Alanna Deborah Founding Member at Womenworks 0shares PELATIHAN KEPEMIMPINAN SDGS DALAM MENDUKUNG MERDEKA BELAJAR DI MALUKU Read More Gak apa-apa kan ya mbak, sopirnya ibu-ibu? Takutnya di cancel tiba-tiba… Inilah kata-kata sambutan sopir taksi yang saya tumpangi siang hari tadi, disampaikan dengan tawa gugup seakan menjadi penentu nasib karir beliau. Interaksi singkat ini mengingatkan saya akan realita perjuangan kesetaraan gender di tengah masyarakat modern masa kini yang masih jauh dari kondisi ideal. Meskipun banyak gebrakan telah tercapai, seperti peningkatan statistik sosok pemimpin perempuan di tingkat manajemen tempat kerja maupun di ranah politik, para penentang stereotip dan diskriminasi struktural berbasis gender akibat budaya patriarki yang tertanam di sebagian besar masyarakat dunia nyatanya masih menghadapi hambatan perlakuan diskriminatif di kehidupan mereka sehari-hari. Perempuan tidak bisa mengemudi dengan baik Laki-laki lebih cocok jadi pemimpin Perempuan terlalu emosional Laki-laki lebih asertif dan logis Wanita karir susah bertemu jodoh Laki-laki tidak mungkin menjadi korban pelecehan seksual Familiar bukan? Mungkin kita pernah mendengar konsep pemahaman diatas dibungkus dengan canda gurauan dari rekan kerja kita, atau mungkin terlontarkan dari mulut orang terpandang yang mengaku sebagai individu toleran dan berpendidikan tinggi, bahkan mungkin telah menjadi topik pembicaraan rutin yang dicelotehkan oleh kerabat kita di setiap acara keluarga. Inilah yang disebut dengan bias implisit yang merupakan salah satu cerminan unconscious bias, dimana orang dapat bertindak atas prasangka dan stereotip secara tidak sadar yang dipengaruhi oleh kumpulan asumsi maupun kepercayaan yang telah tertanam dalam kehidupan mereka. Saya rasa tujuh tahun sejak ditetapkannya sustainable development goals butir tujuan ke-lima, masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan untuk mencapai masa depan dimana perwujudan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dapat melampaui aspirasi dan tujuan mulia belaka. Disinilah pentingnya pemupukan praktek reimajinasi upaya realisasi kesetaraan gender yang mengedepankan perubahan pola pikir dan sistem kepercayaan masyarakat yang secara tidak sadar masih bertindak secara diskriminatif, khususnya di kalangan anak muda yang merupakan generasi penerus bangsa-bangsa. Tentunya praktik reimajinasi ini tidaklah mudah untuk dikembangkan, selaras dengan pemaparan argumen penulis Adam Grant dalam bukunya yang berjudul Think Again: The Power of Knowing What You Don’t Know, hal ini disebabkan karena tindakan tersebut rmemaksa manusia untuk meragukan naluri maupun kompas kebenaran dalam diri yang cenderung terlekat erat dengan identitas diri sendiri. Dengan kata lain, keputusan untuk mempertimbangkan kembali asumsi dan kepercayaan yang mendikte pemikiran serta tindakan kita menggoyahkan kepastian pandangan kita terhadap dunia dan tempat kita di dunia. Disinilah letak salah satu sumber konflik utama dari upaya penegakkan hak asasi manusia seperti kesetaraan gender, meskipun HAM dianggap bersifat universal dan absolut, ketika bersinggungan dengan sumber keyakinan masyarakat yang subjektif seperti budaya maupun agama manusia tidak menyukai keresahan yang timbul dari meragukan kebenaran cara hidup yang mungkin selama ini tidak pernah dipertanyakan, ditantang, dan dianggap selalu benar. Maka dari itu, agar angka-angka indikator kesuksesan penetapan program sustainable development goals di tahun 2030 kelak berdiri atas fondasi perubahan yang kuat tertanam di kehidupan masyarakat dan bersifat berkelanjutan, berikut tiga upaya yang dapat kita lakukan sebagai kaum muda: Rutin mengevaluasi unconscious bias dalam diri sendiri dan orang lain di lingkungan hidup sekitarnya Bangun kebiasaan untuk bercermin diri terlebih dahulu sebelum menasihati orang lain, perhatikan dan ambil rekam jejak pemikiran maupun tindakan baik di masa lalu maupun masa kini, yang mendorong diri untuk menentang konsep maupun inisiatif kesetaraan gender. Latih diri untuk jujur dalam mengevaluasi diri dan juga lingkungan yang ada dalam cakupan relasi hidup kita apabila pernah memiliki kecenderungan mendukung pemikiran maupun tindakan seksisme, misoginis, homofobia, dan bentuk diskriminasi atau pelecehan berbasis gender lainnya. Sadari bahwa hal tersebut memupuk rasa benci yang mengancam harmoni dalam kehidupan bermasyarakat yang semustinya didasari oleh rasa hormat dan toleransi terhadap perbedaan satu sama lainnya, kemudian ambil keputusan untuk mau belajar dan inisiatif untuk bertumbuh. Latih pola berpikir kritis dalam mengkonsumsi informasi dan bentuk opini yang berbasis data Beranikan diri untuk mengeksplorasi dan berpartisipasi dalam ruang diskusi, baik di dunia maya maupun dunia nyata, yang mengangkat topik pembicaraan dianggap ‘kontraversial’ ataupun berlawanan dari nilai-nilai kepercayaan dan juga cara pandang hidup pribadi. Hal ini penting untuk melawan kecenderungan diri kita untuk melindungi pola pikir diskriminatif yang dapat berujung pada tindakan ekstrimisme. Mengekspos diri kita dengan informasi dan juga pemaparan ide dari perspektif orang lain dapat melepaskan kita dari jeratan ego manusia yang ingin selalu benar, dan bantu membentuk opini yang didasarkan oleh data dan fakta yang bersifat lebih universal. Latih diri untuk bertanya bagaimana opini maupun asumsi terhadap suatu konsep kebenaran terbentuk dan buka diri terhadap kemungkinan merubah suatu nilai maupun keyakinan yang tidak selaras dengan realita hidup kita sekarang. Kembangkan kapasitas emosional dan fleksibilitas mental berdasarkan empati dan rasa keingintahuan Secara realistis, pastinya upaya untuk mengevaluasi diri terhadap pola pikir maupun tindakan diskriminatif dan juga mengeksplorasi gagasan dan nilai hidup orang yang berbeda dapat sangat meresahkan dan menimbulkan emosi yang tidak nyaman. Inilah pentingnya kita untuk mengadopsi rasa keingintahuan lebih dari keinginan kita untuk menang dalam perang opini akan kebenaran. Dengan memberi ruang untuk berdebat, memvalidasi emosi kebingungan ataupun ketidakpahaman tanpa menghakimi, sekalipun tetap berujung pada perbedaan pendirian, kita telah mampu mengembangkan kapasitas emosional dan fleksibilitas mental kita untuk berinteraksi dengan empati. Tanpa memaksakan kehendak kita, kita mampu mencapai titik tengah dari pemahaman bersama jika kita dapat agree to disagree dalam setiap diskusi. Mengingat era perkembangan teknologi yang mengubah dunia secara pesat, sudah sepatutnya kita sebagai generasi muda untuk mengambil tanggungjawab menjadi agent of change yang menggaungkan tujuan mulia SDGs melampaui sekedar aspirasi, melainkan mempraktikkan tindakan kolektif yang radikal untuk perubahan yang berkesinambungan, baik di dunia nyata dan juga dunia virtual. Tentu saya sadar betul bahwa perubahan tidak dapat terjadi dalam waktu singkat, dan gagasan sederhana tidak berarti mudah. Namun perlahan tapi pasti, saya yakin pelatihan rutin untuk bercermin dan mengevaluasi diri serta mengeksplorasi realita kehidupan orang lain yang beragam melalui diskusi terbuka, dapat membentuk kita menjadi generasi yang kuat dan mampu bermasyarakat secara harmonis dan progresif. Referensi: https://www.unwomen.org/en/what-we-do/leadership-and-political-participation/facts-and-figures https://www.mckinsey.com/featured-insights/diversity-and-inclusion/women-in-the-workplace https://www.forbes.com/sites/pragyaagarwaleurope/2018/12/17/here-is-how-unconscious-bias-holds-women-back/?sh=4489b4402d4f https://theconversation.com/to-achieve-gender-equality-we-must-first-tackle-our-unconscious-biases-92848 https://plato.stanford.edu/entries/implicit-bias/ Think Again: The Power of Knowing What You Don’t Know by Adam Grant