Ayu Ratna Sari Mahasiswa 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Sektor pariwisata menjadi salah satu sektor yang berkontribusi besar dalam dalam pembangunan ekonomi Indonesia mengingat potensi kekayaan alam dan sosiokultural yang dimiliki oleh Indonesia. Sektor pariwisata menyumbang 4,3% pada PDB Indonesia tahun 2022 dengan peningkatan Trade Tourism Development Index (TTDI) dari peringkat 40 tahun 2019 menuju peringkat 32 pada tahun 2021 (BK DPR, 2023). Selain itu, berdasarkan data Kementerian Pariwisata menunjukkan bahwa adanya peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada tahun 2023 sebesar 11,68 juta atau 98,3% dibandingkan tahun 2022 (Halim, 2024, Situs Web SBM ITB). Seiring dengan perhatian dunia terhadap pembangunan berkelanjutan, maka adanya tuntutan pelaksanaan ekonomi berkelanjutan melalui pengupayaan aktivitas ekonomi yang meminimalkan dampak negatif terhadap sosial dan lingkungan sesuai dengan daya dukung alam dan keadilan sosial (Solechach & Sugito, 2022). Atas dasar tersebut, Kemenparekraf kini berupaya mewujudkan destinasi pariwisata berkelanjutan melalui kampung wisata, desa SDGs, program intervensi pemberdayaan masyarakat lokal, dan sebagainya. Meski demikian, situs Mongabay (Sandang, 2023) menyorot urgensi Indonesia saat ini sudah melampaui dari kebutuhan pariwisata berkelanjutan, sehingga perlu untuk beralih pada pariwisata regeneratif dengan melibatkan desain dan manajemen pariwisata yang tidak hanya berorientasi pada mitigasi dengan fokus meminimalkan dampak negatif kegiatan pariwisata terhadap lingkungan dan masyarakat lokal, namun juga berorientasi pada restorasi dengan secara aktif mengupayakan pemulihan dan peningkatan kualitas lingkungan dan masyarakat lokal. Adapun dasar dari pernyataan tersebut adalah fakta bahwa implementasi rencana induk pariwisata berkelanjutan sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata di beberapa daerah menunjukkan adanya side-effect yang ditimbulkan bersamaan dengan peningkatan pendapatan, salah satunya adalah riset ELSAM terkait kasus proyek Bali Baru tahun 2016 menghasilkan kesimpulan bahwa pembangunan berkelanjutan belum sepenuhnya optimal dalam menangani over-tourism dan penyelewengan dominasi korporasi yang mengabaikan hak masyarakat lokal, seperti penggunaan lahan, pelanggaran HAM tenaga kerja, eksploitasi sumber daya alam, serta hak atas pembangunan sebagai akibat deregulasi dan privatisasi (Sandang, 2023, Situs Web Mongabay). Gambar; Eco-Village Tourism Bali             Sumber: Junanto Xu (2020, TripCanvas.com) Untuk mewujudkan pariwisata regeneratif, sumber daya manusia pariwisata sudah dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni. Menurut Susanto (1997) bahwa manusia adalah aset organisasi utama yang perlu untuk diperhatikan dalam manajemen (Nandi, 2008). Atas dasar tersebut, sumber daya manusia pariwisata di Indonesia pada umumnya menempuh pendidikan kepariwisataan yang dimulai dari pendidikan menengah kejuruan dan berlanjut pada perguruan tinggi vokasi. Pendidikan vokasi selama ini telah menjadi salah satu pintu dalam menghasilkan generasi muda yang memiliki keterampilan praktikal dan ilmiah dalam industri pariwisata. Tujuan dari pendidikan kepariwisataan adalah mengembangkan potensi wilayah pariwisata dengan mengoptimalkan potensi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal serta berupaya membangun citra publik terhadap wilayah pariwisata di mata internasional. Dalam hal ini, salah satu yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan pengelolaan pariwisata yang berorientasi regeneratif. Salah satu inovasi dalam kurikulum pendidikan kepariwisataan adalah penerapan model pembelajaran Teaching Factory (TEFA). Fajaryati (2012) menjelaskan bahwa metode pembelajaran TEFA adalah perpaduan antara pendekatan CBL (Competency Based Learning) dan PBL (Production Based Learning) dengan mengadakan aktivitas produksi maupun pelayanan jasa sesuai sistem dan standar dunia kerja di dalam ruang kelas yang dianggap Susanto (2018) sebagai pendekatan efektif dalam peningkatan kompetensi lulusan pendidikan (Sunarja & Maharani, 2023). Dengan menerapkan TEFA secara langsung, siswa mendapatkan pengalaman belajar yang lebih relevan dengan permasalahan dan kondisi pariwisata terkini, menjamin kompetensi yang sesuai untuk terjun ke dunia kerja setelah lulus, serta memperluas jejaring hubungan siswa dengan pihak industri melalui kolaborasi mitra antara perguruan tinggi dengan dunia kerja (Liza, 2024, Situs Web Sevima.com). Menurut Rohmah et al (2019) Implementasi penerapan skema pembelajaran ini dimulai dari pembuatan rencana pembelajaran dan kemitraan, pemilihan metode pembelajaran yang mendorong partisipasi aktif siswa dalam mengikuti pembelajaran dan pesiapan instrumen yang digunaan, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang mencakup perkembangan pencapaian akademik, etika, keterampilan praktis, dan soft-skill (Sunarja & Maharani, 2023). Adapun implementasi TEFA secara regulasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 yang menguraikan kewajiban penyelenggaraan Pendidikan Vokasi Industri berbasis kompetensi dilengkapi dengan sistem praktik kompetensi, Sertifikat Profesi (LSP), dan Tempat Uji Kompetensi (TUK). Gambar : Skema Teaching Factory Tourism Education Learning Method ( Sumber : Olahan Pribadi) Dalam konteks pendidikan kepariwisataan, pembekalan pengetahuan dan etika menjadi hal utama sebelum beranjak pada praktik di lapangan. Kurikulum pendidikan kepariwisataan sebaiknya disusun secara komprehensif dengan mengintegrasikan pengetahuan terkait tata kelola lingkungan yang berkelanjutan, pengetahuan terkait potensi dan konservasi kultur masyarakat lokal, sistem ekonomi hijau, serta etika pembangunan berwawasan lingkungan. pengetahuan terkait tata kelola yang berkelanjutan memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan inovasi dalam aktivitas wisata yang ramah lingkungan dan mampu menambah nilai jasa ekosistem. Di samping itu, pemahaman terhadap konservasi dan pengetahuan sosio-kultural di Indonesia mengarahkan siswa untuk menghargai nilai-nilai serta tradisi yang ada di masyarakat lokal. Hal tersebut mendorong terciptanya pengalaman berwisata sebenarnya dengan bermakna serta keterampilan dalam melakukan asesmen dan intervensi terhadap upaya menjaga eksistensi budaya dan pengembangan pariwisata berbasis Community Based Tourism maupun Ecotourism. Penguasaan mengenai perubahan ekonomi di tingkat lokal, nasional, dan global juga krusial agar para lulusan bisa berperan dalam pengembangan ekonomi daerah melalui sektor pariwisata dan mampu menganalisa pengaruh dinamika global terhadap pariwisata setempat. Untuk mewujudkan transformasi pariwisata regeneratif di Indonesia, siswa perlu didorong untuk memiliki pola pikir bahwa intervensi pariwisata dilakukan dengan tidak hanya berfokus pada sisi ekonomi, namun membangun kapasitas sistem kehidupan secara holistik (living systems) untuk mendorong regenerasi. Terdapat prinsip pariwisata regeneratif yang perlu dipahami oleh siswa berdasarkan Bellato et al (2022), yakni 1) perspektif dunia ekologis dalam membangun kolaborasi evolusioner, saling menguntungkan, dan menghargai batas-batas kehidupan planetary boundaries; 2) menerapkan pendekatan sistem kehidupan dalam merancang dan mengelola pariwisata guna mendorong perubahan yang bersifat transformatif melalui kolaborasi antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan serupa; 3) mengidentifikasi potensi lokal dengan menggali secara mendalam karakteristik khas dan sejarah mereka, serta proses yang berfokus pada lokalitas yang mencerminkan, menghargai, dan memperkuat sistem sosial-ekologis yang ada di daerah tersebut; 4) memaksimalkan potensi sistem kehidupan pariwisata guna mendorong perubahan, yaitu dengan mengidentifikasi serta mengoptimalkan keterkaitan antara daerah aliran air (watershed) dan layanan rekreasi untuk menghasilkan dampak sistemik yang positif; 5) menerapkan pendekatan restorasi yang mendukung revitalisasi budaya, pengembalian tanah, dan memberikan prioritas pada perspektif, pengetahuan, serta praktik komunitas adat atau lokal dan kelompok-kelompok yang terabaikan; 6) menghasilkan dampak serta efek positif (net-positive impact) pada ekosistem, yaitu dengan memberikan kontribusi terhadap kondisi yang secara berkelanjutan dan mandiri memulihkan sistem kehidupan (self-generate); serta 7) kolaborasi dengan hexa-helix model partnership dalam bekerja sama membagi peran, tanggung jawab, pengetahuan, tugas, dan sumber daya pengelolaan pariwisata (Sandang, 2023, Situs Web Mongabay). Dengan memahami dan menginternalisasi prinsip-prinsip tersebut, siswa memiliki kerangka dalam merancang & melaksanakan pengelolaan pariwisata regeneratif. Pengembangan prinsip-prinsip etika pariwisata yang positif sejak dini adalah elemen penting dalam pendidikan kepariwisataan. Siswa perlu menyadari signifikansi menghargai budaya setempat, baik saat berinteraksi dengan komunitas maupun saat melaksanakan kegiatan wisata. Selain itu, pemahaman tentang betapa pentingnya melestarikan lingkungan harus menjadi elemen fundamental dalam etika kerja mereka. Dalam hal ini, pemahaman terkait kearifan lokal dan internalisasi nilai adat menjadi dasar dalam pembelajaran etika. Oleh karena itu, lulusan pendidikan kepariwisataan memiliki potensi untuk berperan sebagai duta pariwisata yang efektif dan edukatif terkait peniingkatan kesadaran keberlanjutan, serta menjadi teladan bagi para pelaku industri lainnya. Siswa pada jenjang pendidikan kepariwisataan diharapkan memiliki berbagai keterampilan praktis yang sesuai dengan kebutuhan industri pariwisata regeneratif. Keterampilan dalam mengelola limbah dengan baik, mulai dari mengurangi, memilah, hingga mendaur ulang, merupakan salah satu kemampuan yang sangat krusial. Di samping itu, pemahaman mengenai efisiensi energi, baik dalam pengelolaan hotel maupun dalam aktivitas pariwisata merupakan faktor penting untuk mengurangi jejak karbon. Kemampuan pemasaran yang berkelanjutan juga sangat diperlukan untuk mempromosikan tempat wisata dengan cara yang efisien. Upaya-upaya tersebut perlu diiringi dengan optimalisasi penggunaan teknologi, seperti keterampilan menciptakan fitur aplikasi perjalanan pariwisata analisis jejak karbon maupun pemanfaatan teknologi dalam proses pembelajaran, seperti e-learning dan aplikasi simulasi Augmented Reality (AR) yang yang memungkinkan siswa memberikan pelayanan eco-tourism gaya hidup zero waste berdasarkan kearifan lokal terhadap objek virtual dalam kelas.  Dari elaborasi pengetahuan, nilai, dan keterampilan yang perlu dimiliki siswa dalam mendukung pariwisata regeneratif, metode pembelajaran TEFA menjadi metode yang tepat untuk meningkatkan kapasitas siswa. Metode pembelajaran TEFA terintegrasi dengan Project Based Learning yang mewajibkan siswa untuk secara langsung menerapkan apa yang didapatkan di ruang kelas ke dalam sebuah praktik nyata di lapangan dan sesuai dengan kurikulum Merdeka Belajar saat ini. Metode TEFA membuka kesempatan kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan dunia pendidikan untuk memastikan pembelajaran yang didapat relevan dan menjadi bekal dan pintu karir bagi siswa. Proses pembelajaran siswa akan didampingi secara langsung oleh guru atau dosen untuk mencapai key indicator of output yang ditargetkan. Maka dari itu, metode pembelajaran metode TEFA cenderung berorientasi pada Outcome Based Education yang berfokus pada luaran mahasiswa dalam menciptakan inovasi dan menyelesaikan permasalahan pariwisata regeneratif di wilayah lokal. Hal tersebut menjadi salah satu kontribusi untuk pencapaian indeks pembangunan berkelanjutan di wilayah tersebut. Adapun output yang bisa dikontribusikan sesuai dengan hasil asesmen kebutuhan dan potensi pariwisata lokus berupa proyek penelitian, proyek intervensi, rekomendasi kebijakan, serta prototipe inovasi pengembangan produk dan teknologi pariwisata yang dapat dilakukan dengan bermitra pihak eksternal, baik lembaga swadaya masyarakat, media, dan masyarakat. Pendidikan kepariwisataan berlandaskan pada model Teaching Factory (TEFA) merupakan sebuah inovasi yang sangat berpotensi untuk mendorong perkembangan pariwisata regeneratif di Indonesia. Dengan menggabungkan teori dan praktik, TEFA memberikan siswa kemampuan dan wawasan yang diperlukan untuk berperan dalam pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Dengan menjalin kerja sama bersama industri dan pemerintah, TEFA tidak hanya mencetak lulusan yang siap terjun ke dunia kerja, tetapi juga mendorong terciptanya inovasi serta solusi kreatif dalam menghadapi berbagai tantangan di bidang pariwisata regeneratif. Dengan demikian, TEFA memainkan peran yang krusial dalam mengembangkan masa depan pariwisata Indonesia yang lebih baik. Daftar Referensi Halim, Angeline. (2024). Pentingnya prinsip pariwisata berkelanjutan untuk Indonesia. Disadur dari https://www.sbm.itb.ac.id/id/2024/04/29/pentingnya-prinsip-pariwisata-berkelanjutan-untuk-indonesia/. Diakses pada 11 September 2024. Liza. (2024). Mengenal Model Pembelajaran Teaching Factory (TEFA). Disadur dari https://sevima.com/mengenal-model-pembelajaran-teaching-factory-tefa/. Diakses pada 11 September 2024. Nandi, N. (2008). Pariwisata dan pengembangan sumberdaya manusia. Jurnal Geografi Gea, 8(1), 33-42. Pusat Analisis Anggaran dan Akuntabilitas Keuangan Negara. (2023). Analisis ringkas cepat: Urgensi penguatan daya saing pariwisata untuk meningkatkan perekonomian nasional. Jakarta: Badan Keahlian DPR RI. Sandang, Yesaya. (2023). Alih-alih pariwisata berkelanjutan, Indonesia memerlukan pariwisata regeneratif. Disadur dari https://www.mongabay.co.id/2023/10/15/alih-alih-pariwisata-berkelanjutan-indonesia-memerlukan-pariwisata-regeneratif/. Daikses pada 11 September 2024. Solechah, W. M., & Sugito, S. (2023). Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan sebagai Kepentingan Nasional Indonesia dalam Presidensi G-20. Dialektika: Jurnal Ekonomi Dan Ilmu Sosial, 8(1), 12-23. Sunarja, Darmawan, & Maharani, O. D. (2023). The implementation of teaching factory through department division in hospitality skill programme at metland tourism vocational school. Indonesian Journal of Educational Development (IJED), 4(2), 139-149.