fbpx
Freepik/freepic.diller

Sebuah Rumah Untuk Kehidupan

Rumah adalah kunci dimana laki-laki pertama kali belajar untuk dapat memahami diri dan bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik. 

Rumah adalah jawaban dimana wanita pertama kali diajarkan untuk menjadi berdaya diatas gelombang kehidupan yang seringkali menjadikan mereka sebagai korban. 

Rumah adalah tempat yang memungkinkan bias gender yang mendarah daging di masyarakat perlahan dapat dikikis dari pendidikan yang dilakukan orangtua terhadap anak-anak mereka. 

Rumah adalah tempat pendidikan utama yang dapat melahirkan generasi-generasi yang tangguh, beretika, beradab dan beragama.

Pernikahan sebagai gerbang dibentuknya sebuah rumah adalah kunci kehebatan sejarah manusia itu dicetak. Pernikahan harus mampu menciptakan suatu hubungan keselarasan antara pria dan wanita di dalamnya, yang tidak hanya bersatu dalam hubungan rasa tapi juga tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai demi tercapainya kehidupan berumah tangga yang mampu menghasilkan generasi-generasi yang tangguh dan berbudi.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa hubungan antara pria dan wanita dalam berumah tangga sangat mempengaruhi kehidupan dalam suatu rumah, toxic relationship akan membentuk toxic parent yang nantinya membuat anak-anak cenderung mengalami berbagai permasalahan seperti gangguan emosional maupun gangguan kesehatan mental yang memberi celah bagi mereka untuk berperilaku negatif, jika pun nanti anak mampu belajar mengendalikan diri lalu menjalani kehidupan pernikahan, inner child dan trust issue yang mereka miliki ditambah kurangnya edukasi dalam pengasuhan akan menyebabkan anak memiliki kecenderungan melakukan imitasi sesuai apa yang pernah dilakukan orangtuanya. Bias gender yang sulit dikikis dari masyarakat kita turut memberikan efek yang dapat melatarbelakangi kekerasan pada perempuan dan anak. Oleh sebab itu, pentingnya kesadaran diri untuk berbenah diri sebelum menikah sangat penting dilakukan agar tak menimbulkan efek domino yang melahirkan generasi-generasi dengan berbagai permasalahan. 

Namun berbenah diri tak cukup hanya dengan ilmu agama, tidak cukup hanya dijalani oleh satu pihak pasangan, sehingga seluruh elemen yang terlibat dalam pernikahan tersebut juga perlu diikutsertakan. Sudah saatnya lembaga pernikahan yang dikelola pemerintah turut memberikan edukasi dan kewenangan agar seluruh pihak yang terlibat dalam pernikahan (calon suami, calon istri, mertua, dan ipar) dapat menjalankan kewajiban dan memenuhi hak masing-masing. 

Dewasa ini fokus pernikahan cenderung di titik beratkan pada pesta, dekorasi, dokumentasi dan teknis acara atau mungkin juga untuk menarik antusias pengguna media sosial.  Kita harus keluar dari pemikiran yang menormalisasi bahwa jika seseorang sudah dalam “usia menikah”, sudah menyelesaikan pendidikan, sudah memiliki pekerjaan dan seseorang yang dikatakan mapan secara materi dianggap sudah memenuhi kriteria untuk menikah dan dianggap siap mental untuk menikah. Karena adanya standar kesiapan mental menikah didasarkan pada usia dan materi inilah kerap kali dalam pernikahan kita menemukan dua manusia sebagai suami istri terjebak dan tak mampu menyelesaikan permasalahan dalam berumah tangga, tidak memiliki bekal untuk mendidik anak, sehingga rentan mengalami berbagai permasalahan yaitu konflik terhadap diri sendiri, konflik dengan pasangan, konflik dengan anak, mertua, ipar dan lainnya. 

Lembaga pernikahan yang merupakan pintu utama hubungan pria dan wanita disahkan harus menunjang pernikahan tersebut agar berjalan sebagaimana fungsinya, bukan hanya sekedar sebagai lembaga pelegalan pernikahan. Lembaga pernikahan perlu mencanangkan program konseling pra nikah, edukasi seputar psikologi pasangan dan keluarga, seksologi, manajemen keuangan dan parenting dalam kegiatan pra nikah selain pemenuhan dokumen-dokumen sebagai syarat sah pernikahan. Calon mertua dan calon ipar juga harus dilibatkan dalam edukasi pernikahan agar pemenuhan hak dan kewajiban pada suatu hubungan baru dari hasil pernikahan dapat berjalan dengan baik.

Agama sebagai landasan hidup manusia harus diiringi dengan berbagai disiplin ilmu lain untuk menunjang kehidupan berumah tangga. Psikologi pasangan sangat perlu dipelajari calon pengantin agar menuntunnya semakin bijak dalam menghadapi perilaku pasangannya. Dengan adanya ilmu tersebut diharapkan calon pasangan memiliki kemampuan mengenali pasangan berdasarkan ilmu, bukan berdasarkan pada prasangka maupun asumsi orang lain. Calon pasangan juga harus merubah dan memperbaiki pola komunikasi mereka dalam berhubungan setelah menikah untuk meminimalisir perdebatan dari perbedaan karakter masing-masing.

Kebanyakan orang beranggapan bahwa ketika dewasa masalah seks adalah hal yang dapat dipahami secara naluriah. Sehingga kerap kali sebagian besar pasangan menjalani kehidupan seks tanpa pengetahuan, ditambah perbedaan cara pandang pria dan wanita tentang seks yang tidak diketahui satu sama lain  menjadikan hubungan seks sering menjadi masalah pokok dalam pernikahan. Kesadaran tentang edukasi seks masyarakat kita yang masih rendah dapat menjadi alasan lembaga pernikahan yang merupakan gerbang kelegalan hubungan suami dan istri harus dapat menjembatani permasalahan tersebut. Dengan adanya edukasi mengenai seks sebelum jenjang pernikahan terhadap dua belah pihak diharapkan mampu meminimalisir terjadinya kekerasan seksual dalam pernikahan maupun tindakan seksual yang menyimpang yang dapat menimbulkan permasalahan dalam pernikahan.

Manajemen keuangan dan keterbukaan komunikasi antar pasangan mengenai kebutuhan dan kemampuan finansial sangat diperlukan dalam pernikahan. Kebanyakan masyarakat akan menganggap ketika sudah berumah tangga secara otomatis seorang laki-laki mampu menempatkan tugasnya sebagai pencari nafkah dan istri dapat mengelola keuangan rumah tangga dengan baik. Sedangkan yang terjadi adalah banyak pasangan belum memahami kebutuhan dan kemampuan ekonomi pasangannya. Seorang suami masih terpengaruh kebiasaan lama ketika masih single, butuh waktu untuk memahami bahwa kebutuhan istri dan anaknya berbeda dari dirinya, seorang istri yang memiliki ekspektasi terhadap perekonomian keluarga pada suaminya namun tidak dapat memahami kemampuan finansial suaminya dan mengkomunikasikan kebutuhannya sering memunculkan perasaan tidak puas secara ekonomi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman satu sama lain. Gagalnya pemahaman antara pemenuhan kebutuhan dan keinginan juga dapat memunculkan permasalahan serius yang dapat memberikan tekanan mental serta mengganggu stabilitas dan keharmonisan keluarga. 

Sama halnya dengan berbagai ilmu yang telah disebutkan, parenting pun sering dianggap sebagai suatu tindakan yang dapat dijalani secara naluriah setelah pasangan yang menikah memiliki anak. Padahal parenting membutuhkan pengetahuan dan skill yang harus dipahami pasangan sebelum memiliki anak, sehingga diharapkan ketika sudah menjadi orangtua mereka memiliki pengetahuan dasar yang dapat membantu mereka dalam melakukan pengasuhan. Dapat kita ketahui bahwa praktik pengasuhan anak cenderung lebih dominan dilakukan oleh seorang ibu. Padahal anak juga sangat membutuhkan peran ayah dalam kehidupan mereka. Ketidakseimbangan pengasuhan karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran tersebutlah yang harus diminimalisir untuk untuk mengurangi ketegangan pasangan dalam pengasuhan dan konflik yang ditimbulkan.

Pelibatan calon mertua dan ipar dalam sosialisasi pernikahan perlu dilakukan agar terjaminnya hak dan kewajiban antara pasangan dari keluarga baru yang terbentuk nantinya. Kita harus menghentikan pemahaman bahwa hanya suami dan istri saja yang wajib berbenah karena mertua dan ipar yang memiliki hubungan tidak langsung juga sering menimbulkan permasalahan dalam pernikahan. Terlebih pada kasus menantu baik itu menantu laki-laki atau perempuan yang harus tinggal dengan mertua dan ipar, mereka kerap kali dituntut  sempurna dalam menjalankan kewajiban mereka dengan baik dan memenuhi ekspektasi mertua dan ipar tanpa mendapat kesempatan untuk beradaptasi atau dipenuhi hak-hak mereka untuk dihargai dan dihormati. Sehingga pada kasus tersebut seringkali kita mendapati kasus menantu diperlakukan seperti pembantu atau juga dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan semata. Kondisi yang tidak sehat inilah yang dapat memicu perselisihan rumah tangga, namun karena permasalahannya pada keluarga sendiri pasangan cenderung menganggap hal ini dinilai sebagai tindakan yang harus dimaklumi, akibatnya kesehatan mental pasanganlah yang harus menjadi korban sehingga tidak dapat menjalani kehidupan mereka dengan baik, baik dalam berumah tangga maupun mendidik anak. Sehingga rumah yang diharapkan dapat menjadi tempat berlindung ironisnya justru menjadi sumber permasalahan.

Lembaga Pernikahan di Indonesia sudah seharusnya mewaspadai dan melakukan tindakan pencegahan dengan memberikan sosialisasi ilmu tersebut sebelum pasangan dilegalkan dalam sebuah hubungan. Lembaga pernikahan dinilai memiliki wewenang untuk memberikan sosialisasi tersebut yang dapat meminimalisir segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga sehingga diharapkan dapat menciptakan kondisi rumah yang nyaman bagi kepala keluarga serta ruang yang aman bagi perempuan dan anak-anak didalamnya. Dengan kondisi sosio-psikologis masyarakat Indonesia, negara tidak dapat berharap bahwa setiap anggota masyarakatnya memiliki kesadaran pentingnya mengetahui berbagai ilmu tadi sejak dini atau pun juga melakukan konseling pra nikah secara mandiri untuk kebaikan masing-masing. Sosialisasi dan konseling pra nikah perlu dilakukan oleh lembaga pernikahan karena dapat menjangkau seluruh kalangan masyarakat tak terbatas berbagai kondisi. Sudah saatnya demi mewujudkan negara yang melindungi perempuan dan anak-anak, perlindungan seharusnya dilakukan sejak awal sebelum pernikahan dibentuk bukan saat perempuan dan anak-anak sudah berstatus sebagai korban. Tempat dari terbebasnya perilaku kriminal, kekerasan dan tindakan lain yang banyak merugikan perempuan adalah pendidikan dari rumah yang dimulai dari pernikahan yang sehat.

Â