Mumu Ridwanullah Mahasiswa 0shares Membangun Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual, Melalui Pendidikan dan Kesadaran Oleh : Suvi Elvirawati Zebua Read More Manusia selalu menjadi ujung tombak pada segala perubahan revolusioner di belahan bumi manapun dalam sejarah. Pendidikan merupakan komponen kunci di dalamnya. saat ini perubahan revolusioner itu bernama Pembangunan berkelanjutan. Gerakan pembangunan berkelanjutan akan menentang segala dogma yang sudah mendarah daging pada manusia di seluruh dunia. pembangunan berkelanjutan menentang sistem kapitalis yang mementingkan ekonomi diatas manusia dan lingkungan. Menentang para naturalis yang menganggap alam adalah segalanya, lalu melawan para manusia elit yang menganggap eksistensinya melebihi apapun. Pembangunan berkelanjutan berdasarkan pada pemikiran mulia bahwa manusia hidup berdampingan, bahwa manusia hidup bergiliran, namun dunia tempat kita tinggal merupakan satu kesatuan yang kontinyu. Planet ini merekam sejarah manusia dengan tepat yang hanya bisa dilihat oleh generesi berikutnya. Apa yang kita lihat saat ini mungkin akibat dari orang lain disekitar kita, dan apa yang kita rasakan mungkin hasil akumulasi dari ribuan orang dimasa lampau. Tidak perlu risau, tinta sudah mengering, tidak ada yang bisa dirubah. Kecuali pena gerakan pembangunan berkelanjtuan yang saat ini masih menulis, yang belum kita ketahui endingnya seperti apa. Pembangunan berkelanjutan menyasar para generasi muda, maka tidak heran jika sektor pendidikan yang menjadi salah satu fokus utamanya. Education for Sustainable Develoment (ESD) menjadi agenda seluruh sekolah di dunia. Semua pihak bekerjasama terlibat di dalamnya demi terciptanya manusia yang sadar pembangunan berkelanjutan. Namun, bagaimana sekolah-sekolah tahu jika lulusannya itu sadar atau paham makna pembangungan berkelanjutan, bagaimana para guru atau peamangku kebijakan yakin jika outcome seolahnya ini menghasilkan manusia ayng siap hidup berkelanjutan? Ternyata pertanyaan diatas sudah terpikirkan beberapa tahun lalu dan bahkantelah dilakukan kolaborasi untuk menciptakan suatu standarisasi terkait keberlanjutan seseorang atau biasa dinamakan sustainability literacy. Sustainability literacy berlandaskan pada sebuah gagasan sederhana yakni: untuk masa depan yang berkelanjutan (sustainable future), kita membutuhkan lebih banyak orang dengan kesadaran berkelanjutan (sustainability awarness) dan literasi inti (sustainability literacy). Literasi inti disini adalah sebuah pemahaman dasar tentang tantangan global saat ini dan tanggung jawab mereka dalam menyelesaikannya (Decamps et al., 2017). Dalam buku “The Handbook of Sustainability Literacy Skills for a Changing World” yang diperkenalkan Arran Stibbe (2010) mendeskripsikan istilah sustainability literacy sebagai keterampilan, sikap, kompetensi, watak dan nilai-nilai yang diperlukan untuk bertahan hidup dan berkembang dalam kondisi dunia yang semakin memburuk dengan cara yang sedapat mungkin memperlambat penurunan (kerusakan) tersebut. Penggunaan istilah ‘literacy / literasi’ secara metafora dalam sustainability literacy memperluas penggunaan harfiahnya tidak sebatas pada bidang membaca dan menulis. Literasi bermakna kumpulan keterampilan yang memungkinkan partisipasi dan pengaruh efektif dalam berbagai bidang kehidupan (Arran Stibbe, 2010). Sunder Kala Negi (2024) memaparkan meskipun pentingnya Education for Sustainable Development (ESD) telah diakui secara luas, metode pendidikan konvensional sering kali gagal dalam memberikan pengalaman pembelajaran yang mendalam dan menarik yang diperlukan siswa untuk menginspirasi perubahan perilaku yang sustainable. Dalam penelitiannya menyebutkan beberapa tantangan dalam sistem pendidikan konvensional yang dapat menghambat efektivitas Education for Sustainable Development (ESD) berdasarkan beragam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yakni : Pembelajaran yang pasif, metode pendidikan konvensional cenderung menekankan pembelajaran pasif yang melibatkan hafalan dan metode belajar menghafal. Metode-metode tersebut mungkin gagal untuk melibatkan siswa dalam pemikiran kritis dan pemahaman mendalam, sehingga menghambat kemampuan mereka untuk memahami sifat terkait isu-isu sustainability yang kompleks dan saling berhubungan. Fragmentasi: sustainability pada dasarnya merupakan bidang interdisipliner, yang memerlukan integrasi berbagai mata pelajaran. Namun, struktur pendidikan konvensional sering mengelompokkan pengetahuan ke dalam disiplin ilmu yang terpisah (misalnya pemanasan global di bidang IPA), sehingga menyulitkan siswa untuk memahami sifat keberlanjutan yang holistik. Kurangnya konteks dunia nyata: Masalah sustainability adalah masalah dunia nyata yang memerlukan solusi praktis. Pendidikan konvensional terkadang kurang pendekatan kontekstualnya perihal dunia nyata yang dekat dengan siswa begitupun penerapan praktisnya, sehingga menyulitkan siswa untuk menerjemahkan pengetahuan teoritis ke dalam tindakan yang bermakna. Kekurangan dalam Pedagogi: Metode pedagogi sering kali memprioritaskan pengujian standar dan penilaian konvensional (lebih berfokus kepada aspek pengetahuan), sehingga hanya memberikan sedikit ruang untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perubahan perilaku yang terkait dengan sustainability. Pengintegrasian ESD dalam sekolah sekolah di Indonesia memang sangat berat. Diperlukan proses panjang bagaimana mempersiapkan sekolah dan guru yang siap mengaplikasikan ESD dalam pembelajarannya. Namun, bukan berarti orang yang tidak berasal dari sektor pendidikan tidak bisa melakukan apa-apa. Mengutip pernyataan Aran Stibbe (2010) bahwa “cara terbaik untuk mengedukasi masyarakat mengenai pembangunan berkelanjutan adalah dengan membantu mereka mengetahui apa saja yang tercakup dalam istilah tersebut, apa maknanya, dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi cara mereka menjalani hidup… Dengan membantu masyarakat untuk memahami dan terlibat dengan konsep tersebut… mereka akan menemukan keberlanjutan pengembangan untuk diri mereka sendiri dan mulai menerapkannya dalam dunia mereka, sehingga membangun fondasi untuk menggambarkannya dengan kata-kata mereka sendiri “. Yap betul, tidak ada hal baru dari pernyataan tersebut, lembaga-lemabga penggiat SDGs di Indonesiapun sudah melakukan hal itu sejak lama dengan beragam pendekatan, salah satunya lewat Kompetisi Menulis ke-10: “Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan”. Namun ada satu pendekatan unik yang mungkin belum banyak diketahui di Indonesia, yaitu pendekata yang dilakukan Decamps dkk dengan SULITEST atau Sustainability Literacy Test. Sulitest adalah gerakan yang misinya untuk mendukung perluasan pengetahuan, keterampilan, dan pola pikir keberlanjutan yang memotivasi individu untuk berkomitmen dalam membangun masa depan berkelanjutan dan membuat keputusan yang tepat dan efektif. Cara yang diambil sulitest ini terbilang unik yaitu dengan merumuskan sejumlah kompetensi penting (pengetahuan, keterampilan dan pola pikir) menjadi indikator-indikator lalu dirumuskan menjadi sebuah soal pilihan ganda. Yap soal, jadi sulitest menyebarkan konsep keberlanjutan dengan cara mengajak orang lain mengisi soal pilihan ganda yang telah mereka buat. Cara kerjanya yaitu, ketika seseorang telah menjawab sebuah pertanyaan maka selanjutnya ada pemberitahuan apakah jawabannya benar atau salah disertai penjelasan. Cara mainnya disini adalah, soal-soal SULITEST ini sifatnya mungkin lebih ke penegahuan faktual bukan konseptual, yang mana cukup mindblowing faktanya. Ketika seseorang tahu penjelasan lengkap dari soal yang ia jawab maka secara tidak langsung akan menambah pengetahuan, keterampilan, maupun pola pikirnya keberlanjutannya. Untuk lebih jelas berikut contoh soal SULITEST. Manakah aktivitas manusia yang menghilangkan sebagian besar sumber daya air tawar terbarukan di seluruh dunia? a. Industri b. Kota madya (termasuk domestik) c. Agrikultur d. Air yang mengalami evaporasi di danau buatan atau bendungan e. Saya tidak yakin Jawabannya : b. Agrikultur Penjelasan : Menurut laporan Aquastat oleh FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa), hampir dua pertiga curah hujan yang jatuh di daratan menguap dari tanah atau terjadi dari tumbuh-tumbuhan. Sebagian dari sisa air dibuang dari sungai atau akuifer oleh instalasi infrastruktur manusia. Ini disebut sumber daya air tawar terbarukan. Di tingkat global, rasio penarikan adalah sekitar 69% di sektor pertanian, 12% di tingkat perkotaan (termasuk domestik), dan 19% di sektor industri. Namun, rasio penarikan antar wilayah cukup besar, misalnya saja pertanian di Asia Selatan mencapai 91% sementara di Eropa Barat hanya 5% dimana sektor industri mengkonsumsi 73%. Populasi dunia meningkat 4,4 kali lipat selama satu abad terakhir, sementara pengambilan air meningkat 7,3 kali lipat dalam periode yang sama. Hal ini berarti semakin besarnya permasalahan global terkait akses terhadap air bersih, dan jika air tampak ada di mana-mana (es dan lapisan kutub, sungai, laut, samudra, akuifer), maka air juga merupakan sumber daya langka yang harus kita lindungi. Penjelasan jawaban tersebut dapat membuat pengetahuan sustainability seseorang meningkat ketika orang tersebut mengecek jawabannya tanpa merasa bosan bahwa dirinya sedang belajar perihal Pembangunan Berkelanjutan. Selain itu, ketika SULITEST digunakan banyak orang, maka terkumpul pula data nilai sustainability literacy-nya untuk melihat profil tingkat sustainability di suatu wilayah atau komunitas tertentu. Bagaikan pribahasa satu dayung dua pulau terlalui. Nah bagiamana jika strategi SULITEST ini kita terapkan di indonesia, khususnys di sekolah- sekolah ? Referensi : Arran Stibbe. (2010). The Handbook of Sustainability Literacy: Skills for a changing world (A. Stibbe (ed.)). Devon: Green Books Ltd. Decamps, A., Barbat, G., Carteron, J., Hands, V., & Parkes, C. (2017). Sulitest : A collaborative initiative to support and assess sustainability literacy in higher education lien D e Aur e. The International Journal of Management Education, 15, 138–152. https://doi.org/10.1016/j.ijme.2017.02.006 Negi, S. K. (2024). Exploring the Impact of Virtual Reality and Augmented Reality Technologies in Sustainability Education on Green Energy and Sustainability Behavioral Change : A Qualitative Analysis. Procedia Computer Science, 236, 550–557. https://doi.org/10.1016/j.procs.2024.05.065
Membangun Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual, Melalui Pendidikan dan Kesadaran Oleh : Suvi Elvirawati Zebua Read More