Dian Nugraha Ramdani Pekebun di Program Petani Milenial Jawa Barat 0shares Ketika Hutan Dianggap Sebatas Kumpulan Daun Hijau Read More Sungai Citarum pernah dinobatkan sebagai sungai terkotor di dunia, meski klaim baru-baru ini oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengungkapkan hasil penelitian bahwa kualitas air Citarum meningkat, dari semula pada tahun 2018 tercemar berat, kini hanya tercemar ringan. Tetapi, apakah kondisi sungai seutuhnya sama? Sungai Citarum yang panjangnya 297 kilometer sejak Situ Cisanti di Kabupaten Bandung hingga Muara Gembong di Bekasi memiliki kualitas air yang berbeda-beda. Penyebabnya tentu saja faktor-faktor pencemaran di setiap daerah yang berbeda-beda pula. Setiap area tangkapan air yang kemudian airnya tumpah ke sungai kecil yang menjadi daerah aliran sugai (DAS) Citarum, akan mengalirkan air dengan volume dan kualitas yang beragam. Area tangkapan air selalu seperti berbentuk baskom, bukan hanya area di bantaran sungai. Melalui dinding-dinding baskom alam itu, air hujan mengalir. Ada yang mengalir jatuh langsung ke sungai, sebagian pula diserap terlebih dahulu oleh tanah untuk kemudian dialirkan kembali ke sungai. Dengan kenyataan demikian, setiap daerah sudah pasti menyumbangkan air yang tak seragam kepada sungai Citarum, sebab persoalan DAS sendiri di kawasan pedesaan, akan berbeda dengan di perkotaan. DAS menjadi sangat penting untuk direvitalisasi agar pasokan air ke sungai Citarum tetap terjaga, baik kualitas maupun volumenya. Program Citarum Harum yang diatur di dalam peraturan presiden nomor 15 tahun 2018 tentang percepatan pengendalian pencemaran dan kerusakan daerah aliran sungai Citarum, sudah menyasar pemulihan DAS, pemulihan kawasan hulu, dan mengupayakan agar sungai Citarum menjadi serambi rumah, bukan bagian belakang dan terbelakang dari peradaban warga Jawa Barat. Di desa-desa, mulai dibangun tempat pengolahan sampah reuse, reduce, recycle (TPS3R). Ini bertujuan agar daerah tangkapan air bersih dari sampah. Dengan sampah plastik tidak ada yang terserak, air hujan tidak akan menghanyutkan apapun hingga sampai di sungai. Di TPS3R, sampah dipilah untuk didaur ulang, sampah organik dimanfaatkan untuk mengembangkan penangkaran maggot, meski di sejumlah desa yang TPS3R-nya selesai dibangun dan dioperasikan, sampah yang tidak terkelola tetap dibuang dengan diangkut ke tempat pembuangan sampah akhir. Pemerintah sudah bertindak benar, meski kita tahu penanganan Citarum hanya program yang terus berganti nama, dan sungai itu tetap kotor. Air sungai hanya bisa jadi air baku untuk konsumsi warga, namun tetap tidak bisa diminum langsung. Kita apresiasi upaya para pemimpin itu. Tetapi, apa bentuk apresiasi kita? Tampaknya, tugas kita saat ini adalah sadar dan menyebarkan kesadaran akan pentingnya menjaga DAS Citarum. DAS biasanya berupa punggungan bukit atau gunung, yang sisinya menghadap ke sungai. Sehingga, ketika hujan turun, air tertangkap oleh sisi ini untuk kemudian masuk ke badan sungai. Sungai yang kualitas airnya bagus, bisa dipakai untuk kebutuhan hidup manusia. Pun jika volumenya tidak berlebihan, air sungai tidak meluap menjadi banjir. Kondisi ini menjadi ukuran bahwa daerah tangkapan air atau DAS dalam keadaan baik. Sebaliknya, jika air keruh kental penuh sedimen, apalagi bau limbah, dan banjir, bisa terbayangkan bahwa daerah tangkapan air sangat buruk. Mungkin pepohonannya kurang, atau masih banyak masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Bagaimana kita menyebarkan kesadaran terhadap permasalahan DAS ini? Pada sebuah diskusi di Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) di Kabupaten Bandung, 1 April 2021, yang menghadirkan Dudi Achadiat, mantan peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Air (Pussair) dan Nundang Rundagi, budayawan, sebagai pembicara, mencuat sebuah cara: dongeng. Dongeng dalam upaya pemulihan sungai Citarum diposisikan sebagai daya analisa setiap orang yang tinggal di daerah-daerah aliran sungai terhadap permasalahan sungai. Barangkali, alasan sungai menjadi kotor dan menyumbang kekotoran yang lebih besar, karena masyarakat abai terhadap dongeng tentang kehebatan dan manfaat sungai. Padahal, di banyak kisah, baik di zaman kerajaan maupun zaman penjajahan, fungsi sungai sangat vital. Telur ayam dan bayi Ciung Wanara dalam cerita rakyat Jawa Barat dihanyut-selamatkan di sungai. Hasil panen kopi dikirimkan dari Priangan ke Batavia melalui sungai. Keranjang bayi Nabi Musa ditemukan mengambang pun di sungai. Sungai adalah sarana perjalanan yang kontemplatif untuk sampai pada sebuah tujuan dalam keadaan selamat. Tentang kesucian air, para penulis di bidang hukum Islam selalu menempatkan tema ini di halaman pertama kitab-kitab fiqih. Bahwa di muara, tempat semua perjalanan berujung, kita semestinya disambut oleh tawa renyah ombak, bukan cemberut penghuni laut. Menjadi kewajiban orkang tua untuk berdongeng kepada anak-anak mereka. Para pendongeng tidak perlu segan untuk membicarakan kondisi yang kini terjadi. Jika kondisinya rusak, kisahkanlah bahwa sungai rusak, agar generasi pendengar dongeng mengerti dan berfikir untuk merubah perilaku supaya kerusakan tidak bertambah parah. Lebih jauh, tentu saja yang diharapkan adalah tumbuhnya perilaku merawat. Di dalam Encyclopedia Britannica (2015), dijelaskan, dongeng selalu melibatkan unsur dan kejadian luar biasa. Meski, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) dongeng diartikan sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi. Ruh di dalam upaya ini bukan soal definisi dongeng. Tetapi, fungsi dan cara menyampaikan kisah. Generasi muda akan begitu tertarik jika ada orang tua di kampung-kampung atau di wilayah kota yang menjadi DAS Citarum berdongeng tentang air sungai yang jernih dan masa kanak-kanak yang gembira saat mandi di sungai, yang kini, kegembiraan itu memang betul-betul tinggal dongeng. Keterpikatan anak muda terhadap dongeng tentang sungai ini menjadi modal utama menyebarkan kesadaran menjaga sungai di mana pun. Terutama menjaga Citarum yang menjadi pekerjaan rumah panjang bagi masyarakat Jawa Barat. Jika dihitung, sejak situ Cisanti hingga danau Saguling saja, ada sebanyak 77 sungai yang airnya mengalir langsung ke Citarum. Apalagi jika dihitung teliti hingga muara, yang liuk sungai Citarum ini melintasi 13 Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Jika di masing-masing area 77 sungai itu terdapat orangtua-orangtua yang gigih berdongeng tentang gagahnya sungai yang bersih, dan terus mengupayakan solusi pemulihan di tingkat dan skala paling kecil: komunitas dongeng, betapa banyak generasi penerusnya yang sadar dan tercerahkan. Pekerjaan ini memang akan berlangsung lama, bahkan tanpa batas waktu. Tidak seperti program pemulihan Citarum yang dilaksanakan dengan batas waktu tertentu. Namun, akibat dari upaya menularkan kesadaran melalui dongeng ini akan terasa abadi, apalagi jika dongeng dan aktivitas mendongeng terus dirawat. Setiap generasi berbuat untuk menjaga lingkungan, dan mengisahkan lagi semangat serupa ke generasi selanjutnya. Terus menerus demikian. Dengan begitu, nanti, ada atau tidak ada program normalisasi sungai, sungai akan tetap normal. Rumah Dongeng Dari mana kita mulai berdongeng? Kita sejak kecil sangat betah berada di langgar atau musala. Karena ukurannya yang khas: kecil, aktivitas masa kecil kita begitu hangat. Penuh dengan semangat berdongeng. Bukan hanya berkumpul tidak jelas kegiatan, anak-anak di sekitar musala kerap mengembangkan kreativitas mereka dengan membuat sejumlah mainan entah dari bambu atau pelepah pisang, mengasah kecerdasan mereka dalam memecahkan masalah dengan mengikuti permainan seperti galah asin, serta berinteraksi dengan anak-anak seusia mereka dengan menjalin pertemanan. Seusai salat dan mengaji, anak-anak di musala selalu ramai. Kadang kala di perkampungan, para lelaki dewasa juga tak buru-buru beranjak dari musala meski salat telah ditunaikan. Musala sebagai pusat komunitas masyarakat yang tak lekang oleh waktu, mesti dimanfaatkan untuk mendongengkan semua hal tentang sungai Citarum. Tentu yang menjadi pusat cerita adalah anak sungai yang terdekat dari mushala. Dari musala, dongeng-dongeng bisa merambat ke teras-teras rumah, diperbincangkan di warung-warung kopi, dan didongengkan oleh para ibu saat berbelanja sayuran. Jika sudah sedemikian ramai, dongeng berarti sudah punya rumah di hati setiap orang: setiap warga kampung dan warga kota. Kita, tinggal menunggu akibat baik yang datang dari dongeng-dongeng itu.