fbpx
Shutterstock/mastique87

Wisata Tanpa Ala-Ala

Akhir 2019 yang lalu saya pergi ke kampung Korea. Berdasarkan “riset” kecil yang saya lakukan via sosial media Instagram dan Google photos, saya merasa Kampung Korea cukup menarik. Beragam ekspektasi mulai bermunculan. Nyatanya sesampainya disana, realita tak seindah bayangan.

Beberapa kali saya tersasar karena petunjuk arah yang tidak jelas. Lokasi kampung Korea yang terletak di tengah kebun dan pemukiman warga, serta padatnya pengunjung di akhir tahun, membuat jalanan kampung yang sudah sempit semakin macet dan terlihat kumuh. Hawa panas menyergap tanpa ampun karena pepohonan yang tertanam di pinggir jalan ditebas guna memenuhi kebutuhan lahan parkir.

Kampung Korea tak lebih dari sepetak tanah di tengah kebun nanas yang diberi hiasan pohon sakura imitasi yang terbuat dari plastik dan print sablon huruf Hangeul yang dipasang secara terbalik. Alih-alih merasa segar setelah berwisata, saya pulang dengan rasa lelah dan sesal luar biasa. Sampah plastik banyak berserakan di jalanan karena banyaknya penjaja minuman yang menggunakan plastik dan minimnya fasilitas tempat sampah.

Lahan parkir liar membuat petak-petak kebun menjadi tidak rata karena ban kendaraan yang melindas tanah dan tanaman. Dan yang paling membuat saya miris adalah konsep dan realita dengan keadaan sekitar yang sama sekali tidak match dan cenderung memaksa demi memenuhi ekspektasi pasar tanpa diimbangi pemahaman yang sepadan tentang apa yang ditawarkan. Hanya berbekal tagline “spot foto instagrammable” Kampung ala-ala Korea sukses membuat saya merasa skeptis tentang konsep marketing wisata sejenis di Indonesia. Ala ini ala itu, rasa ini rasa itu, tapi bukan rasa Indonesia.

Tentang Wisata Berkelanjutan

Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang secara holistik mempertimbangkan segala aspek ekonomi, sosial, dan dampak lingkungan, memprioritaskan kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan komunitas lokal. Pariwisata berkelanjutan harus mampu mengoptimalkan sumber daya alam dengan tetap mempertahankan proses ekologi serta menjaga kekayaan hayati. Menghormati keaslian budaya masyarakat lokal, melestarikan nilai dan budaya tradisional serta berkontribusi terhadap pemahaman antar budaya serta toleransi. Memastikan bahwa sektor ini dapat menciptakan proses ekonomi yang bertahan secara jangka panjang, menghasilkan keuntungan ekonomi yang stabil bagi masyarakat lokal yang berkontribusi pada pengurangan angka kemiskinan.

Wisata dengan konsep ala-ala, sekalipun memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat sekitar, kurang sustainable dari sisi konsep karena kecenderungan trend yang terus berubah tanpa diimbangi kemampuan untuk terus memperbaharui diri. Fenomena wisata ala-ala, seperti Kampung Korea, Kampung Indian, dan Kampung Paris, bisa dimaklumi sebagai suatu cara untuk menikmati suasana tempat-tempat tersebut dengan cara yang mudah, murah, dan cepat. Namun tak urung, promosi wisata di daerah yang memiliki kekayaan budaya dan nilai kearifan lokal yang tinggi menjadi ironis. Kediri, sebagai salah wilayah tingkat dua di Jawa Timur memiliki falsafah luar biasa yang tersohor hingga seluruh Nusantara dengan sejarah kearifan lokal yang dapat ditarik hingga ratusan tahun ke belakang.

Kediri Sebagai Konsep

Alam dan sejarah membentuk nilai-nilai budaya. Masyarakat sebagai subjek budaya bertugas untuk melestarikan nilai-nilai tersebut sehingga tetap bisa dinikmati dan dipelajari oleh generasi mendatang. Kediri memiliki banyak sekali kearifan lokal yang bisa diusung sebagai konsep wisata budaya adi luhung.

Secara ekologis, Kediri terletak di sebelah selatan Provinsi Jawa Timur diapit oleh dua Gunung yaitu Gunung Wilis yang bersifat non-vulkanis, dan Gunung Kelud, gunung aktif yang bersifat vulkanis. Di bagian tengah melintang Sungai Brantas yang membagi Kediri menjadi dua bagian timur dan barat.

Dari segi historis, Kediri menjadi sangat menarik karena menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Salah satu yang paling dikenal adalah Raja Jayabaya yang memimpin kerajaan Kediri dan tersohor dengan ramalan Jangka Jayabaya. Pada masa Sri Jayabaya hidup pujangga terkenal yaitu Mpu Panuluh yang kemudian menyelesaikan Kitab Mahabarata.

Sebagai salah satu area yang menjadi situs sejarah yang lebih tua dari Kerajaan Majapahit, banyak kisah rakyat atau folklor yang berasal dari sini. Diantaranya adalah kisah rakyat populer Ande-Ande Lumut dan Klenting Kuning, serta legenda Dewi Kilisuci yang memiliki kaitan erat dengan ritual sesaji yang dilakukan masyarakat lereng Gunung Kelud setiap tahunnya.

Dari segi arsitektur terdapat situs Gereja Poh Sarang yang kental dengan nuansa arsitektur Majapahit. Dari sudut pandang budaya dan sejarah terdapat ritual sesaji Gunung Kelud yang bersumber dari mitos asal muasal Gunung Kelud. Kemudian ada ritual suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya, serta seni Jaranan atau kuda lumping yang unik karena mengandung unsur magis di dalamnya. Kekayaan budaya lokal masyarakat Kediri bukan hanya indah, tetapi juga sarat makna filosofis.

Merujuk pada trend wisata kontemporer, Kediri juga tak kehabisan sumberdaya. Kota Kediri terkenal sebagai Kota Tahu, yaitu kota yang memproduksi tahu kuning dengan cita rasa yang gurih dan lembut. Selain tahu kuning, pada 2020 lalu, masyarakat Kediri mulai melakukan branding kampung tematik sesuai speasialisasi daerah tersebut, sebagai contoh Kampung Jamu di daerah Kelurahan Kampung Dalem, sentra nasi goreng di Kelurahan Dandangan, dan kampung katering di wilayah Bendon, Kelurahan Banjaran. Adanya kampung-kampung tematik ini selain mengusung ciri khas daerah tersebut juga mendukung roda perekonomian masyarakat lokal sesuai identitas mereka.

Kembali Ke Kediri

Fenomena wisata dengan tema ala-ala menunjukkan suatu kecenderungan inferioritas bahwa suatu wilayah merasa tidak percaya diri bersaing dengan potensi wisata yang dimiliki sehingga perlu mencatut konsep dari daerah lain. Ala-ala yang kebablasan ini membuat praktek cocoklagi menjadi marak. Sebagai akibatnya, lingkungan sekitarnya yang menjadi korban. Bukit yang indah dengan latar belakang langit diberi hiasan ornament papan berbentuk hati. Lahan produktif yang seharusnya bisa dijadikan wisata edukasi disulap menjadi ala negara lain dengan pohon sakura imitasi, menara imitasi, dan imitasi-imitasi lainnya.

Pariwisata yang berkelanjutan tidak hanya membutuhkan konsep musiman semata. Konsep berkelanjutan membutuhan partisipasi aktif yang disertai pengetahuan yang cukup dari para pemangku kebijakan. Pariwisata berkelanjutan harus menjaga kepuasan pengunjung serta memastikan pengalaman berharga bagi pengunjung, serta meningkatkan kepedulian terhadap isu-isu yang berkelanjutan seperti lingkungan dan konservasi.

Sebagai salah satu wilayah tertua di Indonesia nama Kediri banyak tersurat pada kesusatraan berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang. Nama Kediri juga terdapat di Prasasti Ceber (1109 Saka) yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar, Kecamatan Mojo. Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”. Dalam prasasti itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.

Berdasarkan bukti-bukti sejarah kata Kediri bisa diartikan Ke Diri atau kembali ke diri sendiri. Menurut Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, nama berasal dari kata “diri” yang berarti “adeg” (berdiri) yang mendapat awalan “Ka” yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti “Menjadi Raja”. Kediri juga dapat berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian atau berswasembada.

Merunut dari terminologi tersebut sudah saatnya pariwisata bergerak ke arah yang lebih inklusif dan didasarkan pada kekayaan daerah sendiri. Sebagai contoh konsep Desa Wisata, pasar-pasar tematik seperti Pasar Papringan di Temanggung atau Pasar Karetan Radja Pendapa di Kendal, Jawa Tengah, yang dikembangkan oleh pegiat wisata setempat dan mengambil konsep kebijaksanaan lokal.

Ketika sektor wisata dikembangan dan dikelola dengan baik, maka sektor ini dapat menjadi tulang punggung terciptanya lapangan kerja, melindungi warisan alam dan budaya, mendukung usaha pelestarian lingkungan, serta secara umum meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal. Ketika situasi pandemi perlahan mulai membaik, usaha-usaha untuk melindungi dan memastikan suatu objek wisata dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama menjadi sangat dibutuhkan.


Referensi

https://kedirikab.go.id/sejarah

https://www.unwto.org/sustainable-development

https://www.unwto.org/tourism4sdgs

https://kedirikota.go.id/p/dalamberita/3905/kelurahan-kampung-dalem-sentra-kampung-jamu-di-kota-kediri-dukung-program-pemkot-kampung-keren

http://news.unair.ac.id/2016/05/17/menggali-kearifan-lokal-bumi-kediri/

Ghozali, Rifqi Zuchal, et.al (2021). Pengembangan Sektor Pariwisata Sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (Studi Kasus Pada Sektor Pariwisata Kabupaten Kediri). Magister Agribisnis (Volume 21 Nomor 1 Januari 2021) ISSN : 1829-7889; e-ISSN : 2715-9086. Universitas Islam Kadiri.

Kurnia, Ita (2018). Mengungkap Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kediri Sebagai Upaya Pelestarian Budaya Bangsa Indonesia. Jurnal PGSD Vol 11, No 1. p-ISSN1693-8577e-ISSN 2599-0691. Universitas Nusantara PGRI Kediri.

Permana, Ragil Indra (2016). Pembangunan Potensi Pariwisata Di Kabupaten Kediri (Studi Di Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten Kediri). Jurnal Administrasi Publik, Volume 4, No 4, Universitas Brawijaya.