fbpx
Dokumentasi Penulis

Gerakan Guru Istimewa Sebagai Solusi Mengurangi Kasus Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan

“Anak-anak adalah peniru yang ulung. Jadi, berilah mereka sesuatu yang baik untuk ditiru”

Joy D. Jones

Petikan kalimat tersebut cukup menjadi pengingat bagi orang-orang dewasa dalam berbahasa, bergerak, dan bertingkah laku di hadapan anak-anak. Menurut psikolog, Roslina Verauli, dalam sebuah penelitian tahun 2015 ditemukan bahwa 70 persen orang tua mengatakan anaknya meniru mereka (Susilawati dan Rezkisari, 2016). Mendengar angka tersebut, orang-orang dewasa di sekitar anak-anak perlu memberikan contoh yang baik kepada generasi muda penerus cita-cita bangsa.

Batas usia anak menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Pasal 1 Angka 1 tentang Perlindungan Anak adalah belum berumur 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Mereka perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Namun demikian, implementasi UU Perlindungan Anak masih belum maksimal, salah satunya akibat adanya kebijakan lokal yang terkait dengan otonomi daerah. (Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, 2017).

Sejak tahun 2005, pemerintah juga berusaha melakukan perlindungan terhadap anak melalui program Kota Layak Anak. Namun sayangnya, predikat Kota Layak Anak masih belum menjamin anak-anak dapat hidup dengan aman dan nyaman mengingat masih maraknya kasus kekerasan terhadap anak. Menurut SIMFONI PPA, terdapat sebanyak 18.515 kasus kekerasan selama tahun 2021 dengan jumlah korban sebanyak 19.995 korban. Mirisnya, 58,7% dari anak-anak tersebut telah mengalami kekerasan seksual dengan jumlah korban perempuan paling tinggi dibandingkan dengan laki-laki yaitu 79,1%. Jumlah ini bisa jauh lebih besar karena fenomena kekerasan terhadap anak seperti gunung es yang hanya tampak kecil di permukaan. Apalagi, tindak kekerasan yang terjadi pada anak sangat jarang dilaporkan dan kasus akan terungkap apabila kekerasan berlangsung untuk waktu yang lama atau telah terjadi korban (Irwanda, 2017). Salah satu contoh kasus kekerasan, yaitu pencabulan oleh mantan pejabat Gereja Herkulanus selama 20 tahun. Kasus tersebut baru terungkap setahun yang lalu setelah terdapat sebanyak 23 korban (Mantalean, 2021).

Kekerasan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 merupakan setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Tindak kekerasan terjadi dalam berbagai bentuk dan dapat dikelompokkan menjadi kekerasan verbal, fisik, dan emosional. Kekerasan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi karakteristik individual anak, sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh media, pola asuh orang tua, karakteristik dan latar belakang sekolah, teman sebaya, serta tekanan lingkungan (Agustin dkk, 2018).

Berbicara tentang karakteristik, Pengamat Kebijakan Publik UGM, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna, menilai kasus kekerasan terjadi akibat sistem pendidikan di Indonesia cenderung mengabaikan pendidikan perilaku dan karakter (Ika, 2016). Menurutnya, pendidikan di Indonesia lebih menekankan pada aspek kognitif, sedangkan aspek perilaku cenderung dilupakan. Padahal, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 menggunakan penguatan pendidikan karakter di satuan pendidikan sebagai salah satu instrumen untuk mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan.

Indonesia sudah mencapai pada penguatan pendidikan karakter sebagai salah satu program prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengimplementasikan penguatan karakter penerus bangsa melalui Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dimulai sejak tahun 2016. Melalui penguatan pendidikan karakter tersebut, para guru dituntut mampu melaksanakan perannya sebagai pendidik profesional yang tidak hanya mampu mencerdaskan anak didik namun juga membentuk karakter positif anak agar menjadi generasi emas Indonesia dengan kecakapan abad ke-21 seperti pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017. Nilai-nilai karakter ini sudah seharusnya ditanamkan kepada siswa sehingga mereka mampu menerapkan dalam kehidupannya sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungan (Maunah B, 2015).

Berbicara tentang pentingnya penguatan karakter siswa, guru juga memiliki beberapa karakter dalam menyampaikan pengajaran. Ketua Badan PSDMPK dan PMP Kemdikbud, Syawal Gultom, menyebutkan empat karakter tersebut, yaitu guru yang belum menguasai subjek pembelajaran, guru yang sudah menguasai materi namun tidak kreatif dalam mengajar, guru yang sudah mampu menguasai materi serta pengajarannya namun hatinya belum tergerak untuk membulatkan niat bahwa mengajar berarti membangun bangsa, dan guru istimewa (Susanti A, 2015). Itu berarti dapat disimpulkan bahwa guru istimewa adalah guru yang mampu menguasai materi dan kreatif dalam mengajar serta memiliki niat bahwa mengajar berarti membangun bangsa.

Melihat hal tersebut, penguatan pendidikan karakter kepada guru juga diperlukan. Maka dari itu, penguatan pendidikan karakter guru perlu model pelatihan yang benar-benar efektif melalui Program Gerakan Guru Istimewa (GGI). Program ini selaras dengan target Sustainable Development Goals poin ke-5 tentang eliminasi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak pada ruang publik dan privat melalui pendekatan pendidikan.

Gerakan Guru Istimewa adalah program penguatan pendidikan karakter kepada seluruh guru di Indonesia. Program tersebut bertujuan mendorong perubahan perilaku pendidikan karakter yang berkelanjutan di seluruh daerah di Indonesia dan membangun jejaring guru istimewa yang berkarakter. Sasaran program, yaitu sebanyak 80 persen guru menerapkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran, 70 persen pemerintah daerah memiliki dokumen kemajuan mutu guru dan 60 persen sekolah terlibat memfasilitasi aktivitas orang tua siswa dan siswa minimal tiga bulan sekali.

Gambar 1. Desain dan Pelaksanaan Program GGI

Desain program Gerakan Guru Istimewa menggunakan bantuan pendekatan Outcome Mapping yang berfokus pada perubahan perilaku masyarakat baik individu maupun kelompok. Outcome Mapping adalah suatu pendekataan perencanaan, pemantauan dan evaluasi yang terpadu dan digunakan saat awal program setelah fokus utama program ditentukan (Sanuri, 2020). Dalam Outcome Mapping, intervensi yang dilakukan oleh GGI lewat programnya berada dalam ruang kendali yang berarti semua yang dilakukan dalam ruang lingkup ini dapat dikendalikan dan yang melaksanakannya disebut Tim Pelaksana, sedangkan aktor-aktor yang hendak dipengaruhi perubahan perilakunya berada di Ruang Pengaruh dan disebut juga Mitra Langsung. GGI kemudian mengidentifikasi perubahan perilaku yang diinginkan, yang disebut sebagai Capaian Dambaan dari tiap mitra langsung terkait dan entitas perilaku yang dimaksud. Untuk dapat mengawasi dan mencatat perubahan-perubahan yang terjadi, terdapat Penanda Kemajuan dari Capaian Dambaan yang melekat pada Mitra Langsung sekaligus sebagai indikator standar keberhasilan program. Mengikuti pendekatan Outcome Mapping, penanda kemajuan ini dibagi dalam tiga bagian yang mencerminkan tingkat kesulitan ketercapaian atau kualitas perubahan, namun bersifat sangat fleksibel karena kondisi tiap kabupaten yang beragam. Bagian-bagian tersebut adalah segera melihat, ingin melihat, dan gembira melihat.

Tabel 1. Tahapan, strategi, dan pendampingan program GGI

Program Gerakan Guru Istimewa memiliki empat tahapan program dengan strategi masing-masing. Terkait dengan evaluasi program, Gerakan Guru Istimewa menggunakan penilaian tentang mitra langsung dari tim fasilitator dan penilaian tentang guru dari orang tua, masyarakat desa, masyarakat kabupaten, dan kepala sekolah. Penilaian tersebut berasal dari jurnal dan data pendukung yang sudah disusun oleh Tim Program Associate dan diberikan pada tahapan program pencarian umpan balik berupa jurnal reflection, supplementary, dan significant change. Reflection berisi catatan perkembangan yang bersifat reflektif dari capaian dambaan, penanda kemajuan, dan strategi. Supplementary berisi feedback. Significant Change berisi dokumentasi dan pencatatan yang selanjutnya dapat mengukur keberhasilan program dari sudut pandang berbeda-beda. Ketiga poin dalam jurnal dan data pendukung tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk rekomendasi program-program dari Gerakan Guru Istimewa untuk tahun berikutnya.

Gambar 2. Bagan pihak terlibat dalam program GGI

            Gerakan Guru Istimewa berupaya mengajak beberapa komponen aktor yang berbeda turut aktif dalam penguatan pendidikan karakter karena masalah kekerasan pada perempuan dan anak merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat untuk saling mengingatkan dan memberikan dukungan-dukungan positif. Dengan menerapkan Gerakan Guru Istimewa, penulis menyakini angka kasus kekerasan anak dan perempuan di Indonesia dapat berkurang karena terciptanya ruang untuk terus menguatkan pendidikan karakter sesuai dengan kondisi daerah serta menjejaringkan masyarakat yang berkarakter untuk mendukung eliminasi kekerasan anak-anak dan perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, dkk. 2018. “Analisis Tipikal Kekerasan Pada Anak dan Faktor yang Melatarbelakanginya”. Jurnal Ilmiah VISI PGTK PAUD dan DIKMAS. 13(1): 1-10 .

Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI. Setahun Masyarakat ASEAN. Majalah Masyarakat ASEAN, hal. 22, April 2017.

Ika. 2016. Kekerasan Pada Guru Menunjukkan Lemahnya Pendidikan Perilaku. Portal Berita UGM, 31 Agustus 2016, dilihat 5 Desember 2021. <https://www.ugm.ac.id/id/berita/12396-kekerasan-pada-guru-menunjukkan-lemahnya-pendidikan-perilaku>.

Irwanda, ADI. 2017. “Kasus Kekerasan Terhadap Anak Paling Banyak di Negara Ini Loh!”. Artikel MelindaCare, 13 Desember 2017.

Mantalean, V. 2021. HUT Kota Depok, Status Layak Anak Perlu Dievaluasi? Kompas, 27 April 2021, dilihat 7 Desember 2021. < https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/27/17184081/hut-kota-depok-status-layak-anak-perlu-dievaluasi?page=all>.

Maunah, B. 2015. “Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Kepribadian Holistik Siswa”. Jurnal Pendidikan Karakter. 1: 90-101.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Jakarta.

Pemerintah Pusat. 2014. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta.

Pemerintah Pusat. 2017. Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Jakarta.

Sanuri. 2020. Pemberdayaan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal masyarakat dengan pendekatan outcome mapping. Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat. 7(2): 101-114.

SIMFONI PPA. 2021. Rasio Anak Korban Kekerasan. <https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan>.

Susanti, A. 2015. Empat Karakter Guru Indonesia. Okezone, 30 Maret 2015, dilihat 4 Desember 2021.

Susilawati dan Rezkisari. 2016. “Ortu Ketahuilah, Anak Adalah Peniru Ulung”. Republika, 26 Februari 2016.