fbpx
Shutterstock/bangoland

“URGENSI DIALOG LINTAS IMAN (INTERFAITH DIALOGUE)”

Radikalisme dan Ekstrimisme tanpa kita sadari sudah lahir sejak zaman dahulu kala. Pada zaman nusantara di Era Kerajaan Majapahit, tetapi sejarah seakan-akan menutupi semua hal dibalik sejarah sisi kelam tersebut. Sampai pada akhirnya permulaan dimulai dari Indonesia terus berkembang pada zaman orde baru, ada lima Agama yang secara tidak langsung disahkan dan dianggap legal padahal banyak dari masyarakat yang meyakini kepercayaan-kepercayaan yang ada di Indonesia. Sehingga tentunya terpaksa untuk harus memilih salah satu diantara lima agama tersebut, karena jika tidak memilih dari kelima agama tersebut maka akan lenyap dan hilang.

Luka batin yang terus menerus tumbuh tanpa adanya rekonsiliasi atau pemulihan luka batin, ruang untuk saling mengklarifikasi serta adanya dialog dengan sesama menimbulkan terus bertumbuhnya kelompok kaum radikalisme ini di Indonesia dan di tahun-tahun inilah kita seperti sedang kembali lagi dalam keadaan pada zaman Majapahit masa lalu. Mau menjadi negara Islam ataukah tetap dengan dasar Negara Indonesia yaitu berlandaskan Pancasila.

Kondisi bangsa kita dari segala aspeknya menuntut kita untuk mengadakan dialog antar umat beragama. Dialog yang diharapkan, sudah bukan hanya berlangsung di bidang praktis tetapi bagaimana kita hidup bersama dan berdampingan tanpa saling mengganggu namun harus mulai beranjak kepada penciptaan suasana “saling berbagi” (sharing of religious experience). Khususnya dialog islam-kristen merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Mengenai dialog islam-kristen ada sebuah naskah yang bernama “ A Common Word” yang artinya sebuah persamaan kata antara kami dan kamu. Dimana naskah tersebut muncul tepat pada tanggal 13 Oktober tahun 2006, setelah pidato Paus Benediktus XVI di Regensburg dimana pidato tersebut yang disampaikan menimbulkan polemik antara islam dan Kristen. Namun 38 otoritas dan 138 cendekiawan Islam dari seluruh dunia juga mewakili setiap denominasi dan kelompok pemikiran bersatu untuk memberikan jawaban kepada Paus dengan semangat intelektual terbuka dan saling pengertian. Bisa kita bayangkan jika, seluruh cendekiawan muslim menanggapinya dengan kekerasan maka bisa terjadi peperangan terbesar di dunia karena mengingat bahwa mayoritas di dunia agama terbesar di duduki oleh Islam dan Kristen. Dalam surat Terbuka kepada Paus, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern cendekiawan Muslim dari setiap cabang Islam berbicara dengan satu suara dan tegas mengenai pengajaran Islam yang benar, hal inilah yang mencerminkan orang Islam untuk bermuhasabah dan mau mengklarifikasi duduk bersama dan dibicarakan dengan kepala dingin. Sejatinya tidak ada perdamaian antar Agama (umat beragama) tanpa dialog antar agama (umat beragama).

Harapannya dokumen ini “A Common Word” dapat menyediakan sebuah konstitusi dan bisa diterapkan oleh setiap orang baik di dunia perkuliahan maupun dalam organisasi dapat melakukan dialog antar kepercayaan di seluruh dunia. Karena seringkali kelompok-kelompok tidak menyadari keberadaan kelompok lain. Dengan adanya dokumen ini diharapkan kita saling bertabayyun dengan sesama umat beragama. Munculnya ekstrimisme senjata yang paling besar adalah karena ketidaktahuan, dari ketidaktahuan muncul prasangka, dari adanya prasangka muncul kebencian sehingga adanya efek domino yang sangat besar adalah sampai berujung kepada pembunuhan yaitu dampak secara fisik.

Tujuan interfaith dialogue adalah untuk saling mengenal dan menghargai satu sama lain, meningkatkan pemahaman dalam segi iman sendiri bukan untuk misi kristenisasi maupun islamisasi, bergandengan tangan memcahkan persoalan bersama, menciptakan kehidupan bersama, yang harmonis dan saling percaya satu sama lain. Adapun bentuk dialog terdapat tujuh dataran Interfaith Dialogue (Prof. Dr. Banawiratma) “Dialog Antar Umat Beragama” (CRCS UGM, 2007) antara lain:

  1. Dialog Kehidupan
  2. Dialog Sosial Etis
  3. Dialog Tradisi Iman/Agama
  4. Dialog Pengalaman Spiritual
  5. Dialog Teologis
  6. Dialog Aksi
  7. Dialog Intra

Ada beberapa yang biasa sering kita lakukan yaitu Dialog kehidupan dimana pola hidup yang saling menghargai di masyarakat. Harapannya dapat membangun kerjasama dalam bidang-bidang sosial tanpa memandang SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Dari dialog kehidupan akan lahir dialog sosial yaitu menggali kesadaran keagamaan untuk memecahkan masalah sosial. Berikutnya ada dialog teologis, dimana seseorang mencoba memahami bagaimana agma orang lain dari sudut pandang langsung agama tersebut. Jadi kita tidak boleh mengintervensi kebenaran teologis yang diyakini umat agama lain, cobalah kita melepas identitas diri kita dan melepas kacamata kita berusaha menjadi orang yang tidak berada dipihak manapun. Sehingga akhirnya kita nantinya bisa masuk dalam dialog spiritual, dimana diaog di wilayah esoteric agama-agama dengan diaog spirial ini sekat-sekat aliran dan batas-batas formalism agama dilampaui dan lebih bebas serta lebih condong pada sila-sila dalam Pancasila kita benar-benar bisa menghidupi dalam sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.

Motivasi adanya dialog adalah karena dialog kehidupan dan dialog sosial saja tidaklah cukup. Maka kita pun harus meng-upgrade diri lebih jauh lagi yaitu ke arah dialog teologis. Itulah pentingnya mengapa kita harus meningkatkan dialog kita karena dalam dialog tingkatan pertama seringkali ditunggangi urusan politik dan rawan dimanipulasi oleh kepentingan kekuasaan yang sifatnya sementara. Oleh karena itu muncullah dialog teologis, karena dialog ini muncul dari sebuah pengalaman yang panjang dan mendalam terkait pengalaman iman, juga bagaimana kita melakkan berbagai evaluasi dan terus mengkaji dengan diri sendiri untuk terus belajar atas kehadiran agama maupu kepercayaan lain yang berbeda.

Sehingga besar harapannya dapat menimbulkan dampak yang besar, apabila dialog teologis dipahami sebagai sebuah “sharing of religious experience” yang paling mendasar bagaimana mungkin dialog seperti itu dapat dimanipulasi golongan tertentu, justru dialog inilah yang dapat mejembatani kita untuk lebih saling mengenal, memahami dan melinduni serta juga bisa meningkatkan empati satu sama lain. Sangat erat kaitannya dengan nlai-nilai yang berada dalam agama Islam dan Kristen dimana kita sesama manusia harus saling menyanyangi dan melindungi. Sebagai bentuk kita menyayangi Allah yang tidak terlihat, dengan mengasihi sesama yang terlihat adalah salah satu beyuk upaya kita belajar tentang mengaisihi, sangat tidak mugkin bukan jika kita mengasihi Allah yang tidak kasat mata tetapi dengan sesama yang terlihat saja tidak mencerminkan kasih kepada yang terlihat. Apakah benar-benar relasi kita dengan Tuhan dan sesama sudah seimbang. Namun kendala ini juga tidak mudah dituntaskan dan kita mengakuui bahwa perjalanan ke arah penciptaan kesaling-pahaman melalui dialog teologis itu tidak mudah dan arena itu membutuhkan pemikiran yang matang dan waktu yang cukup panjang sehingga masih tabu bagi kita dan sering menganggap dialog ini adalah sensitive dan sagat berat untuk di diskusikan. Dari sinilah naskah “ A Common Word” dapat menjembatani dialog teologis kita.

Hal ini sudah mulai diterapkan oleh salah satu komunitas lintas agama yaitu “Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC)” yaitu dengan berlandaskan kitab suci. Sudah banyak yang melakukan dialog ini melalui acara peace camp dari komunitas ini dan paling tidak kita sudah memulai dalam dialog teologis dan nyatanya juga banyak yang mulai bertabayyun dan mengenal satu sama lain. Karena munculnya prasangka juga dari ketidaktahuan dan tidak langsung meklarifikasi kepada pihak terkait secara langsung, tetapi hanya dari katanya dan katanya yang sumber nya sangat tidak jelas dan akurat. Serta mulai dibuka juga secara umum untuk triolog Islam-Kristen-Yahudi yang dirasakan adalah NKRI yang begitu bermacam-macam saling damai dan memahami satu sama lain tanpa menghakimi satu sama lain. Inilah perdamaian atau NKRI yang sejati “Berbeda beda tetapi tetap satu jua”.

Seberapa urgensi dialog teologis dalam kehidupan kita, dasar pondasinya adalah dalam rangka meletakkan kerukunan supaya prasangka-prasangka teologis yang melahirkan berbagai sikap saling curiga, khawatir dan terancam dapat kita minimalkan. Sehingga paling tidak masyarakat tidak menjadi terlalu heran-heran dan tidak mudah kagetan. Inilah dasar pentingnya untuk kita bisa meletakkan sejenak kacamata kita dan memahami dari sudut pandang lain sehingga kita lebih bisa flexibel dan tidak mudah kaget, sampai terheran-heran. Misal saja, “lo kok Kristen pakai Bahasa arab wah itu menodai agama Islam” “ lho Kristen kok Sholat” dan masih banyak lagi lho.. lho yang lainnya. Tapi bukankah hal ini karena adanya sifat mendasar dari kita yang terlalu kaget dan sangat terheran-heran. Andai saja kita bisa dan mau membaca sejarah bagaimana Gereja mula-mula pun sampai saat ini juga masih menganut ajaran para murid Kristus mula-mula yaitu Sholat. Gereja Syria juga masih melaksanakan hal ini serta teman-teman ortodoks juga melakukan sembahyang tujuh kali sehari. Serta banyak lagi lainnya, hal ini sangat berdampak besar bagi kita jika saling memahami dan mau bertabayyun untuk mengenal agama lainnya tanpa ada misi atau anggapan bendera kita lah yang paling benar.

Akar yang paling mendasar timbulnya konflik islam dan Kristen terdapat 3 tingkatan konfrontasi menurut Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur), yaitu:

  1. Tingkat paham Keagamaan. meskipun Islam menurut Al-Qur’an mengajarkan tentang dirinya sendiri sebagai kelanjutan dan perkembangan agama Kristen, namun Kristen sendiri tidak dapat menerima dan karena itu memandangnya sebagai tantangan kepada Kristen.
  2. Tingkat Sosial Politik. Hamper seluruh kawasan Islam di Timur Tengah sekarang ini, kecuali jazirah Arabia dan Iran adalah bekas kawasan Kristen, bahkan pusat perkembangan Kristen padamasa-masanya yang paling menentukan.
  3. Tingkat Budaya. Meskipun orang barat sekarang ini beragama Kristen, namun Kekristenan mereka sering disebut “Kristen Barat” yang sejatinya juga ada pertentangan dengan budaya “Kristen Timur”. Karena sejatinya Kristen barat sudah banyak kehilangan keaslian akar budaya aslinya salah satunya adalah liturgi dalam beribadah, tata cara puasa dan masih banyak lagi. Sehingga Islam dengan Barat ditafsirkan sebagai konfrontasi antara dua pola budaya. Karna pada dasarnya dari sudut pandang budaya, pengalaman perjumpaan Islam dengan Gereja-gereja Syria menjadi referensi bagi hubungan Kristen-Islam di Indonesia. sepanjang sejarah hubugan Islam dengan Kristen Timur berlangsung cukup aman dan lancar (karena berakar dari budaya yang relatif sama).

Dari sinilah kita dapat memahami bagaimana pentingnya memahami dan belajar dari sudut pandang yang lain dan benar-benar mengkosongkan pemahaman kita dan meletakkan bendera kita dahulu, untuk lebih memahami konsep ataupun sejarah dari agama lain. Akibatnya kita dapat mengetahui sejarah dan lebih terbuka akan semua informasi yang telah kita terima. Sehingga sebegitu pentingnya dialog lintas iman untuk digaungkan dan menjadi hal yang biasa dan sering kita lakukan supaya bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu dan sangat sensitif untuk dibahas. Karena menurut sepengalaman penulis juga bermula dengan adanya ruang untuk membangun dialog lintas iman ini, dimana semua prasangka, semua kekhawatiran penulis menjadi sirna dan semakin memahami dan mendalami agama kita sendiri nantinya, output yang didapatkan ternyata memiliki efek yang begitu besar bagi penulis. Serta rasanya tidak valid jika hal ini hanya berdasarkan dari pemikiran dan pengalaman penulis prinadi. Sehingga, penulis mengamati dan mendengar cerita dari beberapa peserta peace camp yang dahulu sebelum mengikuti peace camp dan setelah mengikuti peace camp. Adanya rasa yang saling terbuka, adanya rasa terobati dari luka batin dengan adanya rekonsiliasi dan klarifikasi, adanya permintaan maaf langsung. Alangkah baiknya jika semua golongan mau melalakukan hal ini, dan penulis bersyukur pernah melakukan hal ini dengan orang-orang disekitar teman-teman terdekat, paling tidak pesan-pesan kebaikan dan narasi kebaikan telah kita sampaikan. Jangan sampai kalah dengan gerakan radikalisme yang sangat massif, justru narasi-narasi perdamaian juga gencar kita lakukan untuk menangkal radikalisme.

سلام peace שלים

Salam Peace Shalom ♥

Surabaya, 30 Agustus 2021