fbpx
Dokumentasi Pribadi

Membuka Celah Inklusivitas bagi Difabel dalam Ketidakidealan Sistem Transportasi Publik

Jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia, jelas bahwa Jakarta, yang sampai saat ini masih menjadi ibukota dan pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia, tentunya memiliki sistem transportasi publik terbaik, ternyaman, terintegrasi, termodern, dan segala “ter-ter-ter” lainnya. Memiliki 10 juta penduduk (belum ditambah dengan pekerja metropolitan Jabodetabek yang hilir mudik ke Jakarta setiap harinya), sudah sepantasnya menjadi kewajiban pemerintah untuk membangun sistem transportasi yang melayani pusat kota melintang hingga kawasan pinggir kota dan kota/kabupaten lain yang bersebelahan. Ketersediaan Transjakarta, KRL Komuter, MRT, LRT, dan Mikrotrans ini perlu diapresiasi dan dirayakan, karena walaupun hal ini adalah “bare minimum” bagi wilayah perkotaan besar, namun Jakarta adalah hanya salah satu dari sedikit kota di Indonesia yang telah memiliki skena transportasi publik yang cukup matang. Dengan cakupan lebih dari 96% wilayah Jakarta dan telah memulai beberapa inisiatif terbarukan, transportasi publik Jakarta benar-benar layak menyabet gelar Sustainable Transportation Award, yang menempatkan Jakarta sejajar dengan kota-kota teladan di dunia, seperti Singapura, London, Paris, dan San Fransisco.

 

Dengan segala pencapaian ini, apakah Jakarta dapat disebut sukses dalam melayani masyarakatnya untuk bepergian? Apabila dilihat dari dimensi ketersediaan, keterjangkauan, dan keterhubungan, transportasi Jakarta sudah cukup berhasil bagi masyarakat umum untuk berkomute. Namun apabila ketiga dimensi ini digali lebih lanjut dari sisi inklusivitasnya, pertanyaan yang akan muncul adalah “Apakah kesuksesan ini juga telah dinikmati secara adil oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk kelompok marginal seperti penyandang disabilitas (difabel)?” atau lebih lanjut “Apakah Jakarta telah menyediakan ruang yang ideal bagi para difabel untuk bepergian menggunakan transportasi publik?”. Tulisan ini mencoba menjawab 2 pertanyaan tersebut dengan analisis sederhana berdasarkan melihat kondisi eksisting dari seluruh moda transportasi publik di Jakarta.

 

Tabel 1. Perbandingan Tingkat Inklusivitas Moda Transportasi Publik Jakarta terhadap Difabel

Dimensi/ Moda

Transjakarta

KRL Komuter

MRT/LRT

Mikrotrans

Sarana (Bus/ Kereta)

Memiliki kursi prioritas yang dapat digunakan oleh difabel. Beberapa kursi prioritas dapat ditegakkan sehingga dapat menjadi ruang bagi difabel dengan kursi roda

Lantai bus sejajar dengan lantai halte walau gapnya masih besar

Memiliki kursi prioritas yang dapat digunakan oleh difabel. Di ujung gerbong, terdapat ruang khusus dengan penanda dapat ditempati oleh difabel atau pengguna kursi roda.

Lantai bus sejajar dengan lantai halte walau gapnya masih besar. Namun, di beberapa stasiun (Stasiun Kota dan Tanjung Priok), pijakan keluar kereta berupa tangga yang berpotensi menyulitkan difabel dengan kursi roda berpindah)

Desain pintu masuk bus Mikrotrans yang tidak sejajar jalan/trotoar sehingga sulit dimasuki difabel dengan kursi roda.

Memiliki kursi prioritas (di samping supir)

Prasarana (Halte/ Stasiun)

Walaupun tidak sedikit halte yang hanya menyediakan tangga, namun banyak halte yang menggunakan desain ramp yang memudahkan difabel untuk bergerak.

Namun, banyak ramp juga yang berjarak hingga 500 meter (Halte Semanggi, Cempaka Mas, dan Jatinegara) dan terlalu curam yang tidak memungkinkan difabel dengan kursi roda berpindah secara mandiri.

Petugas hanya tersedia di dalam halte, sehingga difabel berpotensi kesulitan untuk memasuki halte, apalagi dengan ramp yang sangat jauh.

Pintu masuk stasiun yang memiliki desain ramp.

Petugas tersedia di pintu masuk/keluar hingga di dalam stasiun yang dapat membantu difabel.

.

Untuk berpindah peron atau keluar stasiun, terdapat fasilitas eskalator, walau dikabarkan sering sering rusak (Stasiun Manggarai, Cakung, dan Bekasi)

Tersedia taktil untuk memudahkan difabel netra berjalan.

Terdapat toilet disabilitas di beberapa stasiun.

Terdapat fasilitas eskalator untuk masuk/keluar stasiun.

Petugas tersedia di pintu masuk/keluar hingga di dalam stasiun yang dapat membantu difabel.

Tersedia taktil untuk memudahkan difabel netra berjalan.

Terdapat toilet disabilitas di seluruh stasiun.

Tidak ada petugas.

Beberapa halte berada di area trotoar, namun banyak halte yang berada di area jalan tanpa trotoar dan tanpa taktil sehingga kurang ramah bagi difabel netra dan difabel dengan kursi roda.

Alat Komunikasi

Layanan TransJakarta Cares yang dapat diakses melalui Whatsapp dan aplikasi Tije.

Terdapat kontak Whatsapp  “Pusat Informasi Disabilitas PT KCI” untuk bertanya dan meminta bantuan dalam perjalanan bagi difabel.

Beberapa Stasiun MRT memiliki DINA (Digital Assistant Technology) untuk menghubungi petugas dan mendapat informasi atau pendampingan bagi difabel dan penumpang lainnya.

Tidak ada informasi

 

Dari analisis kondisi eksisting di atas, jelas dapat dilihat bahwa sudah terdapat upaya dan usaha dari institusi penyedia transportasi publik untuk menyediakan berbagai fasilitas untuk membantu difabel. Adanya kursi prioritas atau ruang khusus bagi difabel di kereta/bus, toilet khusus, petugas yang senantiasa memberikan pendampingan difabel, dan alat/layanan komunikasi untuk meminta informasi atau pendampingan.

 

Usaha-usaha yang sudah sangat baik ini perlu diapresiasi, walaupun masih banyak ruang untuk perbaikan. Beberapa gap yang masih ditemukan di lapangan adalah desain halte/stasiun dan pijakan menuju peron stasiun masih berupa tangga yang masih belum memungkinkan untuk dilalui difabel secara mandiri, fasilitas pendukung stasiun seperti eskalator dan toilet disabilitas yang acapkali belum berfungsi dengan baik dan belum tersedia pada seluruh stasiun, alat komunikasi pendamping difabel masih silo dan belum terintegrasi, serta masalah-masalah lainnya yang belum tergambarkan pada analisis.

 

Untuk mencapai kondisi ideal, sesungguhnya pemerintah bersama dengan institusi penyedia layanan transportasi publik perlu mengubah dan memperbaiki desain dan sistem infrastruktur halte/stasiun atau kereta/bus secara sistemik. Mengacu pada Kajian Disability Inclusive Public Transport yang dikeluarkan oleh Transformative Urban Mobility Initiative, terdapat beberapa rekomendasi praktikal untuk mendorong transportasi publik yang lebih ramah difabel:

  1. Trotoar atau lantai halte/stasiun mulus dengan taktil dan tanpa penghalang 
  2. Adanya tempat beristirahat (resting places) di halte/stasiun dan bus/kereta
  3. Adanya ramp menuju pintu masuk kendaraan
  4. Adanya penunjuk arah & papan informasi yang jelas
  5. Lantai halte/stasiun dan lantai bus/kereta yang minim gap dan memiliki tinggi yang sama
  6. Warna kontras untuk beberapa elemen di halte/stasiun dan bus/kereta
  7. Staf yang dapat senantiasa memberikan pendampingan bagi difabel

 

Dibutuhkan political will dari setiap stakeholder transportasi publik dan sumber pendanaan yang mumpuni untuk dapat mengimplementasi seluruh rekomendasi di atas dan menciptakan sistem transportasi publik yang 100% inklusif. Stakeholder yang akan terlibat bukan hanya dari institusi penyedia layanan transportasi publik saja, namun juga badan-badan agensi pemerintahan seperti: Dinas Pekerjaan Umum Jakarta, Dinas Perhubungan DKI Jakarta, dan lainnya. Dari sisi pembiayaan, mungkin masih beberapa dekade ke depan bagi Jakarta untuk mengimplementasi seluruh rekomendasi tersebut karena transportasi publik Jakarta saat ini masih belum memiliki model bisnis yang dapat mandiri tanpa gelontoran dana bantuan pemerintah daerah. Dengan segala keterbatasan dan ketidakidealan sistem transportasi publik, seluruh pihak yang berkepentingan wajib untuk selalu mendorong inklusivitas dalam transportasi publik di Jakarta. Celah-celah inklusivitas perlu digali dan dibuka untuk dapat memberikan pengalaman yang terus lebih menyenangkan bagi difabel dalam menggunakan layanan transportasi publik di Jakarta, walaupun solusi jangka panjang harus tetap menjadi perhatian bagi seluruh stakeholder utama. Aksi warga bantu warga juga dipertimbangkan dalam inisiatif untuk mengisi keterbatasan petugas yang bekerja. 

 

Terdapat 2 solusi alternatif yang dapat diterapkan untuk menjawab permasalahan inklusivitas dan keterbatasan sumber daya dalam mengupayakan inklusivitas pada transportasi publik:

  1. Mikrotrans khusus bagi difabel dan kaum marginal lainnya seperti: lansia dan ibu hamil yang dapat menjadi moda first/last mile atau transit antar moda. Mikrotrans ini dapat ditempatkan secara merata pada seluruh wilayah DKI Jakarta untuk membantu difabel menuju halte/stasiun dari rumah, dan begitu sebaliknya. Adanya inisiatif ini menjadi menunjukkan keberpihakan Jakarta terhadap kelompok-kelompok rentan yang memiliki keterbatasan dalam bepergian.
  2. Integrated Public Transportation Cares Platform sebagai wadah pemberian layanan informasi dan pendampingan tunggal bagi difabel dalam menggunakan seluruh moda transportasi publik. Wadah ini dapat diakses melalui 2 pintu masuk: yaitu kontak Whatsapp/SMS/Telepon dengan 1 nomor dan Aplikasi JakDifabel (atau dapat berupa fitur JakDifabel yang terintegrasi dengan JAKI). Layanan ini dapat menjadi layanan satu pintu untuk memberikan informasi berupa Chat / VideoCall kepada difabel terkait sistem transportasi publik: seperti rute, biaya, dll. Selain itu, layanan ini dapat juga menghubungkan difabel dengan petugas halte/stasiun/bus/kereta untuk dapat mendampingi difabel dari pintu masuk halte/stasiun, memasuki bus/kereta, hingga keluar halte/stasiun dan memanggil Mikrotrans khusus Difabel.

 

Apabila seorang difabel memasuki halte/stasiun, maka ia dapat menggunakan aplikasi tersebut untuk memberikan informasi kedatangan yang akan dihubungkan kepada petugas terkait. Petugas yang bekerja dapat segera ternotifikasi sehingga dapat memberikan pelayanan khusus kepada mereka. Petugas juga dapat dilatih untuk memiliki kemampuan dalam mengikutsertakan atau mengajak masyarakat umum untuk melakukan pendampingan apabila jumlah petugas masih minim dan terbatas. Terakhir, platform ini juga dapat menjadi pelayanan kritik terhadap inklusivitas sebagai bentuk partisipasi langsung oleh difabel.

 

Dua inisiatif ini sudah seharusnya menjadi komitmen Jakarta dalam mengimplementasi poin inklusivitas pada kerangka Pemerintahan yang Baik dan poin 11 Kota dan Permukiman Inklusif, Aman, dan Berkelanjutan pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dari WHO. Inisiatif-inisiatif ini diharapkan mampu menjadi quick wins dan dapat meningkatkan semangat inklusivitas pada seluruh stakeholders transportasi publik dan mempersiapkan inisiatif-inisiatif yang lebih condong dalam peningkatan inklusivitas secara sistemik.

 

Melalui inisiatif-inisiatif ini pula, Jakarta dapat memperlihatkan bahwa semua kelompok masyarakat, tanpa terkecuali, memiliki hak untuk mengakses transportasi publik yang memadai. Tidak boleh ada satupun warga yang dirampas atau dikerdilkan haknya dalam bepergian ke kantor untuk bekerja atau ke taman kota untuk rehat dengan menggunakan transportasi publik. Hal ini akan menjadi semangat yang dapat disaksikan langsung oleh anak-anak hingga remaja yang penerima tongkat estafet pembangunan di masa depan, dan tentunya, calon-calon pemimpin kota tersebut dapat semakin berempati untuk mendorong kota yang ramah difabel pada seluruh infrastruktur atau layanan kota lainnya.