Wasillah Mukti Utami Mahasiswi 0shares PELATIHAN KEPEMIMPINAN SDGS DALAM MENDUKUNG MERDEKA BELAJAR DI MALUKU Read More Kekerasan bukan sesuatu hal yang dapat dibenarkan atau dimaklumi. Apalagi diantaranya perempuan dan anak-anak yang menjadi sasarannya. Kekerasan harus segera dihindari, jangan sampai dijadikan tradisi. Sudah seharusnya perempuan dan anak-anak terlindungi dan terjamin aman hidupnya. Negara dan masyarakat harus bekerja sama dalam menangani kasus ini. Hal ini sudah semakin marak. Sudah saatnya kita serius menanggapinya. Kejahatan perilaku kekerasan seksual sudah banyak terjadi, bahkan di tempat yang kita anggap aman, seperti tempat umum, kantor, gedung pendidikan, bahkan rumah. Pelaku bejatnya mulai dari orang tak dikenal, orang yang kita anggap mulia, orang yang kita sayang, bahkan orang yang kita sebut keluarga. Orang-orang semakin gila karena nafsunya sendiri. Ketika sesuatu yang buruk menimpa si ‘perempuan’, akal pendek pelaku memperalat anggota tubuhnya untuk membuang jasad korban atau membunuhnya. Bukan cuma hati, pun otaknya telah membusuk. Pelecehan seksual adalah istilah yang paling tepat untuk memahami pengertian kekerasan seksual. Pelecehan seksual memiliki rentang yang sangat luas, mulai dari ungkapan verbal (komentar, gurauan dan sebagainya) yang jorok/tidak senonoh, perilaku tidak senonoh (mencolek, meraba, mengelus, memeluk dan sebagainya), mempertunjukkan gambar porno/jorok, serangan dan paksaan yang tidak senonoh seperti, memaksa untuk mencium atau memeluk, mengancam akan menyulitkan si perempuan bila menolak memberikan pelayanan seksual, hingga perkosaan. Menurut E.Kristi Poerwandari, perkosaan adalah tindakan pseudo-sexual, dalam arti merupakan perilaku seksual yang tidak selalu dimotivasi dorongan seksual sebagai motivasi primer, melainkan berhubungan dengan penguasaan dan dominasi, agresi dan perendahan pada satu pihak (korban) oleh pihak lainnya (pelaku). Isu mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan didasari oleh tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang telah didokumentasikan oleh Komnas Perempuan dari hasil laporan beberapa lembaga pengadalayanan maupun lembaga peradilan yang bekerja sama dengan Komnas Perempuan. Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual terus berupaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan kasus kekerasan seksual yang ada dengan mengidentifikasi beberapa bentuk dan jenisnya. APA YANG MENJADIKANNYA TAKUT? Anak-anak juga merupakan salah satu orang yang lemah. Dalam kasus kejahatan jenis apapun, anak-anak selalu menjadi incaran, tak terkecuali kejahatan seksual. Perempuan dan anak sudah sepatutnya mempunyai hak istimewa. Upaya yang selalu diusahakan negara rasanya belum efektif, karena sampai detik ini kasus kekerasan masih marak terjadi. Pelaku kejahatan masih ada keberanian untuk terus melakukan tindakan tersebut dan sukar untuk jera. Ancaman menjadi salah satu alasan beberapa korban bungkam, takut hal-hal yang diancam benar terjadi. Anak-anak yang mudah takut kepada orang dewasa menjadikan dia tidak sulit untuk dimanfaatkan. Seperti halnya yang sering terjadi akhir-akhir ini, anak yang seharusnya belajar, kini berkeliaran di jalanan, mengamen, mengemis, dan jenis-jenis eksploitasi lainnya pada anak. KDRT dan Isu Peran Ganda Masalah ekonomi kian menjadi penyebab utama ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Selain eksploitasi anak, Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga ikut terjadi. KDRT dapat berupa kejadian tunggal atau berulang yang membentuk pola dan terjadi dalam waktu singkat atau berlanjut dalam waktu yang sangat lama. Bentuk kekerasan yang terjadi dapat meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional/psikologis, kekerasan sosial, dll. Selain fisik, dampak psikologis korban KDRT tentu menjadi hancur. Dengan hal ini, tingkat kasus perceraian hingga pembunuhan mungkin bisa naik dengan sangat pesat. Isu peran ganda perempuan menjadi salah satu penyebab renggangnya sebuah keluarga. Hal tersebut bisa terjadi kemungkinan karena minimnya komunikasi antara anggota keluarga satu dengan yang lain. Alasan beberapa perempuan memilih untuk bekerja meski telah menikah adalah tanggungan biaya kebutuhan yang kurang mencukupi, atau para perempuan yang terpaksa harus membesarkan anaknya sendiri. Tentu hal itu tidak mudah untuk dilakukan. Rendahnya tingkat pendidikan pada wanita kerap memengaruhi upah pada pekerjaan yang dilakukannya. Hal ini berkaitan dengan kesetaraan gender, yang mana para perempuan merasa tidak ada kesetaraan dalam sektor dunia pekerjaan. Kesetaraan Gender Dari Sisi Budaya Pada dasarnya, semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki memiliki ciri fisik dan karakteristik yang berbeda. Tetapi, perbedaan itulah yang membuat adanya pengelompokkan dan pada salah satu pihak merasa dan dianggap kedudukannya lebih tinggi. Hal ini kemudian munculnya rasa ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan dirasa perbedaan gender perlu untuk disejajarkan. Ketidaksetaraan ini mungkin saja karena pengaruh turun-temurun yang anut terhadap budaya dan tradisi. Seperti contohnya pada budaya Jawa yang banyak memiliki istilah-istilah untuk mendudukkan posisi perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Dalam istilah Jawa ada menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking, artinya teman belakang, sebagai teman dalam mengelola urusan rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak, mencuci dan lain-lain. Ada lagi istilah lain suwarga nunut neraka katut. Istilah berarti bahwa suami adalah yang menentukan istri akan masuk surga atau neraka. Ada lagi istilah manak, macak, masak, yang berarti seorang istri itu harus bisa memberikan keturunan, harus selalu berdandan untuk suaminya, dan harus bisa memasak untuk suaminya. Bahkan budaya yang telah terbentuk lama, hampir sebagian besar peran yang ditempelkan pada perempuan adalah peran yang sifatnya lemah, kurang menantang dan bersifat kedalam atau ranah domestik. Untuk mewujudkan isu kesetaraan gender harus ada hukum yang tegas dari tiap negara dan daerah. Hal itu agar perempuan merasa adil, terlindungi, dan diakui keberadaannya. Masyarakat juga agaknya harus diberi pengertian tentang hal ini. Referensi: Sumera, M. 2013. Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan. Vol 1. Hal 43. Purwanti A, Hardiyanti M. 2018. Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dan Anak Melalui RUU Kekerasan Seksual. Jilid 47. Hal 139. Hermawati, T. 2007. Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender. Vol 1. Hal 20.