fbpx
Freepik/prostooleh

DESA WISATA BERBASIS DIGITAL DAN POTENSI LOKAL SEBAGAI UPAYA MENGATASI KEMISKINAN DAN MEWUJUDKAN PARIWISATA BERKELANJUTAN

Kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah Indonesia yang perlu diselesaikan bersama dalam Sustainable Development Goals. Meskipun sempat menurun, tetapi bangsa ini tidak boleh lengah karena penduduk miskin di Indonesia masih lebih buruk daripada Malaysia dan Thailand. Badan Pusat Statistik mencatat pada Maret 2021 masih ada 27,54 juta penduduk yang hidup dalam garis kemiskinan. Jika dilihat lebih dalam, sumber kemiskinan di dominasi oleh masyarakat perdesaan karena sebanyak 15,37 juta penduduk miskin tinggal di desa.

Ada beragam cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan kemiskinan di desa, salah satunya dengan pariwisata (LPEM FEB UI, 2019). Dengan potensi desa yang beragam, membuat desa dapat menyajikan kekayaan alam dan keberagaman budaya dengan label desa wisata. Desa wisata juga dapat mengatasi kemiskinan dan membuat masyarakat lebih produktif, karena banyak tenaga kerja yang terserap sebagai pengelola pariwisata.

Jumlah desa wisata di Indonesia sudah mencapai 1.836 desa yang tersebar di berbagai pelosok nusantara mulai dari Pulau Jawa 599 desa, Pulau Sumatera 573 desa, Sulawesi 269 desa, Nusa Tenggara 221 desa, Kalimantan 92 desa, Maluku 61 desa, dan Papua 21 desa (Luthfi, 2021). Namun, permasalahan yang sering dihadapi desa wisata di Indonesia diantaranya fasilitas yang kurang memadai, lemahnya sumber daya manusia dalam pengelolaan wisata, dan promosi atau pemasaran yang masih kurang (Rizal dkk, 2021 dan Septemuryantoro, 2021).

Strategi Apa yang Dapat Dilakukan untuk Mengatasi Permasalahan Desa Wisata? 

Melihat permasalahan di atas tentunya diperlukan strategi yang komprehensif dan bertahap. Adapun strategi dilakukan dengan mengikuti perubahan lingkungan global tetapi tidak meninggalkan kearifan lokal. Adapun strategi-strategi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

Menyusun Standar Operasional Prosedur dan Meningkatkan Fasilitas Desa Wisata

Desa Wisata sebagai salah satu penggerak perekonomian daerah tentunya harus terus bergerak selama pandemi Covid-19 yang masih belum tuntas. Oleh kerena itu perlu penyusunan standar operasional prosedur (SOP) yang harus dijalankan oleh pelaku/pengelola, pengunjung, dan pemerintah agar standar baku tata kelola desa wisata cukup jelas.

Pertama, pengelola/ pelaku desa wisata diharuskan menyiapkan protokol kesehatan di desa wisata. Pengelola/pelaku dapat menyiapkan tempat cuci tangan buatan lokal dengan menggunakan gentong (gerabah) produksi dari daerah sentra gentong. Dianjurkan buatan lokal supaya budaya masyarakat yang menjadi mata pencarian terus berkembang dan bergairah. Jika tempat air cuci tangan berasal dari gentong maka ada empat profesi masyarakat yang akan mendapatkan manfaat ekonomi, yakni pengusaha dam truk, supir truk, pengerajin, dan pedagang gentong/gerabah. Selain itu, pengelola/pelaku pariwisata juga harus menyiapkan thermo gun untuk mengukur suhu tubuh setiap pengunjung/wisatawan. Jika ditemukan wisatawan yang suhu tubuhnya di atas ketentuan medis harus direkomendasikan untuk cek diri ke fasilitas kesehatan atau tempat yang sudah dikoordinasikan dengan faslitas/petugas kesehatan. Pengelola juga harus memastikan wisatawan sudah divaksin dengan menunjukkan kartu vaksin.

Kedua, menonjolkan potensi daerah yang ada. Salah satunya dengan menyediakan zona permainan tradisional untuk meningkatkan eksistensi keunikan daerahnya. Selain untuk mengurangi ketergantungan game online atau berselancar di dunia maya selama pandemi. Permainan tradisional dapat menumbuhkan interaksi sosial dengan keluarga, kerabat, atau orang di sekitar. Untuk menambah keseruan pengelola juga dapat menyediakan fasilitas permainan tradisional dengan mengadopsi konsep cerita Squid Game yang sempat viral untuk menambah daya tarik wisatawan.

Ketiga, seiring perkembangan zaman yang serba digital pengelola desa wisata juga perlu mengubah tiket konvensional menjadi e-ticket. Jika memungkinan, perlu penerapan e-wallet untuk meminimalisir kontak fisik.

Dalam menyukseskan SOP ini, diperlukan dukungan dari pengunjung/ wisatawan juga dengan memperhatikan (1) meyakini diri sehat; (2) selalu memakai masker dengan benar; (3) menjaga jarak; (4) beradaptasi dengan melek digital; dan (5) menaati seluruh arahan petugas.

Digitalisasi Informasi Desa Wisata

Digitalisasi yang masif ditambah dengan teknologi-teknologi baru yang muncul, seperti konten virtual yang sudah sangat melekat di lingkungan masyarakat saat ini (OECD, 2020). Oleh karena itu, desa wisata yang diciptakan harus mengikuti perkembangan zaman. Jika wisatawan saja sudah serba digital, maka perlu strategi untuk menyebarkan informasi desa wisata secara digital. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

Pertama, Menerapkan search engine optimization, sebagai upaya mengoptimasikan desa wisata. Sehingga informasi desa wisata mendapatkan peringkat teratas di hasil pencarian pada mesin pencarian, contohnya google. Melalui peringkat teratas di hasil pencarian, potensi kunjungan wisatawan ini akan meningkat dan desa wisata di Indonesia semakin dikenal. Kedua, Membuat official account, pada desa wisata di platform media sosial, seperti facebook ads, instagram ads, twitter, youtube dan tik-tok. Hal ini bertujuan untuk lebih mengenalkan desa wisata kepada masyarakat melalui iklan-iklan, event serta promosi yang diunggah pada media sosial. Selain itu, melihat banyaknya masyarakat yang saat ini menggunakan media sosial, menjadi peluang besar untuk menarik pengguna yang banyak. Ketiga, Bekerja sama dengan influencer dan mahasiswa sebagai brand ambassador dan promotor untuk memperluas jangkauan serta menarik masyarakat untuk mengunjungi desa wisata di Indonesia. Ketiga cara tersebut tentunya dapat meningkatkan jumlah dan kepercayaan masyarakat dalam keberlangsungan desa wisata.

Pemberdayaan Sumber Daya Manusia melalui Sanggar Desa Wisata

Dalam menunjang pengembangan desa wisata perlu dibuat sanggar desa wisata. Sanggar ini nantinya dapat digunakan untuk menciptakan ruang kreatif dalam proses edukasi, pelatihan, promosi, branding, dan lain-lain. Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dapat tergambar dibawah ini:

Kegiatan ini dapat menjadi penyuluhan bagi ahli pariwisata dan mahasiswa. Tentunya, pelaksanaannya dilakukan dengan konsep eco-design resources society yang menggunakan alam sebagai ruang belajarnya.

Lantas,  Siapa Saja yang Terlibat untuk Mengimplementasikan Ide Ini?

Guna mendukung realisasi ide-ide yang sudah dituliskan di atas guna mewujudkan desa wisata berkelanjutan diperlukan kolaborasi pentahelix. Menurut Aribowo dkk, (Aribowo et al, 2018) pentahelix adalah kolaborasi lima unsur stakeholders yaitu akademisi, swasta, pemerintah, komunitas, dan media massa. Adapun stakeholders yang terlibat adalah sebagai berikut:

  1. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI dan Pemerintah Daerah dari pihak pemerintah sebagai regulator yang merumuskan sekaligus menjalankan kebijaksanaan dan fasilitator sebagai penyedia fasilitas.
  2. Akademisi seperti peneliti, tim ahli, dosen serta mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang berperan melakukan riset dan pengembangan dengan menganalisis potensi dan masalah yang ada dalam desa wisata di Indonesia.
  3. Swasta ada yang sebagai stimulus dana untuk pengembangan konsep melalui kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility).
  4. Komunitas memiliki peranan langsung dan strategis dalam mendukung ketiga strategi tersebut mulai dari perbaikan fasilitas, digitalisasi informasi, dan pemberdayaan masyarakat. Komunitas dapat berasal dari kelompok sadar wisata (pokdarwis), karang taruna, komunitas seni, olahraga, ataupun pemuda di Indonesia.
  5. Media massa baik elektronik ataupun cetak yang berperan sebagai pendukung branding desa wisata supaya dapat diketahui oleh masyarakat secara luas.

Penutup

Desa wisata menjadi salah satu potensi untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun potensi ini masih memiliki beberapa kendala seperti fasilitas yang kurang memadai, sumber daya manusia yang kurang kompeten, dan promosi yang belum maksimal. Meskipun masih dalam masa pandemi, desa wisata harus dapat berjalan dengan menerapkan protokol kesehatan dan mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, diperlukan strategi dengan cara menyusun ulang standar operasional prosedur dan meningkatkan fasilitas, digitalisasi informasi desa wisata, dan pemberdayaan masyarakat bagi pengelola desa wisata. Tentunya strategi ini dilakukan secara bertahap baik dari sisi konten maupun stakeholders pendukung. Kolaborasi pentahelix menjadi kunci untuk keberhasilan masa depan desa wisata dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena, perlu adanya penguatan keterlibatan semua pihak dalam pengembangan pariwisata baik pihak pemerintah, swasta, akademisi, komunitas, dan media massa untuk membangun desa wisata yang berkelanjutan. Strategi ini diharapkan mampu menjawab permasalahan desa wisata dan mengatasi kemiskinan di desa. Pada gilirannya dapat terciptanya desa wisata yang berkelanjutan di seluruh Indonesia.

Referensi:

Aribowo, H,  Wirapraja, A & Putra, Y.D. (2018). Implementasi Kolaborasi Model Pentahelix Dalam Rangka Mengembangkan Potensi Pariwisata Di Jawa Timur Serta Meningkatkan Perekonomian Domestik. Jurnal Manajemen Bisnis, 3(1) 3(1), 31-38.

BPS. (2021). Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2021. Diakses melalui https://www.bps.go.id/website/images/Kemiskinan-Maret-2021-ind.jpg pada 28 September 2021.

LPEM FEB UI. (2019). Dampak Pariwisata terhadap Distribusi Pendapatan dan Penurunan Kemiskinan di Indonesia. Research Brief, No. 2

Luthfi, Widhi. (2021). Jumlah Desa Wisata Kian Meningkat dan Bentuk Sinergi Banyak Pihak Kelola Potensi Desa.  Diakses melalui https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/09/07/jumlah-desa-wisata-kian-meningkat-bentuk-sinergi-banyak-pihak-kelola-potensi-desa. Pada 28 September 2021.

Rizal, J., Rizaly, E. N., & Djabbar, A. (2021). Pemberdayaan POKDARWIS “Wadu Tunti” Dalam Pengembangan Desa Wisata Bumi Pajo Donggo Bima. Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat bidang Pariwisata1(2), 48-56.

Septemuryantoro, S. A. (2021). Pengembangan Potensi Kampung Dolanan Anak dengan Pemanfaatan teknologi dalam Adaptasi Kebiasaan Baru, Di Desa Wisata Walitelon Utara Kabupaten Temanggung. Jurnal Abdimas Pariwisata2(2), 53-62.

OECD. (2020). Culture shock: COVID-19 and the cultural and creative sectors.  Diakses melalui https://read.oecd-ilibrary.org/view/?ref=135_135961-nenh9f2w7a&title=Culture-shock-COVID-19-and-the-cultural-and-creative-sectors. Dilihat 29 September 2021