fbpx
Freepik/odua

Perlindungan Bagi Perempuan di Pusaran KBGO

Di tengah pandemi Covid-19 saat ini, menurut data dari Kominfo, intensitas penggunaan internet oleh masyarakat meningkat. Aktivitas digital masyarakat yang semakin meningkat selaras dengan peningkatan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia. Data Catatan  Tahunan Komnas Perempuan 2020, menunjukkan peningkatan kasus KBGO. Temuan pada data Lembaga Penyedia Layanan menunjukan bahwa Kekerasan Berbasis Gender Online atau Siber pada tahun 2020 meningkat menjadi 510 kasus, yang mana pada tahun sebelumnya terdapat 126 kasus.

Peningkatan drastis kasus KBGO ini menunjukkan betapa lemahnya regulasi hukum terkait keamanan dunia siber. Sejauh ini belum ada upaya perlindungan hukum yang tepat bagi korban KBGO. Tidak jarang korban justru disalahkan secara hukum. KBGO sebagai bentuk modifikasi dari betuk kekerasan dan pelecehan seksual konvensional tentu sangat mengkhawatirkan, sebab perempuan sebagai pihak yang paling rentan menjadi korban tidak lagi mempunyai ruang aman untuk beraktivitas.

Bentuk-Bentuk KBGO

            Kecanggihan teknologi digital yang memberi kemudahan akses untuk berselancar di dunia maya sekarang ini kerap disalahgunakan oleh sebagian orang untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas seperti menyebarkan konten intim non konsensual (tanpa persetujuan orang yang bersangkutan). Di mana tindakan ini dilakukan oleh pelaku untuk mengancam dan mengintimidasi korban agar menuruti kemauannya. Perbuatan ini merupakan salah satu bentuk Kekerasan berbasis Gender Online (KBGO) yang saat ini telah menjadi fenomena global.

Bentuk kekerasan ini juga kita kenal dengan istilah revenge porn, sextortion, Image Based Abused (IBA), Image-Based Sexual Abuse (IBSA), Intimate Image Abused. Berdasarkan laporan yang diterima oleh Komnas Perempuan setidaknya terdapat 8 bentuk KBGO, antara lain pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infirngement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (mallicious distribuiton), pencemaran nama baik (online defamation) dan rekrutmen online (online recruitment).

Di media sosial, kita barangkali sudah sering menemukan konten intim seseorang yang disebarkan oleh pasangan atau mantan pasangannya tanpa persetujuan korban karena pelaku sakit hati diputuskan, tidak mau pisah, memaksa rujuk, atau keinginannya tidak dituruti. Tindakan ini dikenal dengan istilah revenge porn (pornografi balas dendam), jika kemudian tindakan penyebaran konten intim non konsensual ini diikuti dengan pemerasan yang dilakukan dengan meminta sejumlah uang, mengiming-imingi akan memberikan imbalan jika korban menyerahkan konten intimnya, mengajak melakukan hubungan seksual, dan memaksa korban menyerahkan konten intim lagi, maka perbuatan ini termasuk sextortion (pemerasan seksual).

Pelaku KBGO sejatinya tidak hanya pasangan atau mantan pasangan korban namun termasuk setiap orang yang memiliki akses terhadap konten intim korban baik dengan cara menduplikasi konten intim milik korban maupun meretas akun digital milik korban, kemudian dengan bantuan teknologi digital menyebarkannya melalui postingan di media sosial, website, email, kiriman di aplikasi chat, dan platform online lainnya untuk mengancam dan mengintimidasi korban atau bahkan sampai memeras korban.

Kasus pencatutan nomor handphone maupun foto diri seseorang untuk kemudian dipromosikan di akun-akun prostitusi online juga sering terjadi. Korban kemudian mendapatkan teror pelecehan dan kekerasan seksual berupa telepon, video call, dan pesan-pesan dari aplikasi chat dari orang-orang yang ingin menggunakan jasa prostitusi online. Hal ini tentu sangat mengganggu dan merugikan korban.

Dampak Serius Penanganan Tidak Serius

Tindakan KBGO membawa dampak serius bagi korban, korban mengalami depresi, kecemasan, dan ketakutan hingga pada titik tertentu beberapa korban berpikir untuk bunuh diri. Kerugian psikologis yang dialami korban akan berlanjut kepada masalah keterasingan sosial, para korban menarik diri dari kehidupan publik, termasuk dengan keluarga dan teman-teman karena merasa dipermalukan dan diejek di depan umum. Para korban kehilangan rasa aman baik di ruang offline maupun online membuat mereka juga menarik diri dari internet sehingga mereka kehilangan akses untuk informasi, layanan elektronik, dan komunikasi sosial atau profesional.

Sayangnya, dampak yang begitu serius dari KBGO ini justru tidak ditangani dengan serius terutama dari aspek penegakan hukum bagi korban. Undang-Undang Pornografi dan undang-undang sapu jagat—UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) masih dijadikan andalan untuk kasus-kasus KBGO yang semakin marak terjadi di tanah air. Dalam praktinya, UU ITE yang mengandung banyak pasal karet ini justru sering mengkriminalisasi korban.

Kita tentu ingat bagaimana kasus Baiq Nuril yang dikriminalisasi melalui Pasal 27 ayat (1) UU ITE saat ia justru menjadi korban KBGO dari kepala sekolah tempat ia mengajar. Baiq Nuril bukan satu-satunya korban KBGO yang dikriminalisasi oleh UU ITE.

Pasal 27 Ayat 1 dalam UU ITE mengatur, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa gak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Oleh Pasal 45 ayat (1) yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Peneliti ICJR–Maidina Rahmawati menyatakan bahwa pasal ini “buta” karena justru bisa menjerat korban, unsur transmisi, distribusi dan membuat dapat diakses tidak memberikan batasan untuk tidak menyerang ranah privat dan tidak untuk menjerat korban. UU ITE menjadi momok bagi korban KBGO sehingga mereka enggan melaporkan kasus yang menimpanya ke pihak yang berwenang.

Korban KBGO yang kerap dikriminalisasi oleh ketentuan UU ITE menunjukkan bahwa aparat penegak hukum kerap mengabaikan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengamanatkan pemberian perlindungan agar saksi, korban, saksi pelaku ataupun pelapor tidak bisa dituntut secara hukum atas laporannya.

Upaya Perlindungan Bagi Korban KBGO

Peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak pada korban dan diperparah dengan terbatasnya pengetahuan aparat penegak hukum terkait KBGO menjadi tantangan serius dalam penegakan keadilan bagi korban. Luasnya spektrum KBGO tanpa satu instrumen hukum pun yang secara khusus dan komprehensif mengatur masalah KBGO memberi banyak kesulitan baik bagi korban, pendamping korban, dan aparat penegak hukum. Hal ini menuntut aparat penegak hukum untuk cermat menggunakan interpretasi yang luas atas peraturan perundang-undangan terkait KBGO.

Pun sampai saat ini, RUU PKS (sudah berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang diharapkan menjadi payung hukum dari segala bentuk kekerasan seksual termasuk KBGO di Indonesia tidak kunjung disahkan.. Meski saat ini RUU TPKS masuk sebagai Prolegnas Prioritas 2021, muatan RUU ini masih banyak masalah. Salah satunya adalah masalah alpanya pengaturan mengenai KBGO di tengah maraknya kasus KBGO di tanah air. Hal ini tentu sangat disayangkan, sebab negara seharusnya bertanggungjawab atas perlindungan terhadap seluruh warga negaranya.

Pemerintah seharusnya mencontoh bagaimana negara-negara di Uni Eropa telah lebih dulu memberikan perlindungan maksimal bagi masyarakatnya terkait KBGO. Di mana negara-negara di lingkup wilayah Uni Eropa secara lebih lanjut telah mendefinisikan dan memberikan perlindungan khusus bagi kejahatan terhadap perempuan di internet melalui Konvensi Budapest tentang Cybercrime yang merupakan pernjanjian internasional pertama yang berfokus pada kejahatan di internet. Dalam Pasal 9 Konvensi Budapest membahas soal gambar eksploitasi tentang anak yang menghasilkan pornografi untuk distribusi elektronik dan produksi anak yang menyebabkan kematian dan kekerasan fisik dan/atau psikologis. Lebih lanjut Uni Eropa mengatur KBGO dalam instrumen-instrumen yang akan melindungi perempuan dan anak perempuan dari jenis kekerasan ini, yaitu Petunjuk Hak Korban, Petunjuk tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Upaya Melindungi Korban, Petunjuk untuk Memerangi Eksploitasi Seksual Anak-Anak secara Online dan Pornografi Anak, dll.

Untuk itu, pemerintah harus segera melakukan revisi UU ITE sebab Pedoman UU ITE sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak cukup karena masih menyisakan ruang kriminalisasi bagi korban. Pemerintah juga harus segera mensahkan RUU TPKS dengan melalukan penyempurnaan pembahasan terkait pengaturan KBGO secara komprehensif dalam RUU tersebut.

Selain memperbaiki substansi hukum, perlindungan korban KBGO juga meliputi upaya memperbaiki struktur hukum, yaitu aparat penegak hukum. Penyebarluasan informasi terkait KBGO yang merupakan sebuah kekerasan yang dampaknya bisa sama atau lebih parah daripada kekerasan seksual biasa yang juga harus dipahami sebagai sebuah fenomena yang penting untuk segera ditangani. Masih banyak aparat hukum terkhusus kepolisian sebagai lembaga negara yang berwenang saat ini untuk menyampaikan laporan terkait kasus kejahatan masih belum berperspektif kepada korban.

Di sisi lain, pendidikan dan pelatihan khusus perlu diberikan kepada para penegak hukum terkhusus kepolisian tentang penanganan kasus agar dapat berperspektif korban, sehingga nantinya dalam penanganan segala bentuk kekerasan seksual baik online maupun offline dapat memenuhi keadilan bagi para korban terutama perempuan. Karena hingga saat ini, masih banyak korban KBGO yang dalam pelaporannya masih sulit dilayani karena kekurangan alat bukti yang membuat sangat banyak kasus-kasus KBGO yang tidak dapat diselesaikan secara hukum.

Dengan memperbaiki kebijakan hukum sekaligus aparat penegak hukumnya, diharapkan dapat mewujudkan keadilan, kemanfaatan, serta dapat mencitakan ruang aman bagi perempuan yang paling rentan menjadi korban KBGO, sebab memperoleh rasa aman merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi.