Ahmad Ali Murtadho 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Sorot Tajam Dunia Pendidikan Dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini mendapatkan sorotan yang begitu tajam dengan kompleksitas masalah yang merambah ke semua lini. Mulai dari Kemendikbud yang sedang disorot oleh DPR, KPK, hingga elemen masyarakat terkait beberapa kebijakannya. Hingga permasalahan tiga dosa besar pendidikan (perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi) yang hampir tiap bulan bertambah kasusnya. Hal ini memberikan banyak pertanyaan mengenai efektivitas aplikasi pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Kita tak bisa mengesampingkan bahwa fenomena ini semakin marak semenjak pandemi yang melahirkan generasi gagap budaya. Generasi saat ini seperti memiliki kesenjangan yang cukup signifikan dalam hal mental dan semangat belajar. Perkembangan IT yang sangat cepat tidak diimbangi dengan strategi penggunaannya untuk pembelajaran. Dari penjelasan dosen psikologi Universitas Malang, Umi Dayanti, saya menyimpulkan bahwa generasi saat ini memiliki keterampilan dan kreativitas yang banyak. Namun, mereka tidak memiliki semangat untuk bertarung alias mengembangkan bakat, mudah menyerah, dan dalam bahasa psikologi yaitu ‘mudah patah’. Ya, generasi yang difasilitasi dengan teknologi yang sangat mumpuni di segala bidang, memberikan kemudahan mereka untuk berkreativitas. Disisi lain, saat mengalami sedikit kebuntuan dan permasalahan, mereka cenderung menyerah dan memilih untuk meninggalkannya. Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan sepenuhnya bagi guru untuk merancang, membuat skema pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran. Tentu, harapannya adalah para guru bisa membuat dan merancang pembelajaran dengan menyesuaikan kondisi lingkungan para siswa. Namun, tidak jarang para guru merancang pembelajarannya didasarkan pada apa yang sedang viral maupun subjektivitas dari guru tersebut. Apalagi dalam pembelajaran sejarah yang berkutat pada angka tahun dan peristiwa yang harus diingat, para guru lebih cenderung menyelesaikan kejenuhan itu dengan memberikan video sejarah. Yaps, video sejarah yang terkadang berwarna hitam putih atau dokumenter yang sangat jarang diminati siswa. Alhasil, sering kali para siswa justru merasa jenuh dan kurang bersemangat dengan pembelajaran yang diberikan. Padahal, rancangan pembelajaran semestinya diawali dengan diagnostik atau disebut dengan assesmen awal. Para guru sering kali terjebak pada stigma bahwa media kekinian yang digemari siswa adalah media berbasis TIK. Tentu sangat keren sekali bagi para guru yang generasi X jika mereka bisa membuat powerpoint, video pembelajaran, hingga media game berbasis web. Namun bagi para siswa yang kesehariannya berpangku tangan dengan gawainya, media semacam itu tentu sudah begitu menjemukan dan membosankan jika harus diterapkan oleh banyak guru di pelajaran yang berbeda. Berdasarkan fenomena dan hal tersebut, maka ada dua syarat penting pembuatan media maupun metode pembelajaran untuk siswa zaman sekarang. Yaitu media berbasis IT yang sesuai dengan kebiasaan dan kegemaran mereka, atau metode pembelajaran berbasis fisik dan keterampilan hidup. Salah satunya yaitu dengan permainan tradisional atau Traditional Games. Menurut Sigmund Freud, Bermain merupakan media, sarana, alat atau cara untuk mengeluarkan/melepaskan emosi-emosi dari dalam diri. Bermain juga merupakan media untuk belajar mengatasi pengalaman traumatik atau frustasi. Traditional Games Based Learning Kita terjebak pada dunia IT yang membuat segala bentuk pembelajaran haruslah berbasis IT. Padahal IT semestinya diletakkan pada scope yang berbeda dalam dunia pendidikan. Misalnya dengan ulangan berbasis paperless, kartu siswa digital, kantin cerdas, editing dan design graphics untuk tugas, konseling berbasis tatap maya, hingga lab-tour virtual sebagai salah satu wahana belajar. Para guru tidak perlu memaksakan bahwa media maupun metode yang diberikan berpedoman pada IT.  Terutama di lingkungan sekolah yang berada di pusat kota, SMAN 1 Kebomas misalnya. Pada tahun ajaran 2023/2024, saya mencoba merancang pembelajaran berbasis Permainan Tradisional sebagai salah satu metodenya. Hal ini didasarkan pada hasil diskusi dengan beberapa siswa yang merasa bahwa pembelajaran berbasis IT yang diterapkan oleh para guru cenderung sudah sering diberikan sejak SD maupun SMP. Kebalikannya, para siswa sejak kecil sangat jarang mengenal permainan tradisional yang lebih banyak menggunakan sentuhan fisik dan keterampilan memecahkan masalah. Landasan berpikir kedua yang saya gunakan sebagai acuan pembelajaran berbasis Permainan Tradisional adalah untuk memupuk ulang semangat siswa dalam mencapai sesuatu, strategi berpikir dan bersikap ketika berada di posisi kalah, hingga memecahkan masalah dalam permainan. Apalagi permainan tradisional adalah perwujudan dari kearifan yang diturunkan kepada masyarakat secara turun temurun dan lebih bersifat edukasi sosial. Para siswa akan terlibat secara emosional dengan kawan lain ketika melakukan permainan tradisional. Unfriend Games: Game Psikologi-Historis berbasis Wawasan Kebangsaan Games Unfriend adalah permainan yang saya rancang dengan tiga tahap pertarungan berbasis permainan tradisional. Battle 3v3 menjadi awal dari permainan yang mana kelompok siswa berjumlah 3 anak harus bertarung dengan kelompok lain. Langkah awalnya yaitu memecahkan peristiwa sejarah dari clue yang diberikan. Jumlah jawaban yang benar menjadi jumlah mereka untuk bermain permainan tradisional. Adapun permainan dalam Battle 3v3 adalah gomek (permainan mengambil kerikil yang membutuhkan ketelitian, jika ada kerikil lain yang bergerak saat mengambil kerikil yang ditargetkan, maka dia kalah). Poin dihitung dari jumlah kerikil yang diambil dan bagi kelompok yang menang, mereka berhak mengambil salah satu anggota kelompok yang kalah sehingga jumlah kelompoknya menjadi 4 anak. Seluruh kelompok yang kalah kemudian akan bertarung dalam Battle 2v2 (jumlahnya berkurang 1), dan kelompok yang menang akan bermain dalam Battle 4v4. Dalam Battle 4v4, para siswa bertarung menggunakan AI (kreator Gambar AI). Mereka harus menggabungkan clue, menyusun prompt (kalimat perintah untuk AI), sehingga menghasilkan gambar yang sesuai dan diinginkan. Kelompok tercepat akan memenangkan permainan dan berhak mengambil anggota kelompok yang kalah sehingga jumlahnya menjadi 5 dan mereka sudah menyelesaikan permainan. Adapun dalam Battle 2v2, akan ada perang kuis dengan jumlah jawaban terbanyak akan menjadi pedoman jumlah mereka bermain permainan tradisional. Untuk permainan tradisional dalam Battle 2v2 adalah permainan kelereng dengan menargetkan poin yang sudah ditentukan titiknya. Kelompok yang menang dalam Battle 2v2, maka berhak mengambil anggota kelompok yang kalah dan jumlahnya menjadi 3, sementara 1 anak yang tidak dipilih otomatis gugur dalam permainan. Capaian Dengan menerapkan Unfriend Games, para siswa sangat berlomba untuk bisa memenangkan pertandingan agar jumlah kelompok mereka tidak diambil oleh lawan. Di sisi lain, ketika mereka kalah dan berkurang anggotanya, mereka harus cepat bangkit untuk bertarung lagi demi menambah jumlah kelompok. Tidak hanya itu, kelompok pemenang juga harus jeli dalam mengambil anggota sesuai kebutuhan. Bisa dengan mengambil siswa yang berbakat dalam dunia AI untuk bertarung dalam Battle 4v4, atau siswa yang berbakat dalam bermain gomek dalam Battle 3v3, atau siswa yang cerdas memecahkan clue untuk bisa menjawab pertanyaan. Semua ini tentu membutuhkan kecerdasan memahami seluruh teman kelas dan bakatnya masing-masing. Bagi siswa yang kalah, mereka diberi tugas tambahan yang sudah disampaikan di awal permainan yaitu memotret dan menceritakan pembelajaran berbasis permainan yang dilakukan ke dalam sosial media. Terlihat mudah tugasnya jika dari kaca pandang kita. Namun untuk siswa, mereka merasa sedikit malu jika harus memposting kegiatan yang dilakukan di sekolah ke dalam sosial medianya. Dengan ‘hukuman’ seperti itu, membuat para siswa sangat antusias dan berjuang dalam permainan. Simpulan Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan bagi para guru untuk membuat formulasi dalam metode dan pemberian media yang tepat untuk pendidikan berkualitas, yang mana meliputi pendidikan yang inklusif, IT yang memadai, hingga kemampuan literasi dan numerasi yang baik. Masa depan pendidikan berkarakter dan berkualitas harus diawali dengan memahami kondisi dan potensi para siswanya. Para guru haruslah terus belajar menganalisis dan mengidentifikasi kekuatan, potensi, kelemahan, dan juga kekurangan siswa untuk merancang pembelajaran. Penggunaan IT dalam pembelajaran sepatutnya menjadi kerangka untuk tujuan besarnya yaitu memberikan pembelajaran yang berkualitas. Sehingga, penggunaannya tidak asal diberikan atau sebagai pengganti waktu guru untuk menghabiskan jam pelajaran. Oleh karena itu, perlu adanya kombinasi dan percampuran dengan metode yang dibutuhkan siswa berdasarkan diagnosis non kognitif dan kognitifnya. Games Based Learning yang bernama Unfriend Games merupakan permainan yang memiliki tujuan pembentukan karakter sebagai bekal dalam pendidikan yang berkualitas. Nilai yang diharapkan dalam permainan ini diantaranya adalah keterampilan dalam memecahkan clue (literasi dan numerasi), kemampuan dalam permainan tradisional yang mengandalkan fokus dan kecermatan, kreativitas dalam IT, serta kemampuan bekerja sama dengan siapa pun sebagai pembinaan pendidikan yang inklusif dan setara.