fbpx
dokumentasi pribadi

Menginspirasi dengan Kelas Inspirasi: Langkah Konkret dalam Pencapaian SDG 4 di Pendidikan Indonesia

Pendidikan adalah hak mendasar yang harus dipenuhi untuk setiap warga negara Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa ‘Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.’ Dengan demikian, ketentuan ini menjadi dasar bagi upaya pemerintah Indonesia dalam menyediakan pendidikan yang adil dan berkualitas bagi semua rakyatnya.

Ironisnya, persentase anak tidak sekolah dari berbagai jenjang pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka anak putus sekolah pada tingkat SD, SMP dan SMA pada tahun 2022 dan 2023 masing-masing mengalami penurunan yang tidak signifikan, yaitu SD (0.04%), SMP (0.01%) dan SMA (0.91%). BPS juga menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan anak putus sekolah. Sebagian besar (76%) keluarga mengungkapkan bahwa alasan utama anak mereka tidak melanjutkan sekolah adalah masalah keuangan. Dari jumlah tersebut, mayoritas (67,0%) tidak sanggup membayar biaya pendidikan, sedangkan sisanya (8,7%) harus bekerja untuk mencari nafkah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa masalah ekonomi menjadi faktor utama penyebab anak-anak putus sekolah di Indonesia. Hal ini terbukti bahwa tak jarang ditemui anak yang berasal dari keluarga miskin, khususnya di daerah pedesaan dan pinggiran kota, terlibat dalam berbagai pekerjaan informal, dari bekerja di pasar hingga menjadi buruh tani. Hal tersebut mereka lakukan atas tuntutan untuk membantu perekonomian keluarga, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Selain merampas hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, putus sekolah untuk bekerja hanya akan menyelesaikan masalah hari ini dan memperkecil kesempatan anak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan. Tak bisa dipungkiri bahwa pendidikan menjadi salah satu kualifikasi penting yang harus dipenuhi jika ingin memperoleh karir yang cemerlang. Jika anak-anak masih terperangkap dalam tuntutan bekerja di usia dini, mereka akan terjebak di dalam lubang kemiskinan dengan pekerjaan kasar dan upah yang rendah. 

Sebagai upaya untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha, salah satunya yaitu penyelenggaraan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Indonesia Pintar (PIP). Melalui program tersebut, pemerintah memberikan bantuan kepada siswa/i dari keluarga kurang mampu berupa uang tunai untuk mendukung biaya pendidikan. Nyatanya, hal tersebut masih belum sepenuhnya efektif karena anak-anak masih harus dihadapkan dengan pilihan yang berat, ‘sekolah gratis namun tidak bisa bekerja’ atau ‘meninggalkan sekolah untuk fokus bekerja’. Selain itu, tantangan lain seperti kurangnya sosialisasi program di daerah 3T dan masalah administrasi juga kerap kali menghambat efektivitas program-program tersebut. Sehingga, hingga saat ini, fenomena putus sekolah masih marak terjadi pada berbagai jenjang pendidikan, SD hingga SMA. Oleh karena itu, perlu adanya strategi yang berfokus untuk meningkatkan partisipasi sekolah secara berkelanjutan, mengingat komitmen Indonesia dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan (SDGs) poin 4, yaitu menciptakan kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar untuk semua kalangan. 

Anak putus sekolah adalah isu kritis yang dapat menghambat pencapaian SDG poin 4, pendidikan berkualitas. Selain itu, pendidikan yang terputus juga mempengaruhi pencapaian tujuan lain seperti pengurangan ketimpangan (SDG 10). Hal tersebut secara tidak langsung akan memperparah ketidaksetaraan sosial-ekonomi, terlebih lagi, anak-anak yang putus sekolah dan bekerja umumnya berasal dari keluarga yang tidak mampu. Selain itu, kondisi ini justru menghambat anak untuk mengasah potensi dan menggapai cita-cita yang diidamkan. Dalam jangka panjang, kondisi yang ironis ini juga akan menghambat pembangunan sosial dan ekonomi di Indonesia. Namun, kompleksitas yang terjadi bukanlah tanpa sebab. Anak-anak yang tergolong dalam keluarga miskin, kerap kali dihadapkan dengan pilihan yang berat, ‘melanjutkan pendidikan’ atau ‘bekerja untuk membantu perekonomian keluarga’.

Meskipun berbagai solusi telah dirumuskan, tantangan akan selalu ada. Sehingga, perlu adanya perumusan strategi yang implementatif dan solutif untuk mengatasi isu-isu yang kerap kali terjadi di dunia pendidikan, khususnya terkait isu anak putus sekolah. Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, Indonesia perlu belajar dari berbagai negara berkembang di dunia yang telah berhasil dalam mengatasi masalah anak putus sekolah. Sebagai contoh, Rwanda, melalui program pendidikan dasar gratis, negara ini berhasil meningkatkan partisipasi anak untuk bersekolah pada tingkat sekolah dasar menjadi lebih dari 98% dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh lain, Bangladesh, negara ini merumuskan program Female Secondary School Assistance Program (FSSAP) dengan memberikan berbagai bantuan bagi siswa perempuan, seperti stipend, pendidikan menengah gratis hingga memberikan kampanye untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan. Pembelajaran juga bisa didapat melalui kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah Ghana, yaitu pendidikan gratis dan kampanye kesadaran. Melalui kebijakan tersebut, Ghana berhasil mengurangi angka putus sekolah secara signifikan dan berhasil meningkatkan partisipasi anak untuk bersekolah pada tingkat sekolah dasar hingga 95%.

Belajar dari pengalaman berbagai negara berkembang di belahan dunia, dapat disimpulkan bahwa kampanye kesadaran atau psikoedukasi menjadi salah satu gerakan yang efektif dalam meningkatkan partisipasi siswa/i untuk bersekolah. Di Indonesia, khususnya anak-anak di daerah 3T, lebih menyukai pendekatan yang praktikal dibandingkan teoritis. Mereka cenderung lebih mudah tersentuh jika diberikan contoh nyata dan diberikan gambaran terkait benefit apa saja yang akan didapat jika melanjutkan pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi. Sebagai contoh, terdapat komunitas di Indonesia yang berfokus untuk memberikan wadah kepada para profesional untuk memberikan motivasi dan gambaran terkait berbagai profesi kepada siswa/i yang sedang bersekolah. Kegiatan ini ditujukan agar para murid memiliki lebih banyak pilihan untuk menentukan cita cita dan lebih termotivasi untuk lebih giat bersekolah agar dapat menggapai mimpi serta cita-citanya. 

Kelas inspirasi sudah aktif menyebarkan kebermanfaatan di berbagai wilayah yang ada di Indonesia, dari pulau Sumatera, Jawa hingga Sulawesi. Kegiatan ini dapat diadopsi menjadi kegiatan wajib per semester untuk siswa/i di sekolah pada tingkat SD, SMP dan SMA sederajat. Layaknya program praktisi mengajar yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), kelas inspirasi juga dapat didesain agar mampu melibatkan berbagai profesional di bidangnya dengan mengajar di sekolah dasar hingga menengah atas. Namun berbeda dengan praktisi mengajar, materi ajar yang diberikan berupa motivasi dan gambaran bagaimana perjalanan praktisi tersebut dalam menggapai mimpi dan cita-citanya.

Strategi dan kolaborasi multisektoral sangat diperlukan untuk merealisasikan gagasan implementasi kelas inspirasi menjadi kegiatan belajar mengajar di tingkat SD, SMP dan SMA. Gagasan ini merupakan sebuah inisiatif yang dapat dilakukan sebagai bentuk komitmen Indonesia  dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDG), terkhusus SDG 4 yakni ‘Quality Education’. Oleh karena itu, perumusan program yang dapat berkontribusi dalam pencapaian tersebut perlu dicanangkan. Salah satunya yaitu dengan melangsungkan kelas inspirasi.

Namun, dalam proses perumusan program hingga eksekusi, dibutuhkan kolaborasi yang melibatkan berbagai aktor, diantaranya yaitu academic, business, government, community dan media. Dalam hal ini, academic memegang peran penting yang mana memiliki keterlibatan secara langsung dalam proses belajar dan mengajar bersama para siswa/i. Dengan kesempatan berinteraksi yang intens, academic diharapkan dapat mendorong dan memotivasi para siswa/i agar berpartisipasi dalam kegiatan kelas inspirasi. Komunikasi dapat dilangsungkan secara one-on-one, berkelompok maupun penyampaian secara langsung di depan kelas. Lebih jauh, komunikasi disesuaikan dengan karakter masing-masing siswa, agar maksud dan tujuan dapat tersampaikan secara efektif. Selain itu, para academic juga dapat berpartisipasi aktif dalam kelas inspirasi sebagai seorang inspirator yang memberikan motivasi mengenai keahlian dan bidang yang dikuasai. 

Selanjutnya, para pelaku bisnis maupun profesional juga memiliki peran yang penting. Peran tersebut tercermin dari keterlibatan para pelaku bisnis untuk berpartisipasi sebagai relawan inspirator yang dapat berinteraksi secara langsung dengan siswa/i dan menceritakan bagaimana proses perjalanan karir hingga memberikan masukan dan saran. Lebih lanjut, pemerintah sebagai pemangku kebijakan, tentunya juga memiliki peran yang tak kalah penting. Pemerintah, sebagai contoh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berperan dalam merumuskan kebijakan dan program yang dapat menjawab kebutuhan dan permasalahan para siswa/i, salah satunya dengan merumuskan program kelas inspirasi dalam kegiatan belajar dan mengajar siswa/i di tingkat SD, SMP dan SMA. Tak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah juga harus andil dalam melakukan perencanaan, eksekusi hingga evaluasi program.

Dalam proses perencanaan hingga evaluasi program, peran komunitas sangat dibutuhkan. Salah satunya yang memiliki peran penting yaitu komunitas kelas inspirasi, yang mana merupakan penggagas program. Sebagai pihak yang sudah berpengalaman dalam menjalankan program, komunitas kelas inspirasi memiliki andil yang cukup besar dalam berdiskusi bersama dengan pemangku kebijakan, agar nantinya dapat merumuskan program yang implementatif, solutif dan tepat sasaran.

Dapat disimpulkan bahwa menangani permasalahan dalam dunia pendidikan membutuhkan pendekatan yang multisektoral, dimana pentahelix collaboration (academic, business, government, community dan media) sangat dibutuhkan. Menangani masalah khususnya terkait anak putus sekolah adalah langkah awal yang sangat penting dalam rangka mencapai SDG 4, quality education, dengan memastikan semua anak Indonesia memiliki akses ke pendidikan yang layak. Dengan upaya mengintegrasikan kelas inspirasi dengan kegiatan belajar mengajar di SD, SMP dan SMA, diharapkan Indonesia dapat memastikan setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan menciptakan masa depan yang lebih baik.