fbpx
Freepik/ArthurHidden

Mewujudkan Ruang Aman untuk Perempuan di Lingkungan Kerja Berkultur Patriarki

Perempuan bekerja bukanlah suatu perihal yang baru. Stereotipe bahwa perempuan bertugas untuk diam di rumah dan laki-laki mencari nafkah sudah ditepis sejak zaman dahulu. Para perempuan telah menunjukkan taringnya dalam berbagai bidang pekerjaan, bahkan memegang peran ganda sebagai ibu dan mengurus rumah tangga. Dalam buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, Peter Carey menyebut bahwa perempuan bangsawan Jawa adalah pengusaha unggul. Perempuan Jawa di abad ke-18 menggunakan keahlian mereka untuk membatik, mengukir perhiasan, dan mengusahakan tanah untuk berdagang. Di sisi lain, para perempuan tersebut memegang peran dalam rumah tangga, mendidik anak, dan menjaga kehormatan suami. Perempuan berstatus rakyat pun telah bekerja di bidang pertanian, kesenian, perdagangan, dan masih banyak lagi.

Kultur patriarki dan diskriminasi gender yang lekat dalam masyarakat Indonesia menyebabkan fenomena perempuan bekerja menjadi polemik. Budaya dan adat istiadat mendefinisikan peran perempuan sebagai manusia pekerja domestik (homemaker). Perempuan dikotakkan dalam pekerjaan yang ada di dalam rumah, dapur, atau kasur. Perempuan dianggap harus tunduk dan tidak boleh memimpin, pekerjaan yang dilakukan tidak seharusnya menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi (Rahayu, 2015). ‘Sangkar’ perempuan dalam ranah domestik mendorong langgengnya kultur partriarki yang cenderung diskriminatif hingga sekarang. Meskipun saat ini banyak perempuan telah bekerja, berkarir, bahkan menjadi pemimpin di suatu bidang, berbagai bentuk tindakan diskriminatif masih dialami oleh perempuan di tempat kerja.

Sektor pekerjaan – mulai dari industri hingga perkantoran – tidak melulu menjadi ruang yang aman bagi perempuan. Adanya konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki di atas perempuan, dimana berangkat dari aspek kultur di Indonesia yang berpola partriarki, membuat tindakan diskriminatif marak terjadi di tempat kerja. Menurut Peterson dan Morgan (1995), bentuk kesenjangan di dunia kerja dapat berbentuk perbedaan gaji antara perempuan dan laki-laki, terbatasnya kesempatan, dan hambatan bagi perempuan untuk memimpin. Selain itu, kasus kekerasan dan pelecehan seksual juga sangat mungkin terjadi di tempat kerja. Laporan dari Komnas Perempuan pada tahun 2019 menyatakan bahwa 76% dari 3528 kasus kekerasan di tempat kerja merupakan kekerasan seksual.

            Kekerasan seksual terhadap perempuan dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender, dimana kekerasan tersebut terjadi karena adanya konstruksi sosial dan bias gender yang diskriminatif terhadap perempuan. Kekerasan dan pelecehan di tempat kerja pun didasari oleh adanya bias gender. Hal ini dibuktikan dari adanya laporan dari Perempuan Mahardika pada 2017 yang menyebutkan bahwa ada 773 pekerja perempuan mengalami kekerasan seksual. Dari jumlah tersebut, 437 berupa pelecehan verbal, sisanya berupa pelecehan fisik, dan 252 lain berupa keduanya. Pelecehan verbal tersebut termasuk perilaku cat calling dan kalimat tak senonoh. “Mereka menyebut bahwa hal tersebut hanya sebuah candaan,” kata salah seorang penyintas. Kekerasan seksual dan budaya patriarki tentunya sangat menghambat dan mengancam perempuan di tempat kerja.

Berada di Lingkup Pekerjaan Partriakal Membuat Mulut Kami Terkunci

Kasus pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja tidak hanya tajuk berita ataupun sekadar kisah seperti yang dibawakan film North Country. Beberapa hari terakhir saya di tempat magang menjadi bukti bahwa hal-hal yang dilaporkan statistik dan berita tersebut benar adanya. Saya melaksanakan kegiatan magang di sebuah industri di Pulau Jawa. Kegiatan tersebut saya respons dengan perasaan bersemangat dan antusias. Di saat yang sama, saya lupa bahwa saya telah terdampar di sebuah tempat yang ‘sangat maskulin’.

“Biasa Mbak… Di sini laki-lakinya banyak, jarang banget lihat perempuan!” celetuk seorang karyawan. Celetukan tersebut awalnya saya anggap sebagai sesuatu yang ringan dan bernada ramah. Hari demi hari saya jalani dengan berfokus kepada tugas yang diserahkan kepada saya selaku karyawan magang. Saya bekerja disana dengan intensi baik, yakni membawa manfaat melalui ilmu saya bagi perusahaan, mendapat nilai untuk lulus, dan belajar. Namun, seiring berjalannya waktu saya dan teman-teman perempuan mulai mengalami perilaku tak menyenangkan.

Kegiatan absensi pagi atau berjalan sendiri di salah satu koridor pabrik merupakan hal yang biasa, namun lama-lama terasa seperti neraka Saya mendengar celetukan dan kalimat berbau kotor mulai dilontarkan kepada saya dan teman-teman perempuan saya. Bahkan perilaku berbau seksual mulai ditunjukkan oleh beberapa karyawan saat kami lewat.

”Nggak usah baper, itu hanya bercanda. Ini industri, laki-lakinya banyak,” komentar dari salah seorang pemegang kekuasaan membuat saya geram. Namun di sisi lain, saya tak bisa apa-apa. Saya membawa nama baik universitas dan jurusan saya dalam kegiatan tersebut. Ketakutan akan mencemari nama baik instansi dan membuat adik tingkat saya dicoreng dari daftar pemagang membuat saya memilih diam.

Kejadian tersebut membuat saya merasa tak aman dan dibatasi sebagai perempuan. Namun, apakah ada usaha untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan di tempat kerja berkultur partriakal?

Ruang Aman di Tempat Kerja, Dimulai dari Perempuan Sendiri

Pengalaman tersebut membuat saya tahu bahwa terwujudnya ruang bebas kekerasan seksual bukan perkara mudah, apalagi di industri dominan laki-laki. Tindakan pelecehan berpotensi untuk membuat perempuan bungkam dan tidak berdaya. Oleh karena itu, ruang aman sebaiknya diinisiasi oleh perempuan sendiri, didasari oleh pengalaman, perasaan, dan harapan yang sama. Meskipun sistem dan kultur dalam suatu tempat kerja sulit diubah, gerakan perempuan dapat menyediakan ruang aman bagi para penyintas untuk mendapatkan perlindungan.

 Adanya gerakan kolektif atau ‘perkumpulan’ perempuan dapat menambah rasa percaya diri dan berdaya untuk melawan isu pelecehan seksual. Gerakan tersebut dapat diberdayakan untuk mendorong terciptanya lingkungan kerja yang inklusif dan minim kesenjangan. Pengajuan permintaan untuk adanya kebijakan tempat kerja yang ramah perempuan, pemberlakuan sistem punishment untuk pelaku pelecehan, dan adanya sosialisasi sehubungan kesetaraan gender dapat dilakukan oleh perempuan secara kolektif. Selain itu, ruang aman berbasis gerakan kolektif perempuan diharapkan dapat mendampingi penyintas untuk mendapatkan perlindungan, pendampingan psikologis, dan rasa aman untuk kembali bekerja.

Gerakan kolektif, yang didasari oleh solidaritas dan rasa yang sama, merupakan pendekatan yang cukup efektif untuk menumpas kekerasan seksual di tempat kerja dan menyediakan ruang aman bagi perempuan. Perempuan memiliki hak untuk terjauh dari rasa takut, terintimidasi, dan perilaku yang merugikan di tempat kerja, bahkan di tempa kerja dominan laki-laki.