas akan mendorong terciptanya kebijakan pangan yang lebih inklusif, transparan, dan akuntabel, sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam SDG 16.