Hayunda Lail Zahara Pegiat pangan dan lingkungan 0shares Menyusun Arah Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan dan Berakar pada Budaya Lokal Read More Pangan bisa berarti koneksi. Ia menghubungkan tukang sayur dengan pelanggannya, perantau dengan cita rasa rumahnya atau bahkan sejoli dengan menu favoritnya. Namun, lebih dari sekedar ikatan jual beli apalagi selera konsumsi, pangan menyangkut proses panjang sebelum ia hadir di atas piring-piring kita. Betapa ia sejak lama terhubung oleh kebaikan alam sewaktu produksi, memberi dampak di berbagai sendi kehidupan manusia, dan demi menyongsong keberlanjutannya maka diperlukan inovasi dalam hal berteknologi. Pada tahun 2020, diberitakan bahwa petani padi dan holtikultura di Sikka, NTT mengalami gagal panen akibat kekeringan.1 Masih di tahun yang sama, ada petani asal Jombang yang merugi puluhan juta karena buah semangka dan blewah yang susah payah ditanamnya harus membusuk seluruhnya bahkan sebelum sampai ke tangan pembeli.2 Sementara itu, pada tahun 2015 silam, komoditi biji-bijian dan kacang-kacangan Indonesia terancam batal ekspor ke Amerika akibat kontaminasi racun aflatoksin.3 Sederet realita lapangan tersebut sekiranya menyiratkan fakta bahwa di negeri yang dijuluki agraris sekalipun masih terjadi kerawanan pangan, utamanya disebabkan oleh kehilangan pangan (food losses). Organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO) mendefinisikan kehilangan pangan sebagai penurunan kuantitas atau kualitas pangan sepanjang rantai produksi menuju pasar.4 Kehilangan pangan secara kuantitatif diidentifikasi berdasarkan penurunan fisik produk pangan, seperti lecet ataupun busuk. Angka kehilangan tipe kuantitatif mencapai lebih dari 40 persen untuk negara berkembang seperti Indonesia.5 Sementara itu, untuk kehilangan secara kualitatif merujuk pada penurunan nilai gizi dan keamanan pangan. Hingga kini, angka kehilangan pangan tipe kualitatif belum banyak diidentifikasi apalagi dilaporkan. Padahal data kehilangan kualitatif sama pentingnya, mengingat pandemi korona yang terjadi saat ini juga dilatarbelakangi oleh kelalaian terhadap aspek keamanan pangan. Besaran jumlah kehilangan pangan di Indonesia dapat dihubungkan dengan sektor hulunya yakni praktek pertanian. Selama bertahun-tahun lamanya, mayoritas petani di Indonesia berjuang menanam dengan segala keterbatasan sumber daya akibat dari krisis iklim. Namun, karena menggunakan sistem pertanian konvensional, praktek penyimpanan yang buruk, dan standar keamanan yang belum ditetapkan menyebabkan banyak petani kecil di Indonesia menghadapi resiko kehilangan pangan yang lebih tinggi. Resiko kehilangan pangan yang tinggi ini lantas menyebabkan berbagai dampak lintas sektor. Secara global misalnya, kejadian kehilangan pangan turut menyumbang delapan persen emisi GRK (Gas Rumah Kaca).6 Dimana selama produksi pangan tersebut juga terjadi pemborosan berbagai sumber daya berupa air tawar (24 persen), lahan pertanian (23 persen), pupuk (23 persen), dan sejumlah energi lainnya.7 Lebih mirisnya lagi, di kala jumlah kehilangan pangan Indonesia terhitung tinggi, masih banyak penduduk Indonesia yang tercatat mengalami kelaparan8 bahkan 30.000 kasus mengindikasikan kondisi gizi buruk. 9 Atas seluruh hal tersebut, kehilangan pangan menjadi problema serius sekaligus paling mendasar, di mana penyelesaiannya perlu mengacu pada usaha pembenahan di sektor hulunya terlebih dahulu. Tujuannya tidak lebih untuk mencapai efisiensi produksi pangan secara terus-menerus sembari memastikan pangan sampai ke pengguna akhir, dan menjamin keamanannya. Sebagai seorang lulusan teknologi pangan dengan fokus di bidang nanoteknologi, saya memandang tantangan kehilangan pangan di Indonesia sebagai sebuah kesempatan untuk segera beralih ke sistem pertanian berkelanjutan berbasis nanoteknologi yang disebut denga nano pangan. Nano pangan dapat dideskripsikan sebagai pangan yang dihasilkan dari produksi, pengolahan ataupun pengemasan berbasis nanoteknologi. Memanfaatkan nanoteknologi berarti menggunakan sebuah teknologi pengontrolan zat, material, dan sistem pada skala nanometer. Sebagai informasi, ukuran satu nanometer adalah sepersemiliar meter atau sama dengan 50.000 kali lebih kecil dari ukuran rambut manusia. Prinsip kerja nanoteknologi bila diibaratkan akan seperti rempah-rempah yang digerus menjadi serbuk sehingga lebih mengeluarkan aroma semerbak dibandingkan rempah dalam bentuk aslinya. Adanya perubahan ukuran partikel dari besar menjadi kecil dalam nanoteknologi inilah yang akan menciptakan keunikan sifat atau peningkatan sifat fisik, kimia, dan biologi suatu materi dibandingkan materi awalnya.10 Oleh karena itu, dalam misi perwujudan konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (SDGs poin 12) di sektor pertanian Indonesia, nano pangan dapat memainkan perannya melalui serangkaian inovasi berupa nano bubble, nano kemasan, dan nano biosensor. Nano bubble menjadi salah satu teknologi yang dapat diterapkan di lahan pertanian yang mengalami kendala air, baik itu kelangkaan maupun kualitas air yang buruk. Prinsipnya adalah generator nano bubble yang ditempatkan pada waduk atau kolam irigasi akan menghasilkan gelembung oksigen berukuran nanometer. Gelembung oksigen ini sifatnya sangat stabil sehingga memungkinan peningkatan kadar oksigen terlarut dalam air. Tercukupinya kandungan oksigen terlarut dalam air inilah yang akan mempercepat germinasi biji, meningkatkan pertumbuhan tanaman pangan, dan dikemudian hari mempersingkat masa panen. Tak hanya akan menurunkan volume air irigasi lahan pertanian, air yang telah diinjeksikan oksigen nano ini juga dapat berperan dalam mengurai senyawa polutan air dan membunuh patogen berbahaya sehingga mendukung upaya pemulihan air. Beberapa penelitian bahkan telah melaporkan keberhasilan teknologi ini, seperti pada tanaman padi,11 tomat, dan mentimun.12 Sementara itu, dirancang dengan otomatisasi, nano bubble memungkinkan penghentian mesin bila oksigen yang dipasok telah memenuhi standar. Dari segi biaya, nano bubble ini diproduksi dengan bahan lokal dan memanfaatkan energi surya sehingga memiliki harga yang relatif terjangkau, hemat energi, dan dapat diterapkan di daerah terpencil yang belum terjangkau listrik. Dengan penggunaan nano bubble dalam sektor pertanian maka berarti menerapkan sistem pertanian yang berkelanjutan mulai dari efisiensi penggunaan air, optimalisasi nutrisi, bebas bahan kimia hingga pencegahan patogen pada tanaman pangan. Inovasi lain yang dapat mendukung keberlanjutan produksi pangan di Indonesia adalah nano kemasan. Nano kemasan mewakili sebuah teknologi kemasan ramah lingkungan yang telah disisipkan nanopartikel dengan tujuan memberikan perlindungan produk hortikultura dari kerusakan mekanis, kimiawi, dan biologi selama masa panen hingga menuju ke konsumen. Untuk diketahui, nanopartikel dibuat dengan memanfaatkan kekayaan mineral Indonesia (misalnya pasir silika dan seng oksida) yang memiliki sifat antimikroba, penghalang pertukaran gas dan uap air, 13 serta ketahanan termal14. Sementara, bahan dasar nano kemasan diperoleh dari biopolimer yang berasal dari berbagai sumber daya terbarukan, seperti pati singkong, selulosa, kitosan (cangkang kepiting yang terbuang), dan whey (ampas keju) sehingga bersifat biodegradable (mudah terurai di alam). Dalam pemanfaatannya, nano kemasan dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni film bio-nanokomposit dan nano coating. Film bio-nanokomposit dapat dibuat dengan cara mencampurkan nanopartikel ke dalam larutan biopolimer sehingga terbentuk matriks film. Matriks film tersebut selanjutnya dicetak dan dioven agar bisa menjadi pengemas makanan serupa plastik. Petani dapat menggunakan film bio-nanokomposit sebagai pengganti plastik saat mengemas sayuran dan potongan buah segar untuk pemasaran eceran di supermarket. Sedangkan, jenis nano coating dapat dibuat dengan langkah yang sama dengan film bionanokomposit namun tanpa pencetakan film. Nano coating lebih dikhususkan untuk komoditas buah. Cara penggunaannya ialah dengan menyemprotkan sedikit cairan yang telah dibuat ke bagian kulit buah. Lapisan nano coating ini nantinya akan menyatu dengan buah dan mencegah susut buah maupun kebusukan. Penerapan kedua jenis nano kemasan ini diharapkan mampu memperpanjang umur simpan produk holtikulturan, mengurangi limbah plastik kemasan pangan, dan secara berangsur-angsur mengurai resiko kehilangan pangan. Inovasi teknologi nano terakhir yang dapat diaplikasikan pada pertanian berkelanjutan adalah nano biosensor. Sederhananya, nano biosensor merupakan sensor yang dibuat dengan elektroda berbasis nanopartikel. Dengan basis nanopartikel, elektroda ini akan mampu meningkatkan proses elektrokimia sehingga deteksi kontaminan akan terjadi di rentang waktu yang singkat pada tingkat konsentrasi kontaminan yang sangat kecil. Dengan keakuratan, efektivitas, kestabilan, dan daya tahan yang tinggi membuat teknologi ini memiliki peran yang besar dalam deteksi kontaminan, patogen, dan toksisitas tanaman pangan selama masa pertumbuhan hingga pasca panen. Pemanfaatan nano biosensor akan memastikan tak adanya kontaminasi berbahaya yang akan masuk ke rantai makanan mulai dari tingkat produsen yakni petani kecil di Indonesia. Seperti diketahui, instrumen yang umum digunakan untuk mendeteksi kontaminan kompleks pada produk pertanian umumnya berskala laboratorium, menghabiskan biaya pengujian yang mahal, memerlukan pengetahuan khusus, dan keahlian penggunaan instrumen canggih secara komprehensif. Oleh karena itu, nano biosensor hadir dengan bentuk sederhana, harga terjangkau, dan portabel yang dapat digunakan langsung di lapangan. Beberapa penerapan nano biosensor yang telah dilaporkan antara lain dalam mendeteksi kadar asam salisilat yang dihasilkan oleh lobak yang terinfeksi jamur patogen Sclerotinia sclerotiorum15 dan identifikasi okratoksin16 yang dihasilkan oleh Aspergillus dan Penicillum di berbagai produk pertanian. Ke depannya, penerapan nano biosensor secara masif pada sektor pertanian di Indonesia tidak hanya akan mempercepat penanganan tanaman pangan berpenyakit dan memaksimalkan potensi ekspor pangan Indonesia namun juga menjamin keamanan pangan secara global. Akhir kata, adanya inovasi nanoteknologi di bidang pertanian memberikan sebuah titik terang bagi masa depan pangan Indonesia. Teknologi ini akan membantu Indonesia dalam mendorong mitigasi perubahan iklim dan memproyeksikan ketahanan pangan seiring dengan usaha pertanian yang lebih lestari. Karena itu, kini bisakah dibayangkan bagaimana pangan secara tak terduga dapat terkoneksi dengan teknologi untuk meneruskan misi keberlanjutannya? Referensi [1]: Taris, Nansianus. 2020. Puluhan Hektar Padi dan Hortikultura di Sikka Gagal Panen akibat Kekeringan. https://regional.kompas.com/read/2020/10/15/12202071/puluhan-hektar-padi-dan-hortikultura-di-sikka-gagal-panen-akibat-kekeringan. [2]: Budianto, Enggran Eko. 2020. Ini Alasan Petani di Jombang Hancurkan Semangka dan Blewah Hasil Panen. https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5237048/ini-alasan-petani-di-jombang-hancurkan-semangka-dan-blewah-hasil-panen [3]: Ika. 2015. Kontaminasi Aflatoksin Masih Mengancam Produk Pangan Indonesia. https://ugm.ac.id/id/berita/10476-kontaminasi-aflatoksin-masih-mengancam-produk-pangan-indonesia [4]: Food and Agriculture Organization. 2021. Food Loss and Food Waste. http://www.fao.org/food-loss-and-food-waste/flw-data) [5]: The State of Food and Agriculture Organization. 2019. Moving Forward on Food Loss and Waste Reduction. Rome. Publication. [6]: Barilla Center for Food and Nutrition. 2019. Fixing Food Towards More a Sustainable Food System. Written by The Economist Intelligent Unit. [7]: Kummu, M., de Moel, H., Porkka, M., Siebert, S., Varis, O., and Ward, P. J. 2012. Lost food, wasted resources: global food supply chain losses and their impacts on freshwater, cropland, and fertiliser use. Sci. Total Environ. 438: 477–489. [8]: Global Hunger Index. 2020. Global Hunger Index by Severity. https://www.globalhungerindex.org/ranking.html [9]: Badan Pusat Statistik. 2019. Gizi Buruk di Indonesia. https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/site/search?search=gizi+buruk&yt1=Cari [10]: Joni, I Made., Camellia P., Darmawan H., Setianto., Bambang M. W., Anton R. and Husni T. 2013. Synthesis and dispersion of nanoparticles, and indonesian graphite processing. AIP Conf. Proc. 2: 20-26. [11]: Sang, H., Jiao, X., Wang, S., Guo, W., Salahou, M.K., Liu, K., 2018. Effects of micronano bubble aerated irrigation and nitrogen fertilizer level on tillering, nitrogen uptake and utilization of early rice. Plant Soil Environ. 64: 297-302. [12]: Liu, Y., Zhou, Y., Wang, T., Pan, J., Zhou, B., Muhammad, T., Zhou, C., Li, Y. 2019. Micro-nano bubble water oxygation: synergistically improving irrigation water use efficiency, crop yield and quality. J. Clean. Prod. 222: 835-843. [13]: Llorens, A., E. Lloret., P.A. Picouet., R. Trbojevich and A. Fernandez. 2012. Metallic-based micro and nanocomposites in food contact materials and active food packaging trends Food Sci. Technol. 12: 19–29. [14]: Venkatesan, R. and N. Rajeswari. 2015. Mechanical and antimicrobial properties of k-carrageenan/SiO2 Nanocomposite Films for Active Food Packaging. J. Polym. Mater. 4: 457-466. [15]: Wang, Z., Wei, F., Liu, S.Y., Xu, Q., Huang, J.Y., Dong, X.Y., Yu, J.H., Yang, Q., Zhao, Y.D., Chen, H. 2010. Electrocatalytic oxidation of phytohormone salicylic acid at copper nanoparticles-modified gold electrode and its detection in oilseed rape infected with fungal pathogen Sclerotinia sclerotiorum. Talanta. 80: 1277–1281. [16]: Jiang, L., Qian, J., Yang, X., Yan, Y., Liu, Q., Wang, K., Wang, K., 2014. Amplified impedimetric aptasensor based on gold nanoparticles covalently bound graphene sheet for the picomolar detection of ochratoxin A. Anal. Chim. Acta. 806: 128–135.