Ayu Ratna Sari Mahasiswa 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Latar Belakang Pada era globalisasi yang penuh dengan berbagai peluang dan tantangan, kemerdekaan sejati tidak sekadar berarti bebas dari penjajahan, tetapi juga kebebasan untuk mencapai potensi maksimal sebagai individu dan sebagai negara. Hanya dengan adanya pendidikan yang merata dan bermutu, kemerdekaan sejati dapat dicapai. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Raden Ajeng Kartini bahwa “kebebasan yang sesungguhnya hanya bisa dicapai melalui pendidikan yang merata dan berkualitas”. Pernyataan ini menjadi dasar utama dalam usaha untuk menyamakan akses dan mutu pendidikan di pedesaan maupun perkotaan. Selain itu, pendidikan merata yang berkualitas merupakan suatu bentuk upaya mewujudkan hak asasi manusia yang merujuk pada hak dasar yang melekat pada setiap manusia tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, etnis, bahasa agama, atau status lain. Salah satu bentuk hak asasi manusia dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tahun 1948 adalah hak untuk bekerja dan pendidikan bagi setiap insan manusia di bumi. Oleh karena itu, keadilan sosial merupakan aspek penting dalam proses pembangunan untuk menjamin hak asasi manusia warga negaranya. Keadilan sosial dapat dipahami sebagai sebagai prinsip yang mengarah pada perwujudan masyarakat yang adil, dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan pemerataan yang meliputi partisipasi yang sama dan menyeluruh dari setiap individu dalam semua lembaga sosial; pembagian yang adil dan sama rata dari kebutuhan material dan non-material atau disebut sebagai keadilan distributif; serta pengakuan dan pemberian dukungan terhadap kebutuhan dan hak-hak individu. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan kesempatan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas yang dimana diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjamin kesempatan pendidikan dan peningkatan mutu kualitas pendidikan merata.  Permasalahan Kesenjangan Pendidikan Pedesaan dan Perkotaan Hasil penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 terhadap pendidikan di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan peringkat kualitas dalam literasi. Meski demikian, peningkatan indeks literasi tidak mencerminkan pemerataan pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2023), persentase penduduk desa yang tidak/belum pernah sekolah mencapai 5,11% dan sebanyak 12,39% tidak menamatkan pendidikan SD. Sedangkan, hanya 1,93% penduduk wilayah perkotaan yang tidak/belum pernah sekolah dan 6,62% penduduk perkotaan yang tidak tamat SD. Data tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan dalam tingkat pendidikan antara wilayah pedesaan dan perkotaan masih menjadi tantangan utama dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) di Indonesia, terutama dalam mencapai target ke-4 terkait peningkatan kualitas pendidikan serta memiliki kaitannya dengan target ke-10 dalam mengurangi ketidakadilan. Kesenjangan ini tidak hanya mempengaruhi perseorangan, tetapi juga menghalangi pertumbuhan negara secara umum. Salah satu faktor penyebab kesenjangan pendidikan berkualitas antara perkotaan dan pedesaan di Indonesia adalah rendahnya kualitas dan kuantitas guru yang mengajar di daerah pedesaan atau 3T (Tertinggal, Terdeoan, dan Terluar). Hal tersebut mendorong para guru 3T atau pedesaan saat ini memiliki beban kerja yang melebihi kapasitas mengajar pada umumnya, bahkan harus mengajar mata pelajaran di luar keahliannya. Berdasarkan Tempo, saat ini (2023) Indonesia mengalami kekurangan 21.676 guru untuk sekolah negeri di wilayah 3T, termasuk wilayah pedesaan. Fenomena tersebut menyebabkan para guru lulusan SMA tetap harus mengajar meskipun tidak memenuhi kualifikasi kelayakan mengajar, yakni menamatkan pendidikan di perguruan tinggi. Belum lagi permasalahan terkait rendahnya kesejahteraan para guru akibat kurangnya apresiasi, baik dalam bentuk remunerasi guru, maupun jaminan keamanan, serta kesempatan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang terbatas. Dataset PISA 2022 menunjukkan bahwa mayoritas sekolah di pedesaan atau wilayah tertinggal memiliki permasalahan dalam infrastruktur yang kurang layak atau tidak tersedia yang mempengaruhi kenyamanan siswa dalam belajar. Hal tersebut termasuk pengadaan sumber daya digital yang terbatas, mulai dari akses internet, learning management systems, perangkat komputer, hingga platform pembelajaran digital di sekolah. Hal ini mempengaruhi kualitas kompetensi siswa secara signifikan yang tertinggal jika dibandingkan dengan sekolah perkotaan dengan akses infrastruktur dan pengadaan digital yang lebih memadai. Keterbatasan-keterbatasan pemenuhan eksternal yang disebutkan sebelumnya tentu mempengaruhi kualitas sistem pengajaran siswa di pedesaan. Hal ini menyorot bagaimana output dan outcome yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh input dan proses pembelajaran di sekolah yang diharapkan menghasilkan generasi yang mampu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pembangunan di Indonesia dalam memajukan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia.  Strategi Local Community School dengan Pendekatan Holistik dan Sinergitas untuk Merealisasikan Education for Sustainable Development Education for Sustainable Development (ESD) merupakan solusi untuk menanggulangi kesenjangan pendidikan dan menciptakan keseimbangan sosial yang adil. Education for Sustainable Development (ESD) bertujuan untuk mengembangkan individu yang peduli terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi, sambil memiliki keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk berperan dalam upaya pembangunan secara berkelanjutan. Akan tetapi, ESD tidak bisa tercapai tanpa memiliki akses pendidikan yang merata dan berkualitas. Karena itu, langkah penting untuk menyeimbangkan kesempatan dan standar pendidikan di pedesaan dan perkotaan menjadi kunci dalam mewujudkan pendidikan bermutu dan layak bagi semua masyarakat yang inklusif dan adil. Strategi yang ditawarkan untuk mendukung ESD adalah dengan “Local Community School with Holistic and Synergy Approach System” yang merupakan strategi dalam membangun sistem sekolah komunitas pedesaan yang terbuka dengan memanfaatkan kearifan lokal dan membangun partisipasi masyarakat melalui pemberian otonomi bottom-top approach dalam penyesuaian kurikulum dengan pendekatan holistik sesuai dengan tuntutan kompetensi pembangunan berkelanjutan dan sinergitas dalam kolaborasi semua pemangku kepentingan. Community school juga dapat didefinisikan sebagai konsep pendidikan yang mengintegrasikan kehidupan masyarakat dan pendidikan yang mana praktiknya telah ada sejak lama dan telah menjadi salah satu best practice di beberapa negara, seperti Amerika, Ireland, Inggris, dan beberapa negara lainnya. Menariknya, sistem Local Community School tidak hanya ditujukan untuk anak-anak hingga remaja berusia sekolah, namuna bagi masyarakat lokal seluruhnya yang kompetensinya disesuaikan dengan kebutuhan keterampilan dan pengetahuan usia. Konsep ini sangat sesuai untuk diterapkan di Indonesia mengingat rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pedesaan, di sisi lain berupaya menciptakan pemuda yang memiliki kompetensi dalam problem solving, critical thinking, dan kepemimpinan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Namun, untuk menyelesaikan permasalahan ketimpangan pendidikan di Indonesia tentu membutuhkan komitmen dan menyesuaikan dengan karakteristik kebutuhan di setiap daerah di Indonesia.   Sinergitas Multipihak Hexa Helix Collaboration Model Sebagai Modal Sosial Local Community School Untuk membangun sebuah sistem pendidikan desa yang inklusif dan optimal, maka tidak hanya infrastruktur fisik dan sistem yang dibutuhkan, namun partisipasi pemangku kepentingan menjadi salah satu sumber daya masyarakat berupa modal sosial. Modal sosial menurut Bourdieu adalah sejumlah aset, yang bisa diaktualisasikan atau berpotensi, yang terkait dengan memiliki hubungan jaringan kelembagaan yang mendasar pada saling mengenal dan saling mengakui serta meliputi pengetahuan, bantuan, kepercayaan, dan dukungan bersama. Diperlukan komitmen dan perjanjian sesuai hukum agar program ini berjalan secara berkelanjutan. Pemerintah: Bertanggung jawab untuk menyediakan kebijakan yang mendukung untuk menjamin kebutuhan anggaran, sumber daya, dan perlindungan hukum dalam Local Community School. Dalam hal ini pemerintah daerah berperan dominan yang menyesuaikan dengan kearifan lokal dan kebutuhan wilayah. Pemerintah juga bertanggung jawab dalam menyediakan kebijakan peningkatan remunerasi guru dan jaminan sosial guru pedesaan dan 3T serta sistem alokasi dan rekrutmen guru ASN untuk wilayah 3T dan pedesaan. Pemerintah menjadi perantara untuk lembaga investor dalam pembangunan infrastruktur, seperti USAID, World Bank, dan sebagainya regulasi, dan pendanaan untuk mendukung community school. Sekolah: Menjadi pusat community school dan bertanggung jawab untuk menyediakan program pendidikan dan layanan yang berkualitas bagi seluruh anggota masyarakat, diutamakan bagi usia sekolah.Sekolah bertanggung jawab pula dalam melakukan monitoring dan evaluasi yang dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas melalui sistem pertemuan masyarakat dan orang tua siswa. Perguruan Tinggi: Berperan dalam penelitian, pengembangan kurikulum, program relawan pengajar, kerja sama beasiswa afirmasi, dan pelatihan guru untuk Local Community School. Dunia Usaha: Menyediakan peluang magang, pelatihan kerja, wadah project based learning dalam aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan, dan sumber daya lainnya untuk mendukung Local Community School. melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Perusahaan di wilayah sekitar Local School Community wajib untuk bermitra dengan Local School Community untuk peningkatan kualitas warga lokal atau menyesuaikan kebutuhan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan sesuai dengan isu SDGs maupun kebutuhan profesi. Masyarakat Sipil: Berperan dalam kegiatan community school, seperti program pengembangan kepemimpinan, pemberdayaan masyarakat, dan pelestarian budaya. Dalam hal ini masyarakat sipil berperan dalam pemberian umpan balik untuk kepentingan pengembangan Local Community School yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat. Media: Berperan dalam menyebarkan informasi tentang Local Community School dan mempromosikan partisipasi masyarakat. Lembaga sosial/lembaga nonprofit: Mendukung Local Community School untuk turut merencanakan dan menjadi dukungan dana maupun mitra pelaksanaan project based learning, sesuai dengan tujuan dan program lembaga sosial yang akan melibatkan siswa usia sekolah maupun masyarakat sebagai relawan dalam mengatasi isu fokus di wilayah. Dalam prosesnya perlu ada upaya menjaga hubungan sosial dan siklus asesmen, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pertanggung jawaban yang melibatkan semua pihak untuk memastikan pencapaian target dampak dan penurunan isu lingkungan, ekonomi, maupun sosial di wilayah melalui Local Community School yang berkelanjutan.  Sistem pendidikan dengan pendekatan holistik dan kearifan lokal berbasis isu dan proyek Dalam upaya Local Community School meningkatkan keterampilan dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di wilayah pedesaan maupun 3T melalui pendidikan yang memadai dengan memperkuat komponen lokal tanpa mengabaikan aspek nasional. Hal ini dapat dilakukan melalui program pendidikan yang mengintegrasikan isi dan media pembelajarannya dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya pedesaan serta memperhatikan kebutuhan daerah sesuai prioritas muatan lokal agar sumber daya manusia desa dapat memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan hidup mereka. Sebelum merencanakan kurikulum dan sistem yang sesuai untuk wilayah 3T atau pedesaan, diperlukan asesmen lokal yang mana setiap wilayah memiliki kebutuhan yang berbeda sesuai dengan demografi, ekonomi, politik, budaya, dan geografis. Pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga non-profit dan masyarakat terkait untuk menentukan potensi budaya, alam, dan kearifan lokal serta permasalahan lingkungan, ekonomi, sosial, tata kelola lembaga pedesaan, sehingga ditemukan kebutuhan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dan disesuaikan dengan pendidikan STEM nasional yang dikeluarkan oleh Kemendikbud. Selain itu, Local Community School akan dipadukan dengan program SDGs Desa yang menjadi program prioritas Kemendes PDTT yang berdasar pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2011 tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dengan demikian keberadaan Local Community School merupakan bagian dari upaya untuk mencapai SDGs Desa maupun SDGs nasional dalam pilar pendidikan dan dalam hal ini juga terkait dengan pengurangan kesenjangan atau ketidakadilan di wilayah pedesaan maupun 3T. Terdapat 3 jenis kurikulum dalam Local Community School, yakni sebagai berikut. Kurikulum yang didasarkan pada kompetensi adalah suatu pendekatan untuk pendidikan yang menekankan pada pengembangan keterampilan dan pengetahuan yang praktis. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa dan masyarakat agar siap menghadapi tuntutan dunia kerja dan kehidupan nyata. Dalam kurikulum ini, kurikulum disusun berdasarkan pada keterampilan dan pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan konkret siswa di masa depan serta penyelesaian masalah dalam aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial di wilayahnya. Kurikulum Berbasis Kompetensi bertujuan untuk menciptakan siswa yang kompeten dan siap untuk menjadi agen pembangunan berkelanjutan di wilayahnya dan masyarakat dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam kehidupan sehari-hari untuk peningkatan kesejahteraan. Pelaksanaan kurikulum ini dibedakan atas siswa usia sekolah yang sesuai dengan kurikulum STEM nasional yang ditambah dengan muatan lokal berbasis proyek berdasarkan asesmen, sedangkan masyarakat disediakan pendidikan keterampilan wirausaha dan digital sesuai dengan hasil asesmen potensi dan karakteristik masyarakat. Contoh substansi mata pelajaran disesuaikan untuk wilayah pedesaan yang membutuhkan keahlian khusus adalah bidang pertanian maupun perikanan sesuai dengan karakteristik geografi yang ditentukan oleh pemerintah daerah, pengolahan makanan, dan kerajinan. Dengan program pendidikan ini, para siswa akan mendapatkan pelatihan dan keterampilan di bidang yang mereka minati, sehingga mereka dapat menciptakan produk-produk dengan standar kualitas yang tinggi.  Kurikulum yang didasarkan pada karakter mencakup pengembangan nilai-nilai dan sikap yang positif dalam proses pendidikan. Ini bertujuan untuk membentuk karakter yang kuat dan etika yang baik pada siswa dan masyarakat dengan orientasi menumbuhkan sifat-sifat positif pada siswa dan memberikan pendidikan moral bagi masyarakat melalui perubahan pola pikir melalui system thinking dan menumbuhkan etos kerja. Kurikulum ini ideal untuk desa yang membutuhkan pengembangan karakter siswa yang jujur, memiliki disiplin, memiliki karakter kepemimpinan, serta bertanggung jawab. Kurikulum juga bertujuan untuk mengembangkan sikap positif siswa dan masyarakat terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar mereka. Kurikulum yang berakar pada budaya lokal memainkan peran yang sangat vital bagi desa-desa yang ingin menjaga dan melestarikan warisan budaya dan pengetahuan tradisional atau kearifan lokal mereka. Kurikulum ini akan memberikan pengajaran kepada siswa mengenai kebudayaan lokal, sejarah, dan warisan yang ada di lingkungan desa mereka. Selain itu, kurikulum ini juga akan mendukung perkembangan rasa cinta dan kebanggaan siswa terhadap warisan budaya dan kearifan lokal mereka.Kurikulum ini dipadukan melalui project based learning serta sensory system learning dengan ruang belajar di alam dan lingkungan masyarakat bagi siswa sekolah. Sedangkan untuk masyarakat akan dipadukan dengan kurikulum berbasis kompetensi di mana pelatihan disesuaikan meningkatkan diversifikasi produk dari potensi lokal masyarakat maupun pembentukan komunitas masyarakat yang seprofesi untuk belajar bersama. Sistem pengajaran tidak harus dilakukan di kelas, namun di alam sekitar, lingkungan masyarakat, maupun melalui digitalisasi yang melibatkan sensory system learning. Pendidikan sistem sensorik merupakan metode pembelajaran yang menitikberatkan penggunaan kelima indera untuk merangsang pertumbuhan secara menyeluruh pada anak. Pendekatan ini berlandaskan pada pemahaman bahwa otak mengolah informasi dari indra, yang sangat berperan dalam perkembangan kognitif, motorik, dan sosial-emosional. Selain itu, pengadaan infrastruktur digital di sekolah menjadi sangat penting dengan dukung investor dan pemerintah untuk menciptakan kualitas sumber daya manusia yang inovatif di era digital dalam upaya pembangunan berkelanjutan. Kesimpulan Lokal Community School (LCS) di wilayah pedesaan maupun 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) untuk mencapai Education for Sustainable Development (ESD) yang selaras dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) 4 dan 10. Dengan menyatukan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal ke dalam kurikulum pendidikan resmi, LCS dapat menghasilkan generasi muda yang peduli terhadap pelestarian lingkungan dan dapat berperan dalam pengembangan berkelanjutan di daerah mereka. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ESD, LCS dapat menggabungkan pembelajaran tentang perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan pengelolaan sumber daya alam yang lestari. Cara ini dapat diwujudkan melalui beragam strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi serta didasarkan pada pengalaman, seperti proyek lingkungan, aktivitas di lapangan, dan kerja sama dengan masyarakat setempat. Local Community School juga bisa menjadi pusat pengetahuan untuk masyarakat, menyediakan pelatihan dan pendidikan mengenai praktik-praktik pertanian yang ramah lingkungan, pengelolaan limbah, dan efisiensi energi. Dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait, seperti pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan penduduk setempat, LCS dapat menjadi landasan utama dalam mencapai pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan di wilayah pedesaan dan daerah terpencil, seperti di Indonesia. Kerja sama yang intensif dan saling mendukung antara semua pihak akan menjamin bahwa pendidikan di LCS tidak hanya memiliki standar yang tinggi dan berkesinambungan, tetapi juga sesuai dengan kebutuhan dan situasi lokal, sehingga dapat memberdayakan generasi muda untuk menjadi agen perubahan yang positif di masa yang akan datang.  Daftar Referensi Bell, L. A. (2007). Theoretical foundation for social justice education. In M. Adams, L. A. Bell, & P. Griffin (Eds.), Teaching for diversity and social justice (2nd ed.). New York: Routledge Dwi Kusumaningsih, Ika, Fikri Muslim, dan Dwi Kusumaningrul. (2023, September 27). Ketimpangan pendidikan di daerah 3T: Mengatasi ketimpangan pendidikan di daerah tertinggal. Koran Tempo. https://koran.tempo.co/read/pendidikan/485061/ketimpangan-pendidikan-di-daerah-3t Moulton, J. (2001). Improving education in rural areas: Guidance for rural development specialists. For Charles Maguire: The World Bank. Panda.id. (2023, Maret 23). Sistem Pendidikan Desa. https://www.panda.id/tahapan-belajar/ Saleh, Y. (2019). Sustainable Consumption Practices of Students through Practice-Oriented Approach of Education for Sustainable Development. https://www.researchgate.net/publication/325121671_Sustainable_Consumption_Practices_of_Students_through_Practice-Oriented_Approach_of_Education_for_Sustainable_Development The Conversation. (2023, September 26). Fakta lain dari data PISA 2022: Kesenjangan pendidikan antara desa dan kota di Indonesia. https://theconversation.com/fakta-lain-dari-data-pisa-2022-kesenjangan-pendidikan-antara-desa-dan-kota-di-indonesia-218056 Tempo. (2020, Desember 14). SDGs desa wujudkan anak-anak dapatkan pendidikan layak. https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/1211/1/012001 Zakaria, Z., Sophian, R. I., Muljana, B., Gusriani, N., & Zakaria, S. (2019, November). The Hexa-Helix Concept for Supporting Sustainable Regional Development (Case Study: Citatah Area, Padalarang Subdistrict, West Java, Indonesia). In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 396, No. 1, p. 012040). IOP Publishing.