fbpx
Freepik/luis_molinero

Saatnya Beraksi Nyata, Setidaknya 7 Hal Ini Harus Dipenuhi Untuk Menciptakan Ruang Aman Bagi Perempuan

“Beruntunglah kamu apabila bukan perempuan. Karena kebebasannya direnggut dan hampir semua kebaikannya ditolak.” Marie de Gournay

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada 2 Desember 2021, kita kembali mendengarkan kabar duka sekaligus pilu. Seorang perempuan muda yang masih berstatus mahasiswi ditemukan meregang nyawanya sendiri. Diduga ia menderita depresi akibat tindakan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi. Melalui tagar #savenoviawidyasari, peristiwa ini telah menyita perhatian segala lapisan masyarakat.

Kisah tersebut ibarat sebutir kerikil diantara miliaran bongkahan batu pada hamparan pasir. Hanya satu kasus terkuak, sementara diluar sana masih banyak korban kekerasan dan pelecehan seksual yang didominasi perempuan. Bukan sekadar mengira-ngira dan menerka-nerka, sebab berdasarkan riset yang dilakukan oleh Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional pada 2016, 1 dari 3 perempuan Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan fisik maupun seksual.

Lantas, apakah mungkin kesetaraan gender (gender equality) dapat segera terwujud apabila rasa aman bagi perempuan di ranah publik tidak terpenuhi? Oleh karena itu, demi merealisasikannya, berikut 7 hal yang harus dilakukan setiap orang terkhusus perempuan.

#1 Patriarki Tak Lagi Berlaku, Perempuan Siap Diadu, Pria Harus Setuju

Selama ini konsep feminisme banyak ditentang oleh beberapa pihak. Banyak orang yang menyebut bahwa feminisme merupakan perilaku pemberontakan terhadap ‘kodrat’ seorang perempuan, seperti enggan hamil, melahirkan, dan mengurusi pekerjaan rumah tangga lainnya. Padahal sesungguhnya melalui feminisme, perempuan hanya ingin meminta keadilan dan keamanan yang selama ini direnggut.

Menjunjung tinggi kesetaraan gender tidak akan pernah berhasil apabila kita tidak merangkul pihak berjenis kelamin berbeda, yakni laki-laki. Konstruksi sosial patriarki yang selalu berusaha menempatkan perempuan lebih rendah harus segera dihentikan. Dukungan serta partisipasi dari pihak laki-laki kepada perempuan perlu adanya. Seperti yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melalui Kampanye ‘He For She. Adapula Pilot Project Program ‘Laki-Laki Peduli’ di Kabupaten Gunungkidul melalui Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012.

#2 Bebas Berinteraksi Tetapi Tetap Batasi

Apabila agama tertentu sudah berusaha memberikan sekat terhadap perempuan dan laki-laki sebagai bentuk pencegahan tindakan kekerasan. Di era serba modern dan emansipasi saat ini, perempuan tidak lagi takut untuk bersosialisasi bersama laki-laki. Banyak aktivitas di kehidupan sehari-hari yang telah melibatkan perempuan.

Namun perlu digarisbawahi bahwa kemudahan berinteraksi ini juga harus sedikit dibatasi. Mengapa? Seperti pepatah, “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Tidak ada salahnya tetap berperilaku sesuai norma sosial dan nilai-nilai pancasila ketika berinteraksi bersama laki-laki. Karena kita tidak mengetahui maksud dan tujuan seseorang terutama pihak lawan jenis.

#3 Tingkatkan Skills, Performa, dan Kinerja

“Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya menjadi ibu rumah tangga”

Perkataan seperti di atas sangat mudah ditemui ketika melihat perempuan berusaha mengejar mimpi dengan terus belajar di sekolah. Namun sesungguhnya, diskriminasi semacam itu hanya dilontarkan pihak-pihak yang merasa rendah diri dan iri terhadap pencapaian orang lain. Sebab, saat ini sudah banyak dijumpai perempuan pekerja yang luar biasa cerdas, misalnya Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total tenaga kerja formal perempuan mencapai angka 34,65% pada 2020. Bahkan jumlah pekerja perempuan yang menjadi pemimpin sebesar 21,66%. Oleh karena itu, jangan pernah merasa minder, tetapi cobalah untuk menjadi sosok hebat sesuai bidang yang kita geluti. Karena jika seorang perempuan berprestasi, maka orang lain akan segan bahkan rasa hormat akan diberikan kepada kita.

#4 Bekali Diri dengan Kemampuan Beladiri

Keahlian beladiri bukan hanya milik atlet. Namun setiap orang harus mempersiapkan diri dengan kemampuan tersebut. Sebab kita tidak tahu, kapan kita akan berhadapan dengan ancaman dan kriminalitas. Tidak ada salahnya mempelajari dasar-dasar beladiri sebagai upaya proteksi.

Kelly Campbell, seorang instruktur AS Krav Maga Worldwide, menyetujui bahwa mempelajari gerakan bela diri mampu meningkatkan kepercayaan diri untuk melawan khususnya bagi perempuan. Setidaknya, seorang perempuan harus mengetahui 5 gerakan dasar beladiri, yakni straight punch (tonjokan lurus), front kick to the groin (tendangan ke pangkal paha), knee kick (tendangan lutut), bear hug defense (pertahanan terhadap pelukan), dan choke defense (pertahanan terhadap cekikan).

#5 Dampingi Korban Bukan Hujat Kekurangan

Ketika terjadi kejahatan kekerasan dan pelecehan seksual, seringkali banyak orang yang justru menyalahkan korban. Ucapan tidak pantas bahkan terkesan mengolok-olok dan jatuh ke tahap perundungan (bullying) sangat lumrah dihadapi para korban yang berani speak up, misalnya

“Kok gak berontak, berarti keenakan, ya?”

“Makanya jangan pacaran!”

Padahal pola pikir seperti ini dapat semakin menciutkan nyali korban kekerasan yang ingin mengungkap kebenaran. Daripada menghakimi dan tidak tahu seluk-beluk peristiwa, lebih baik memilih untuk diam. Karena ingatlah ungkapan, “mulutmu adalah harimaumu”. Apa yang kita ucapkan, tidak disangka-sangka bisa jadi pemicu orang untuk berbuat nekat, loh.

#6 Jauhi Internalized Misogyny, Mari Women Support Women

Apabila diawal dikatakan bahwa perlunya partisipasi laki-laki dalam mendukung kesetaraan gender. Kali ini saya akan membahas pentingnya dukungan dari sesama perempuan. Sebab seringkali saya menemui fenomena perempuan yang menyakiti sesamanya. Hal ini biasa disebut sebagai internalized misogyny.

“Salah sendiri pakai baju seksi”

“Makanya jadi perempuan jangan keluar rumah tengah malam”

Kalimat di atas hanya segelintir contoh yang lumrah dilontarkan perempuan kepada sesamanya yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual. Daripada membuat mental perempuan semakin hancur, mari tumbuhkan empati lebih besar dari dalam diri kita. Sebab, jika sesama perempuan saja saling menjatuhkan, bagaimana kesetaraan gender dapat terwujud?

#7 Perkuat Regulasi dan Fasilitasi

Menurut Kusumawardhana & Abbas (2018), hingga kini Indonesia belum memiliki Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (UU-KKG). Indonesia hanya melakukan ratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dari Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) tahun 1979.

Karena belum diwadahi payung peraturan yang kuat inilah, membuat peristiwa kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia masih merajalela. Sehingga perlu adanya regulasi yang benar-benar adil dan berpihak kepada korban termasuk pendampingan dengan profesional seperti psikolog. Sebab selama ini, Pemerintah baru mewadahi aduan laporan. Pengaduan laporan dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:

  • Mengunjungi kantor Komnas HAM dan Komnas Perempuan.
  • Mengirim email ke pengaduan@komnasham.go.id.
  • Fax. di nomor 021-3925227.
  • Via WhatsApp di
  • Mengisi berkas pada http://pengaduan.komnasham.go.id/home/pengaduan-online.
  • Melalui Lembaga Bantuan Hukum APIK (WhatsApp 0813888226699 atau email pengaduanLBHAPIK@gmail.com).
  • Melalui hotline SAPA 129.
  • Melalui Yayasan Pulih (WhatsApp 08118436633 pada Senin-Jumat pukul00-17.00 WIB).

Yuk dukung percepatan kesetaraan gender dengan menciptakan ruang aman bagi perempuan. Mari mulai bekali diri dengan 7 hal di atas sebagai upaya preventif terhadap tindak kekerasan fisik, verbal maupun seksual. Kalau bukan dari sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kamu, lalu siapa lagi? Sebagai penutup, izinkan saya meminjam pernyataan dari R.A. Kartini.

“Perempuan hebat pasti bertindak dengan tepat, perempuan hebat pasti selalu punya tempat”.

Referensi:

Kusumawardhana, I. & Abbas, R. J. (2018). Indonesia di persimpangan: urgensi “Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender” di Indonesia pasca deklarasi bersama Buenos Aires pada tahun 2017. Jurnal HAM, 9 (2), 153-174.

https://www.happifyourworld.com/mylife/daftar-tempat-aduan-kasus-pelecehan-seksual

https://tirto.id/gerakan-bela-diri-wanita-untuk-cegah-kekerasan-seksual-fDCR