fbpx

PRAKTIK BAIK PEMBELAJARAN BERBASIS ETNOSAINS: INOVASI EDIBLE SPOON “SENTUL” (SENDOK BEKATUL) UNTUK MENDUKUNG EDUCATION FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT

Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dewasa ini, pembelajaran dengan Kurikulum Merdeka menuntut peserta didik agar mampu memiliki ketrampilan berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif dalam perilaku hidup sehari-hari. Keempat kemampuan tersebut membutuhkan proses berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/ HOTS) yang menjadi bagian dari keterampilan abad ke-21. Pembelajaran yang mengajak peserta didik belajar dari kondisi sebenarnya di lingkungan dan diajak untuk mampu menyelesaikan masalah yang terjadi.

Pembelajaran etnosains di sekolah yang mampu mengintegrasikan sains modern dan sains tradisional dapat menjadikan proses belajar siswa berjalan efektif. Etnosains sangat sesuai diterapkan di era revolusi industri 4.0 yang harus menghasilkan pembelajaran yang bermakna dan memfasilitasi peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka dengan tetap mengkaji budaya masyarakat yang bersifat ilmiah. Etnosains dapat meningkatkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi untuk sukses menghadapi kemajuan dunia di abad ke-21 (Widyawati, dkk., 2021). Pembelajaran berbasis etnosains, metode yang berpusat pada siswa seperti kegiatan eksplorasi dan penemuan harus digunakan. Sementara itu, memasukkan etnosains dalam kurikulum akan meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi, karena latar belakang budaya mereka akan memberikan konteks dan wawasan tentang konsep yang diajarkan. Kurikulum harus mempertimbangkan sistem sosial yang berkembang dalam masyarakat, dan mengintegrasikan etnosains sehingga siswa dapat belajar secara lebih kontekstual dan bermakna (Nurdeni, dkk., 2022).

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang sangat pesat sejalan dengan pilar ke empat Sustainable Development Goals (SDGs) pendidikan berkualitas dalam pengaplikasian pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan. Sedangkan isu lingkungan dapat dikaitkan dengan SDGs pilar 15 mengenai melindungi, merestorasi, dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem daratan. Gabungan dari pilar 4 dan 15 sebagai Education for Sustainable Development (ESD) ke dalam Kurikulum Merdeka merupakan salah satu upaya agar peserta didik dapat memahami hubungan antara manusia dan lingkungan, serta pentingnya praktik berkelanjutan di lingkungan sekolah. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan generasi masa depan. Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan adalah kunci untuk mempersiapkan kita dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar lebih berkelanjutan (Matitaputty, dkk., 2022).

Implementasi ESD dalam bidang pendidikan formal. Pendidikan yang mengedepankan pentingnya lingkungan alam sebagai sumber hidup manusia banyak dicetuskan oleh pemikir dan pendidik dari abad ke-19. Sebab pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan hadir untuk menjawab tantangan global saat ini khususnya dalam aspek lingkungan. Menurut (Prabawani, 2021) menyatakan bahwa sikap siswa dalam hubungannya dengan lingkungan relatif baik, namun pengaruhnya kecil terhadap perubahan perilaku ramah lingkungan. Meski demikian, sikap positif siswa terhadap lingkungan memiliki pengaruh yang lebih tinggi terhadap perilaku sosial dibandingkan perilaku terhadap alam.

Permasalahan global yang menjadi salah satu perhatian utama adalah meningkatnya sampah plastik. Plastik menjadi bahan yang paling populer di dunia dengan penggunaan yang meningkat 20 kali lipat dalam 50 tahun terakhir sebab dianggap praktis dan ekonomis. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia yang mencapai 64 juta ton per tahun (Yusuf, 2019). Plastik merupakan bahan yang terbuat dari zat-zat petrokimia yang tidak layak kembali ke ekologi sekitar. Sebab zat kimia tersebut mudah larut ke tanah, air, dan udara, yang kemudian diserap oleh makhluk hidup (Istirokhatun dan Nugraha, 2019). Selain itu, plastik membutuhkan waktu 1000 tahun agar dapat terurai oleh tanah secara sempurna. Saat terurai, partikel-partikel sampah plastik akan mencemari tanah dan air tanah. Jika sampah plastik dibiarkan, plastik tersebut akan menjadi polutan yang signifikan. Namun jika dibakar, sampah plastik akan menambah kadar gas rumah kaca di atmosfer dan menghasilkan asap beracun yang berbahaya bagi kesehatan terutama pada sistem pernafasan (Krisyanti et al., 2020).

Salah satu jenis sampah plastik yang sering kali ditemukan adalah sendok berbahan plastik. Sendok plastik sekali pakai menjadi limbah yang banyak dihasilkan seiring meluasnya kedai yang menjual berbagai makanan atau minuman. Dengan demikian, sendok plastik menjadi salah satu pemicu meningkatnya limbah plastik yang dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kehidupan makhluk hidup sebab sulit terurai (non-biodegradable). Berdasarkan permasalahan lingkungan tersebut maka diperlukan bahan yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti sendok plastik sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru. Bekatul merupakan bahan organik dengan sifat mudah terurai atau biodegradable dan dapat dimakan atau edible sehingga tepat digunakan untuk pembuatan produk ramah lingkungan (green product). Selain itu, bekatul memiliki kandungan gizi seperti karbohidrat 36,9%, protein 11,54%, serat 9,89%, lemak 3,82% dan vitamin B15 5,88 mg, amilosa 14,05% dan amilopektin 21,80%. Keunggulan utama pada bekatul adalah kandungan vitamin B15 yang merupakan salah satu jenis vitamin yang larut air (Hidayah dkk., 2024).

Penerapan pembelajaran berbasis etnosains dapat diintegrasikan dengan riset atau karya ilmiah remaja (KIR) yang dapat diaplikasikan pada kegiatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Oleh sebab itu, praktik baik pembelajaran berbasis etnosains: inovasi edible spoon “Sentul” (Sendok Bekatul) berikut menjadi motivasi penulis untuk membagikan pengalaman mengajar untuk mendukung implementasi Education for Sustainable Development (ESD).

Produk “Sentul” (Sendok Bekatul) berdimensi sesuai dengan standar penggunaan sendok pada umumnya, yaitu memiliki panjang 8,5 cm, lebar 3 cm dan diameter 2 cm. Fungsional produk pada makanan yang berukuran kecil seperti jasuke, makaroni, es krim dsb. Contoh produk peserta didik hasil inovasi “Sentul” (Sendok Bekatul) sebagai berikut.

Gambar 1. (a) Edible Spoon “SENTUL” (Sendok Bekatul)

          (b) Produk “SENTUL” yang telah dikemas

Di dalam konteks meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan (environmental awarenees), sendok bekatul sebagai alternatif produk ramah lingkungan dapat mengurangi cemaran limbah plastik. Sendok bekatul merupakan solusi inovatif yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga ergonomis dalam penggunaannya sehari-hari. Bahan baku utama inovasi produk “SENTUL” berasal dari limbah bekatul, dipilih karena harganya terjangkau. Sementara perbedaan produk “Sentul” (Sendok Bekatul) dengan sendok plastik di pasaran adalah produk ramah lingkungan (eco-friendly) karena tidak menggunakan bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan, serta produk menggunakan bahan organik sehingga sangat mudah terurai dengan lingkungan (biodegradable).

Gambar 2. Uji Biodegradabilitas terhadap “SENTUL”

Produk Edible Spoon “Sentul” (Sendok Bekatul) telah melalui uji biodegradabilitas atau penguraian di dalam tanah. Hasil pengujian mengindikasi bahwa produk mampu terurai dan terdegradasi dengan sangat baik di tanah dalam jangka waktu yang singkat. Pengujian biodegradabilitas dilakukan dengan menimbun produk di dalam tanah yang berada di bawah sinar matahari secara langsung.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayah, H., Ira P., Risti S., & Zevania T. N. Pemanfaatan Bekatul Sebagai Olahan Pangan. Journal Of Social Science Research 4(1): 3267-3273.

Istirokhatun, T. & Nugraha, W. D. 2019. Pelatihan Pembuatan Ecobricks Sebagai Pengelolaan Sampah Plastik di RT 01 RW 05 Kelurahan Kramas Kecamatan Tembalang Semarang. Jurnal Pasopati 1(2): 85-90.

Krisyanti, VOS, I. & Priliantini, A. 2020. Pengaruh Kampanye #PantangPlastik terhadap Sikap Ramah Lingkungan (Survei pada Pengikut Instagram @GreenpeaceID). Jurnal Komunika 9(1): 40-51.

Matitaputty, J. K., Agustinus U., Wa I., & Poltjes P. 2022. IMPLEMENTASI EDUCATION FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT (ESD) MELALUI EKOPEDAGOGI DALAM PEMBELAJARAN DI SMP NEGERI 8 AMBON. Jurnal BUDIMAS, 4 (1): 1-8.

Nurdeni, Yoga B. B., Edward A., Giri M., & Popi P. 2022. Kemampuan Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Pembelajaran Etnosains. Jurnal Pendidikan dan Konseling, 4 (6): 9799-9807.

Prabawani, Bulan. 2021. Education for Sustainable Development: Pembentukan Karakter dan Perilaku Berkelanjutan. Yogyakarta: ARTI BUMI INTARAN.

Widyawati, A., Siti I. A. D., & Rukiyati. 2021. Pembelajaran ethnosciences di era revolusi industri 4.0 sebagai pemacu Higher Order Thinking Skills (HOTS). Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, 9 (1): 66-74.

Yusuf, M. 2019. Upaya World Wide Fund for Nature (WWF) dalam Menangani Kerusakan Lingkungan Akibat Sampah Plastik di Pantai Bali. JOM FISIP 6: 1-15.