Dieffa Firstly 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Lingkungan sekolah merupakan lingkungan anak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas agar tercipta individu yang berkualitas. Kualitas dari anak di sekolah, salah satunya berasal dari peran guru sebagai “orang tua” di sekolah. Guru sebagai “orang tua” di sekolah turut berpartisipasi untuk mendidik serta menjadi panutan dari para anak di sekolah. Namun, dalam realitas guru sebagai tenaga pendidik serta panutan bagi murid di sekolah, masih sering memberikan contoh tindakan instan yang dapat menyebabkan anak didiknya tersebut menjadi ketergantungan. Ketergantungan itu dapat berakibat pada murid yang minim akan tanggung jawab terhadap apa yang seharusnya menjadi kewajibannya. Tindakan guru yang dapat menyebabkan ketergantungan tersebut bukan muncul tanpa sebab, melainkan adanya tuntutan atau tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh guru terhadap “nama baik” sekolah. Bukan hal umum kembali perihal guru akan melakukan segala acara agar murid didiknya dapat memperoleh nilai yang memuaskan di sekolah, yang di mana hal tersebut agar berpengaruh terhadap “citra” sekolah dihadapan para audiens, yaitu wali murid, murid sekolah, pemangku kepentingan, dan lainnya. Tindakan normalisasi tersebut adalah dengan memberikan bocoran soal dan jawaban ujian. Memberikan bocoran soal dan jawaban ujian tersebut dilakukan untuk mengejar label sekolah ”favorit”. Label tersebut diperoleh melalui nilai-nilai atau prestasi yang dihasilkan oleh para murid selama di bangku di sekolah. Tentunya setiap sekolah melakukan berbagai cara untuk tetap mempertahankan eksistensi mereka sebagai “sekolah favorit” dalam dunia pendidikan, salah satunya dengan memberikan bocoran soal dan jawaban ujian tersebut Adanya tindakan guru memberikan bocoran soal ujian adalah karena murid hanya dituntut untuk memperoleh nilai yang tinggi. Tuntutan murid di sekolah yang hanya untuk memperoleh nilai tinggi akan berdampak pada murid yang tidak paham mengenai tujuan dari belajar “mereka” di sekolah untuk apa. Ketidakpahaman murid akan tujuan belajar mereka selama di sekolah akan menyebabkan mereka tidak memiliki tujuan akhir atau output sebagai bentuk dari hasil belajar mereka selama di sekolah. Ketidakpahaman akan output tersebut dapat memupuk rasa malas terhadap murid, salah satunya untuk budaya membaca. Sebab, mereka telah diberikan cara yang “instan” untuk memperoleh apa yang ingin mereka peroleh di bangku sekolah, yaitu “nilai yang bagus”. Murid akan menganggap sepele mata pelajaran atau penjelasan yang telah diberikan selama di sekolah sehingga yang akan mereka pelajari ketika musim ujian tiba hanya soal dan jawaban bocoran yang diberikan oleh guru, di mana inilah yang dimaksud dengan ketergantungan. Hal tersebut berdampak pada murid yang hanya berpatokan terhadap nilai bagus bukan kepada kebermanfaatan mereka mengapa harus “belajar”. Mirisnya, memberikan bocoran tersebut termasuk tindakan korupsi yang telah dinormalisasikan. Adanya persaingan antar murid untuk mendapat “nilai bagus” dan persaingan antar sekolah untuk memperoleh label “sekolah favorit” menjadi sebab mengapa guru memberikan bocoran soal dan jawaban ujian kepada murid masih dianggap lumrah. Memberikan bocoran soal dan jawaban ujian kepada murid termasuk salah satu tindakan korupsi yang terjadi di lingkungan sekolah. Mengapa tindakan tersebut disebut sebagai tindakan korupsi? Hal ini karena murid telah diajarkan atau bahkan dibiasakan untuk berperilaku tidak jujur, yang di mana seharusnya ujian merupakan cara untuk mengukur kemampuan murid selama memperoleh materi pembelajaran di bangku sekolah. Pengukuran tersebut di mana akan dimanfaatkan oleh para tenaga pendidik untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Lalu, apa yang ditimbulkan? Guru-guru non kompeten akan bermunculan sehingga tujuan berkelanjutan untuk meningkatkan guru-guru berkualitas di negara berkembang di Indonesia akan sia-sia. Mengapa demikian? Karena murid terbiasa dengan metode pembelajar instan yang berasal dari guru yang tidak berkompeten sehingga apabila dihadapkan atau diberi metode yang berbeda, murid akan kebingungan. Lalu, apa yang harus dilakukan? Permasalahan ini memang sudah marak terjadi di akar rumput. Pendidikan anti korupsi yang sudah digaungkan tersebut dalam realitas masih belum berjalan efektif. Pendidikan anti korupsi dapat dijadikan mata pelajaran wajib yang harus ditempuh oleh siswa. Dalam prosesnya, siswa dan guru dapat lebih sering menerapkan diskusi dua arah, alih-alih hanya guru saja yang memberikan penjelasan. Selain itu, dalam ospek siswa, alih-alih memberikan tugas ospek yang menumpuk dan tidak relevan dengan kegiatan ospek, yang di mana dalam proses kegiatan ini murid diperkenalkan mengenai lingkungan sekolah barunya, pihak sekolah dapat memberikan materi serta modul anti korupsi, terutama yang terjadi di lingkungan sekolah agar dapat dipelajari lebih lanjut. Selain modul, pemberian study case untuk mengidentifikasi tindakan korupsi kepada siswa selama kegiatan ospek juga dapat diberikan sebagai tugas ospek agar siswa sejak dini sudah dapat mengetahui perilaku mana saja yang termasuk ke dalam tindakan korupsi. Pendidikan anti korupsi tidak hanya diberikan kepada murid-murid saja, akan tetapi guru sebagai tenaga pendidik di sekolah dan orang tua sebagai pendidik di rumah juga perlu diberikan. Mengapa hal ini diperlukan? Karena orang yang lebih tua memiliki peran dalam membentuk karakter anak. Pihak sekolah dapat mengadakan pertemuan khusus orang tua sewaktu ospek untuk memberikan materi dan modul anti korupsi. Apabila orang tua murid berhalangan untuk hadir, pihak sekolah dapat mengirimkan modul melalui alamat surel yang telah dikumpulkan saat pendaftaran murid. Sedangkan, untuk para guru dapat dilakukan sebelum musim ujian tiba. Hal ini selaras dengan tujuan berkelanjutan 16 yaitu menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai, terutama indikator 16.5, yaitu yang secara substansial mengurangi korupsi dan penyuapan dalam segala bentuknya.