Rindu Firdaus Peneliti 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Ada sebuah pepatah tradisional yang cukup tersohor dari wilayah Sumatera Barat yang berbunyi “Alam Takambang jadi Guru” yang secara garis besar menggambarkan bahwa alam semesta telah menyediakan berbagai bahan pembelajaran dan kebajikan untuk manusia. Hal ini dapat diartikan bahwa ilmu pengetahuan tidak terbatas pada dinding sekolah atau status formalitas institusi pendidikan. Ilmu pengetahuan adalah hadiah dari alam semesta yang seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Dengan kata lain, pada dasarnya inklusifitas adalah sifat alamiah dari pendidikan dan ilmu pengetahuan yang bahkan telah lama diyakini oleh masyarakat tradisional nusantara. Di era modern, cita-cita pendidikan dan ilmu pengetahuan yang inklusif tersebut tersusun dalam konteks salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan . Sepeti yang dikutip dari pengertian masing-masing tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDG) tujuan ke-4, yang dimaksud dengan Pendidikan Berkualitas yaitu, “Menjamin Kualitas Pendidikan yang Inklusif dan Merata serta Meningkatkan Kesempatan Belajar Sepanjang Hayat untuk Semua” Dalam konteks keseluruhan pembangunan berkelanjutan yang disusun di dokumen SDG, dapat dikatakan bahwa pendidikan diharapkan untuk menjadi salah satu jalan masuk untuk mencapai berbagai tujuan lainnya seperti tujuan 8 yaitu Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi serta tujuan 9 yaitu Industri, Inovasi, dan Infrasturktur. Dengan pendidikan, masyarakat diasumsikan akan memiliki kemampuan untuk menciptakan berbagai inovasi inovasi yang berguna untuk membangun ekonomi berkelanjutan. Akan tetapi, ada beberapa pertanyaan dan tantangan lanjutan yang harus dijawab untuk dapat mengejawantahkan konsep pendidikan inklusif ini dalam konteks pembangunan terutama ekonomi berkelanjutan. Pertama, siapa saja yang berkualifikasi untuk menjamin kualitas dan meningkatkan kesempatan belajar tersebut? Apakah pemerintah, atau institusi formal pendidikan, atau khusus masyarakat yang memiliki dasar ilmu pendidikan, atau masyarakat sipil secara luas? Kedua, siapa saja yang berhak untuk mendapatkan kesempatan belajar tersebut? Apakah terbatas pada kelas sosial dan kelompok umur tertentu? Apakah khusus bagi mereka yang tergabung secara resmi dalam institusi pendidikan formal yang diakui negara? Ketiga, apakah pendidikan sebatas pada tujuan untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi dan penghasilan yang besar? Konsep ekonomi kerakyatan dapat dijadikan dasar paradigma untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut. Ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi dinyatakan secara jelas dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 33. Ada 3 substansi untuk menggambarkan demokrasi ekonomi. Pertama, keterlibatan seluruh lapisan anggota masyarakat dalam proses produksi nasional sebagai jaminan bahwa negara mendayagunakan potensi sumber daya nasional. Kedua, keterlibatan seluruh anggota masyarakat dalam rangka menikmati hasil produksi nasional termasuk fakir miskin dan anak-anak terlantar. Ketiga, kepemimpinan dan kepemilikan dari anggota masyarakat dalam produksi dan pembagian hasil produksi. Masyarakat adalah subjek ekonomi oleh karena itu harus ditempatkan sebagai penyelenggara ekonomi yang mana pengawasan dan pemilik ada di tangan rakyat. Prasyarat dari bentuk ideal ekonomi berkeadilan yang dibayangkan oleh ekonomi kerakyatan adalah masyarakat yang memiliki kemampuan dan pengetahuan setara untuk mengelola sumber daya. Pada titik itulah, pentingnya pendidikan inklusif dalam ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Dengan kata lain, ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan hanya akan tercapai jika pendidikan diletakkan tidak hanya dalam rangka menciptakan manusia cerdas yang dapat menciptakan berbagai bentuk inovasi dan tenaga kerja yang berkualitas, namun lebih diletakkan dalam rangka menyebarkan kesadaran sosial dan politik sebagai masyarakat sipil yang berhak untuk ikut menguasai berbagai bentuk sumber daya yang menggerakkan pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi dan industri yang inovatif. Konsep ekonomi kerakyatan yang telah dijelaskan tersebut pernah dipakai dalam uji coba Model Pengelolaan Fasilitas Energi Terbarukan oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (PSEK UGM) atas kerjasama dan dukungan dari Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia pada tahun 2021. Melalui kegiatan yang menggabungkan penelitian dan pendampingan, kedua lembaga tersebut menguji cobakan prinsip pengelolaan fasilitas energi terbarukan yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya, untuk mendukung kebutuhan energi beberapa usaha masyarakat desa. Kegiatan ini dimulai dengan pemetaan potensi oleh PSEK UGM dan Bank Indonesia, dilanjutkan dengan kegiatan pengenalan pengetahuan dasar tentang energi terbarukan, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan kelembagaan pengelola energi terbarukan, dan akhirnya uji coba pengelolaan sumber daya energi diusahakan secara kolektif oleh beberapa kelompok masyarakat lokal. Usaha pengelolaan energi terbarukan dikelola oleh sebuah konsorsium kolektif dan inklusif yang bernama Serikat Surya Handayani (SSH) yang bertempat di di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Konsorsium ini memiliki beberapa anggota. Pertama, lembaga keuangan domestik bernama Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS) Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Ummat. Pihak lembaga keuangan ini bertugas sebagai pengelola urusan pengembangan usaha berbasis energi terbaruka, dan pelaksana urusan manajerial serikat. Kedua, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang bertugas sebagai pelaksana teknis-operasional seperti OMRR (Operational, Maintenance, Repairment, dan Replacement). Ketiga, Mitra Teknis yang bertugas untuk melakukan transfer pengetahuan dan keterampilan. Keempat, Pelaku Usaha Syariah (PUS) yang merupakan penerima manfaat utama fasilitas listrik PLTS yang melakukan produksi dan pemasaran. Pada perkembangannya, SSH tidak hanya menjalankan usaha jasa pelayanan penyediaan energi listri dari PLTS kepada Pelaku Usaha Syariah, namun juga merambah pada usaha baru yaitu produksi air minum dengan teknologi reverse- osmosis (RO) dalam bentuk isi ulang galon dan air dalam kemasan seperti dalam bentuk botol dan gelas. Jenis air minum RO menjadi pilihan karena kondisi air tanah Gunungkidul yang merupakan kawasan karst, airnya memiliki kandungan kalsium dan magnesium yang tinggi yang memiliki dampak tidak baik untuk kesehatan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, produk air RO yang bebas mineral dan mikroorganisme merupakan pilihan usaha yang berprospek tinggi. Bentuk usaha lainnya yaitu penyewaan Mobile Solar Water Pumping System (MSWPS) untuk para petani. Sistem usaha ini yaitu menyewakan seperangkat PLTS yang dapat dengan mudah berpindah dari satu tempat ke lokasi lain, disewakan kepada petani yang sedang berada di masa tanam untuk memperjalankan air tanah menuju lebih dekat ke lahannya. Dengan mendekatkan sumber air ke tempat para petani menanam, akan meningkatkan produktivitas kegiatan tanam petani dan memperpendek jeda masa tanam sehingga memberikan kesempatan petani untuk melanjutkan masa menanam dengan komoditi lain yang lebih beragam. Praktik baik ini menunjukkan keberhasilan konsep pendidikan inklusif yang seharusnya tidak hanya sebatas di ruang lembaga formal sekolah, namun dalam bentuk keterbukaan ilmu pengetahuan masyarakat luas dengan eksekusi pengelolaan sumber daya sekitar masyarakat. Pendidikan dalam konteks transfer ilmu pengetahuan seharusnya tidak sebatas pada penciptaan sumber daya untuk menjadi tenaga kerja korporasi, namun sebagai pengelola usaha kolektif lokal yang mana segala keuntungannya berputar di sesama kalangan masyarakat. Dengan kata lain, ekonomi berkelanjutan yang bertumpu pada pendidikan inklusif, adalah kondisi di mana masyarakat menjadi penggerak dan pemilik utama berputarnya roda ekonomi tersebut, tidak hanya sebagai pelaksana kebijakan dan penyedia tenaga kerja dari sebuah industri yang dimiliki oleh segelintir pemilik modal.