sust4in4ble 0shares Menyusun Arah Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan dan Berakar pada Budaya Lokal Read More Beberapa tahun lalu, Disney pernah membuat film berjudul Wall-E yang menceritakan tentang kerusakan bumi akibat timbunan sampah. Manusia dan makhluk hidup lainnya tidak dapat tinggal di bumi karena sudah sangat tercemar. Film ini memang hanya sebuah cerita, namun jika manusia tidak memiliki gaya hidup zero waste lifestyle bisa jadi apa yang diceritakan dalam film tersebut menjadi sebuah kenyataan. Tulisan ini bermaksud memberikan saran kepada pemangku kebijakan untuk mengelola sampah rumah tangga. Aktivitas manusia selalu menghasilkan sampah, rata-rata penduduk Indonesia menghasilkan sampah 0,68 kg/orang/hari (www.indonesia.go.id). Diperkirakan di tahun 2020 timbulan sampah yang berasal dari 270 juta penduduk Indoensia sebesar 185 ribu ton/hari. Timbulan sampah tersebut relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara maju, yang ada di benua Amerika maupun Eropa (Gambar 1). Namun tingkat daur ulang di negara maju lebih tinggi dibanding Indonesia (Gambar 2) sehingga timbunan sampah di Indonesia menimbulkan pencemaran lingkungan yang lebih besar. Indonesia baru mendaur ulang 10% dari sampah yang dihasilkan (Kementerian PUPR, 2016). Sumber : What A Waste 2.0, Worldbank, 2018 Gambar 1 Rata-rata timbulan sampah di tiap negara Sumber : Recylic Race Y2013, www.forbes.com Gambar 2 Tingkat daur ulang sampah di beberapa negara Menurut data dari Kementrian Lingkungan Hidup, sampah rumah tangga didominasi oleh jenis sampah organik (39,7%) disusul sampah plastik (17,2%) dan terakhir sampah kayu (14,1%). Sampah organik sebenarnya mudah terdegradasi, namun menjadi sulit terurai karena bercampur dengan jenis sampah lain. Cairan lindi, ekses dari proses degradasi sampah telah mencemari air permukaan dan air tanah. Tingginya kandungan BOD dan COD mengindikasikan air permukaan yang tercemar oleh bahan organik, salah satunya sampah organik rumah tangga. KLHK melaporkan skor indeks kualitas air (IKA) Indonesia di tahun 2020 sebesar 52,62, artinya rata-rata kualitas air permukaan di Indonesia hanya memenuhi standar baku mutu kelas III (air untuk perikanan). Skor IKA mengalami tren penurunan sejak tahun 2015. Sampah yang tidak diolah telah secara nyata telah mencemari lingkungan dan merusak bumi kita. Kita tidak dapat menghindari timbulan sampah, namun dampak negatifnya dapat diminimalisir dengan mengolah dan mengurangi jumlah sampah contohnya pengelolaan sampah di negara Korea Selatan. Artikel yang berjudul Perbandingan Sistem Pengelolaan Sampah di Indonesia dan Korea Selatan Kajian 5 Aspek Pengelolaan Sampah (Hendra, 2106) memaparkan sistem pengolahan sampah Mapo di Korea Selatan mampu mengolah sampah 750 ton sampah per hari menjadi energi listrik 5MW sedangkan sistem pengolahan sampah Sudokwon mampu mengolah 6.700 ton/hari lindi dan gas menjadi energi listrik 50 MW. Di samping memanfaatkan teknologi, pemerintah Korea Selatan juga menerapkan kebijakan memilah sampah, mendaur ulang sampah dan sistem pembuangan sampah berbasis volume. Kebijakan tersebut mampu menurunkan laju timbulan sampah sebesar 47%, dari 1,77 kg/hari/orang menjadi 0,95 kg/hari/orang. Berdasarkan hasil studi banding tersebut, pemerintah perlu menggalakan upaya daur ulang dan pengolahan sampah melalui pemanfaatan teknologi dan penerapan kebijakan-kebijkaan. Dua langkah penting yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan sampah, yaitu memilah dan mereduksi sampah. Idealnya memilah sampah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya, yaitu rumah tangga. Volume sampah dari tiap rumah tangga relative kecil sehingga proses pemilahan lebih mudah, lebih hemat waktu dan tenaga. Pengolahan sampah di TPA lebih efektif dan efisien jika sampah sudah dalam kondisi terpilah. Sayangnya pemilahan sampah di level rumah tangga belum menjadi kebiasaan bagi sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Hasil penelitian persepsi ibu rumah tangga terhadap pemilahan sampah di Jakarta dan Bogor menyebutkan 81% responden belum memilah sampah (Yudistirani, 2015). Dengan alasan, memilah sampah merepotkan menurut 59% responden, tidak memiliki tempat memilah sampah menurut 3% responden dan memilah sampah tidak bermanfaat menurut 2% responden. Data penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat dalam memilah sampah masih rendah. Kesadaran masyarakat perlu terus ditingkatkan melalui edukasi baik secara formal (sekolah) maupun informal (penyuluhan, iklan layanan masyarakat). Namun proses edukasi membutuhkan waktu lama sedangkan permasalahan sampah begitu mendesak. Lantas apa yang dapat dilakukan untuk segera menangani masalah pemilahan sampah? Di era digital 4.0 sekarang ini, teknologi dapat dimanfaatkan untuk membantu pemilahan sampah. Salah satu teknologi yang sedang dikembangkan oleh peneliti Indonesia adalah mesin sampah pintar (smart bin), contohnya sampah pintar yang dilengkapi dengan 3 jenis sensor yang mampu memilah sampah logam, plastic, kertas dan organik (Peranginangin, 2018). Peneliti lainnya mengembangkan sampah pintar dengan teknologi image processing yang mampu memilah sampah plastic, kertas, gelas (www.ugm.ac.id). Pengembangan sampah pintar sangat menjanjikan untuk meningkatkan volume sampah terpilah dan terolah. Dengan sampah pintar, memilah sampah tidak lagi merepotkan dan lebih cepat. Pemerintah perlu memberikan stimulus kepada peneliti untuk mempercepat pengembangan sampah pintar. Stimulus yang dapat diberikan antara lain berupa dana hibah penelitian, kerjasama dengan sektor industri untuk memproduksi mesin sampah pintar secara massal, dll. Ke depannya sampah pintar dapat dikembangkan untuk mengkompos sampah organik sehingga dapat mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA. Upaya pemilahan sampah harus berjalan bersama dengan upaya mereduksi sampah karena semakin banyak sampah semakin sulit mengolahnya. Smart appliances seperti sampah pintar hanya mampu membantu proses pengolahan, namun tidak dapat mengurangi volume sampah. Volume sampah hanya dapat dikurangi dengan merubah gaya hidup konsumtif menjadi zero waste lifestyle. Edukasi merupakan salah satu cara untuk merubah gaya hidup manusia dalam jangka waktu panjang. Namun pemerintah dapat mempercepat perubahan gaya hidup dengan menerapkan kebijakan- kebijakan tertentu. Contohnya kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta yang melarang penggunaan kantong plastik di supermarket dan restoran telah menciptakan kebiasaan baru bagi masyarakat yaitu membawa tas belanja kemanapun mereka pergi. Kebiasaan ini dapat mengurangi timbulan sampah plastic di Jakarta. Untuk mereduksi sampah, pemerintah dapat membuat kebijakan terkait retribusi pengangkutan sampah. Retribusi sampah dihitung berdasarkan volume sampah yang dari tiap rumah tangga sehingga semakin banyak sampah yang dibuang, semakin besar retribusi yang harus dibayarkan. Dengan kebijakan ini diharapkan rumah tangga sebagai produsen sampah turut bertanggungjawab terhadap jumlah sampah yang dihasilkan. Kebijakan ini dipertimbangkan mampu mendorong terbentuknya zero waste lifestyle karena rumah tangga akan berusaha meminimalka biaya retribusi sampah dengan mereduksi jumlah sampah. Selain pemerintah, zero waste lifestyle juga dapat ditularkan oleh tokoh masyarakat atau dalam bahasa kekinian disebut dengan influencer. Mengingat peran social media di era 4.0 sangat kuat influencer social media dapat dengan cepat menularkan gaya hidup zero waste kepada followersnya. Beberapa influencer seperti @suarasampah, @waste4change telah memberikan contoh nyata tentang aktivitas sehari hari yang dapat dilakukan untuk mereduksi sampah rumah tangga dan secara tidak langsung telah mengedukasi masyarakat dalam membangun zero waste lifestyle. Mari kita budayakan memilah sampah dan gaya hidup zero waste agar bumi tempat kita bernafas tetap lestari dan kekayaan alam dapat selalu kita nikmati.