fbpx

Pesan dari Kupu – Kupu Kertas Bulan Desember.

 

Kupu-Kupu di Bulan Desember

Bulan Desember adalah bulan yang saya tunggu semasa kecil di sebuah desa di Yogyakarta. Senang rasanya menikmati hari-hari hujan, cuaca dingin dan lembab dipadu tumbuhan yang menghijau dimana-mana. Jika sedang tidak hujan, yang ditunggu adalah datangnya kawanan kupu-kupu kertas (Catopsilia pomona) di kebun samping rumah. Kawanan kupu-kupu ini, beberapa minggu sebelumnya, membuat tanaman trembesi (Samanea saman) di sekitar rumah meranggas karena dimakan larva-larva mereka yang kelaparan. Selain kupu-kupu kertas, Desember juga ramai dengan munculnya berbagai jenis serangga. Belalang hijau, belalang kayu, lebah madu, atau berbagai jenis kepik berwarna cerah.

Pelajaran IPA di SD tak hanya membawa kegembiraan bagi saya dan teman-teman sesama penangkap serangga, tetapi juga mengajarkan bahwa serangga membantu penyerbukan berbagai tanaman. Jika mereka bertugas dengan baik, tak lama kemudian buah-buahan akan muncul. Pengalaman masa kecil berinteraksi dengan beraneka ragam serangga menimbulkan kesan mendalam tentang betapa pentingnya makhluk kecil itu bagi hidup manusia.

Nilai Setiap Spesies

Beberapa tahun belakangan, kupu-kupu kertas sudah mulai jarang muncul di bulan Desember. Hilangnya pohon trembesi yang menjadi tempat berkembangbiak mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Awalnya, serangga yang kecil dan biasanya tak terlihat mungkin tidak akan membuat saya gelisah ketika mereka mulai menghilang. Namun, akhir-akhir ini alam memberikan sinyal kepada manusia bahwa tanpa serangga, kehidupan bisa berubah dari jalur yang seharusnya.

Kasus terkait hilangnya serangga yang terjadi di Sichuan China dapat menjadi contoh nyata dampak hilangnya biodiversitas. Sebagai daerah penghasil pir dan apel, hilangnya lebah menyebabkan para petani di Sichuan harus melakukan penyerbukan secara manual sejak tahun 1980. Dua faktor utama penyebab hilangnya lebah: 1) hilangnya habitat dan 2) penggunaan pestisida secara masif. Pembukaan lahan untuk perkebunan pir dan apel telah menggusur dan memfragmentasi habitat lebah. Hal ini menyebabkan lebah kesulitan mencari nektar di luar jangkauan terbangnya pada saat perkebunan apel dan pir belum memasuki masa berbunga. Di sisi lain, penggunaan pestisida berlebihan dilakukan untuk melindungi perkebunan dari hama kutu. Ternyata, penggunaan pestisida tidak bersifat spesifik sehingga organisme non target seperti lebah juga ikut musnah. Kedua faktor tersebut menyebabkan penurunan populasi lebah secara drastis yang kemudian diikuti dengan penurunan jumlah produksi buah di Sichuan. 

Kisah lain yang menurut saya cukup jelas menjelaskan dampak panjang hilangnya keanekaragaman hayati terhadap ekosistem dirangkum dalam buku Silent Spring karya Rachel Carson yang ditulis pada tahun 1962. Awalnya, keanekaragaman serangga menurun karena perubahan pertanian multikultur menjadi monokultur. Perubahan ini menyebabkan munculnya serangga tertentu yang dominan dan kemudian mengganggu produksi tanaman pertanian. Solusi yang dipilih adalah menyemprotkan bahan kimia seperti DDT dan dieldrin untuk membunuh serangga yang dianggap hama. Hal tersebut menjadi masalah baru ketika pada akhirnya bahan kimia yang digunakan yang tidak selektif dan membunuh berbagai jenis serangga non target. Penelitian lebih lanjut menemukan fakta bahwa bahan kimia yang digunakan mencemari tanah dan air dalam konsentrasi tinggi, bahkan hingga masuk ke dalam makhluk hidup. Di Sheldon, Amerika, akumulasi bahan kimia bahkan membunuh burung pemangsa serangga sedangkan burung yang selamat tidak bisa menghasilkan keturunan. Kisah ini merupakan rentetan kisah dari hilangnya keanekaragaman hayati akibat perubahan pertanian multikultur menjadi monokultur, yang pada awalnya diawali oleh kepentingan ekonomi untuk menghasilkan panen sebanyak – banyaknya bagi umat manusia.

Dua kisah di atas hanyalah kisah nyata yang terjadi ketika sebagian kecil keanekaragaman hayati hilang dari panggung kehidupan di bumi. Ada banyak penelitian sejenis yang menyimpulkan bahwa hilangnya satu atau beberapa spesies berdampak pada rantai makanan secara keseluruhan. Pada akhirnya, keputusan kita yang tidak bijaksana dalam menghilangkan salah satu spesies yang mungkin dianggap belum berguna bagi manusia ternyata dampaknya kembali pada manusia itu sendiri. Misalnya, siapa yang menyangka, hilangnya lebah bisa menyebabkan kegagalan panen satu provinsi?

Berpartisipasi Sesuai Peran dan Kapasitas

Tragedi buruk yang terjadi bagi sebagian orang ditangkap sebagai pesan dari alam. Menurut Paus Fransiskus, saat ini masyarakat sedang memasuki fase kesadaran yang lebih kritis. Masyarakat sadar akan apa yang sedang terjadi di dunia dan berani menjadikannya sebagai penderitaan kita sendiri dan dengan demikian menemukan sumbangan yang bisa diberikan oleh diri kita masing – masing. (Fransiskus. 2015). Dalam tataran praktis, kelestarian alam memerlukan: peraturan perundangan dan penegakan hukum yang efektif serta kesadaran masyarakat (Samedi, 2024).

Mungkin saat ini, masih banyak orang yang belum sadar mengenai peran penting serangga kecil di sekitar kita. Agaknya terlalu jauh untuk berharap perlindungan keanekaragaman serangga dari ranah kebijakan, namun sebagai sebuah usulan dari pengalaman pribadi, kita bisa memulai dari proses pendidikan. Saya sendiri berprofesi sebagai guru Biologi dan materi keanekaragaman hayati memang sudah dimasukkan dalam kurikulum biologi, namun hal itu saya rasa dapat dikembangkan lebih lanjut. Pendidikan yang baik dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya setiap spesies, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga bagi jejaring kehidupan secara keseluruhan.

Pengalaman masa kecil saya tentang kupu-kupu bulan Desember meninggalkan jejak yang mendalam tentang keterkaitan komponen kehidupan. Pengalaman itu menjadi fondasi bagi tindakan saya dalam menjaga lingkungan, salah satunya dengan menulis artikel ini. Dalam kaitannya dengan pendidikan, yang menimbulkan kesadaran terhadap peran setiap spesies, perlu rasanya memberikan pengalaman berinteraksi dengan alam, menyadari nilai-nilai dari setiap makhluk hidup. Perlu ditekankan pada siswa bahwa dunia bukan hanya tentang diriku, tetapi juga apa saja yang membentuk jejaring kehidupan hingga saat ini.

Pendidikan yang diusahakan secara baik dan sesuai dengan konteks permasalahan jaman. Meskipun, tidak dapat mengubah secara instan, tetapi proses mendidik meninggalkan rekaman pengalaman yang mendalam. Kegiatan di alam terbuka seperti live in di pedesaan bagi anak-anak kota, jambore, dan pengenalan lingkungan alam adalah cara yang sangat baik untuk membantu anak-anak kembali terhubung dengan alam. Setelah itu, proses penting yang perlu dilakukan selanjutnya adalah memaknai peran setiap spesies dan memahami pentingnya menjaga lingkungan hidup, terutama di masa kini, dimana anak-anak mulai tercerabut dari alam.

Proses pendidikan di bangku sekolah mungkin tidak akan secara instan menyelesaikan tragedi yang sedang terjadi. Akan tetapi, kita patut percaya bahwa orang-orang besar, yang nanti akan memegang kendali atas banyak keputusan di negeri ini, berawal dari ratusan anak muda yang sedang belajar banyak hal saat ini. Mengajari mereka kesadaran untuk berkata cukup, mengingatkan mereka bahwa setiap makhluk memiliki nilai dan perannya masing-masing dalam kehidupan di bumi. Selaras dengan pengalaman saya sendiri, tidak ada yang tiba-tiba bisa diajak peduli terhadap keanekaragaman hayati tanpa disadarkan bahwa kita adalah bagian kecil dari panggung kehidupan di bumi.

 

Referensi :

Carson, R. 1962. Silent Spring. Houghton Mifflin Harcourt

Fransiskus. 2015. Ensiklik Laudato Si’. Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama. Jakarta : Obor.

https://www.foodunfolded.com/article/pollinating-orchards-by-hand-lessons-from-sichuan-china

https://nationalgeographic.grid.id/read/133773685/dunia-hewan-mengapa-jumlah-serangga-di-bumi-menurun-drastis?page=all