Rizky Citra Anugerah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 0shares Pendidikan Inklusif untuk Semua: Kepemimpinan dalam Mengatasi Hambatan Struktural dan Mencapai Ekonomi Berkelanjutan Read More Ekstremisme, Dahulu dan Sekarang Tidak seperti kebencian yang diinternalisasi para ekstremis, sesungguhnya ekstremisme itu sendiri tidak diskriminatif. Ekstremisme tidak membeda-bedakan agama, gender, usia, atau kebangsaan. Ekstremisme melihat semuanya sebagai setara. Ekstremisme memandang semua dari kita sebagai mangsa yang sama-sama rentan terhadap kebencian, prasangka, dan permusuhan. Inilah sisi paling berbahaya dari ekstremisme. Meskipun tak kasat mata, dampaknya sangatlah nyata. Perilaku ekstremis dari manusia dapat berakar dari aspek ideologis, ekonomis, atau politis. Meskipun dapat dibagi menjadi ketiga aspek tersebut, tindakan ekstremisme berakar dari satu keadaan yang sama, yaitu ketakutan yang berlebihan. Perasaan bahwa seluruh dunia sedang bersatu untuk menghancurkan diri atau kelompoknya menyebabkan pelaku ekstremisme melakukan segala hal yang dapat dilakukannya untuk melawan usaha penghancuran tersebut. Pada kenyataannya, usaha penghancuran tersebut seringkali tidak benar-benar ada. Contoh yang umum dikenal adalah mitos yang dinarasikan oleh Nazi mengenai superioritas Bangsa Arya dan kebenciannya terhadap Bangsa Yahudi. Antisemitisme lahir atas dasar ilusi adanya sebuah rencana yang dilakukan oleh Bangsa Yahudi untuk menggagalkan misi dari Bangsa Arya. Disebabkan oleh hal tersebut, Nazi melakukan Genosida Holocaust dengan sebuah pedoman bersama: rasa takut yang tidak masuk akal terhadap Bangsa Yahudi. Di era modern, perkembangan ilmu pengetahuan memberitahu kita bahwa ketakutan irasional yang dapat melahirkan ekstremisme bersifat sistematis dan dapat dibenahi. Pada kasus Nazi, Voigtländer dan Voth (2015) menyatakan bahwa opini dan sikap publik Jerman Nazi terhadap Bangsa Yahudi dibentuk melalui serangkaian intervensi kebijakan publik. Pandangan Antisemitis ditanamkan dengan sangat efektif melalui kegiatan intrakurikuler di sekolah, kegiatan ekstrakurikuler seperti Hitler Youth, serta melalui radio, media cetak, dan perfilman. Melihat yang Tak Kasat Kejadian tersebut seharusnya membuka mata kita terhadap beberapa hal. Yang pertama, bahwa kaum muda adalah kelompok yang sangat rentan terhadap pengaruh ekstremisme. Tingginya efektivitas pendidikan dalam menginkorporasikan nilai-nilai tertentu ke dalam pola pikir peserta didik menjadikan pendidikan sebagai ladang yang ranum untuk disalahgunakan oleh pihak tertentu. Kemungkinan ini diperparah oleh kecenderungan remaja untuk memiliki karakteristik yang mendukung tindakan ekstremisme. Vygotskii dalam Davydov (2015) menjelaskan mengenai karakteristik “the dominant of effort” yang dimiliki remaja dapat mendorongnya untuk melakukan perlawanan terhadap otoritas pendidikan dan asuhan karena keinginannya yang tinggi untuk mencari risiko, petualangan, dan heroisme sosial. Kedua, kejadian-kejadian ini memberitahu kita mengenai peran substantif kebijakan publik dan pemangku kepentingan dalam memberikan ruang terhadap ekstremisme. Sekelompok orang dapat menentukan pemikiran dari sebuah generasi cukup melalui penebaran rasa takut yang sistematis. Kebijakan publik yang dibuat di Jerman pada tahun 1933 hingga 1945 masih sangat mempengaruhi banyak orang. Dalam penelitian “Nazi indoctrination and anti-Semitic beliefs in Germany”, Voigtländer dan Voth juga menjelaskan bahwa Bangsa Jerman yang tumbuh besar di bawah kepemimpinan Nazi memiliki kecenderungan antisemitisme yang lebih tinggi daripada generasi yang datang sebelum dan sesudahnya, bahkan hingga saat ini. Seiring berkembangnya ruang sipil dan partisipasi demokrasi publik di Indonesia, kebijakan publik yang secara eksplisit bersifat diskriminatif dapat dengan mudah diketahui dan ditentang oleh masyarakat. Namun, kita harus mengingat bahwa kebijakan yang memberikan ruang terhadap ekstremisme tidak selalu disengaja. Institusi-institusi pendidikan di Indonesia, baik yang berbasis keagamaan atau tidak, telah memiliki kerangka-kerangka tertentu untuk mencegah tumbuhnya ekstremisme pada kaum muda. Pemerintah telah gencar dalam menanamkan pandangan keagamaan pluralis yang apresiatif terhadap segala bentuk perbedaan dalam masyarakat Indonesia. Remaja di Indonesia tumbuh besar dengan pendidikan mengenai kewarganegaraan, keberagaman, dan toleransi melalui berbagai kesempatan yang diberikan oleh kebijakan publik yang sedang berlaku. Namun, tak ada gading yang tak retak. Afrianty (2012) di dalam Journal of Policing menyebutkan bahwa lima puluh persen siswa Sekolah Menengah Atas setuju terhadap penggunaan kekerasan atas nama agama. Penelitian yang digunakannya juga menyebutkan bahwa guru-guru yang ada di sekolah memiliki pandangan yang serupa. Survei tersebut menjelaskan bahwa pandangan ekstremisme keagamaan pada guru dan siswa tidak didorong oleh instruksi yang berasal dari sekolah, tetapi oleh informasi yang didiseminasikan melalui media sosial di Internet dan interaksi sosial secara keseluruhan. Cela yang hadir secara tidak sengaja dalam kebijakan publik seperti inilah yang patut menjadi perhatian kita bersama. Mudah bagi kita untuk melihat apa yang telah ada, tetapi sulit untuk menyadari apa yang seharusnya ada. Kebijakan publik tidak hanya harus menyebarkan nilai-nilai kecintaan terhadap keberagaman, tetapi juga seharusnya dapat mencegah penetrasi nilai-nilai yang bertentangan. Meskipun ekstremisme dapat dilahirkan oleh ketidaksengajaan, perlawanan terhadap ekstremisme hanya dapat tumbuh melalui kesengajaan. Sebagai mangsa utama dari ekstremisme, pemuda sudah seharusnya bersikap proaktif dalam memecahkan permasalahan ini. Ghosh et al. (2016) berpendapat bahwa pendidikan merupakan salah satu alat yang efektif untuk membangun resiliensi psikologis, emosional, dan intelektual terhadap soft power yang dimiliki oleh fundamentalisme, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Melalui pernyataan tersebut, terdapat tiga hal yang dapat disimpulkan. Pertama, pemuda harus dapat mendorong perbaikan kualitas dan aksesibilitas sesama kaum muda terhadap pendidikan. Semakin meningkatnya akses yang dimiliki seluruh pemuda dan pemudi di Indonesia terhadap pendidikan, semakin mudah juga bagi kita untuk bahu-membahu menghapus jejak ekstremisme. Resolusi ini dapat diwujudkan dengan berbagai cara, seperti melakukan kegiatan kerelawanan bagi pemuda lain yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan atau dengan aktif berperan langsung terhadap usaha penghapusan stigma mengenai pendidikan formal. Perempuan merupakan salah satu kelompok yang seringkali menghadapi penolakan akses terhadap pendidikan, baik secara struktural maupun kultural. Oleh karena itu, penting bagi pemuda untuk memperhatikan aspek-aspek kesetaraan dalam mewujudkan resolusi ini. Berbagai kerangka dan fasilitas yang diberikan oleh banyak lembaga dalam rangka mewujudkan SDG 4 mengenai Pendidikan yang Berkualitas dan SDG 5 mengenai Kesetaraan Gender dapat dimanfaatkan oleh pemuda untuk menghilangkan hambatan pendidikan yang ada. Kedua, pemuda harus dapat mendorong reformasi pendidikan yang mencegah penetrasi pandangan ekstremis. Pemuda harus secara aktif terlibat dalam pembentukan kebijakan publik, khususnya di bidang pendidikan, untuk tidak hanya menciptakan sistem pendidikan di Indonesia yang mempromosikan toleransi, tetapi juga secara tegas menentang nilai-nilai ekstremisme. Hal ini telah sesuai dengan salah satu poin yang diusung pada Joint Communiqué Youth for SDGs Summit 2022 tentang Kaum Muda dan Aksi Melawan Gerakan Ekstremisme yang menyebutkan mengenai “Edukasi pengajar dan pembentukan nilai-nilai perdamaian untuk institusi pendidikan inklusi dan non-inklusi berbasis formal maupun non-formal.” Ketiga, pemuda harus berperan aktif dalam menciptakan pola pikir lingkungan pendidikan yang optimis mengenai masa depan dunia. Telah disebutkan bahwa salah satu faktor yang mendorong gejala ekstremisme adalah rasa takut. Pemuda dapat mengalihkan pandangan yang negatif mengenai masa depan dunia dengan turun tangan secara langsung terhadap usaha-usaha yang dapat mengamankan masa depan kita semua. Climate anxiety, misalnya, dapat diminimalisir dengan keterlibatan langsung terhadap kegiatan-kegiatan penyelamatan lingkungan di sekolah maupun di komunitas lokal. Keterlibatan seperti ini dapat menurunkan kecemasan dan ketakutan kolektif dengan menyadarkan kita bahwa masa depan dunia berada di bawah kendali bersama. Kolaborasi, Sekarang dan Nanti Meskipun pemuda merupakan aktor utama dalam laga penghapusan jejak ekstremisme ini, kolaborasi antar generasi tetap diperlukan. Substansi dari besarnya peran dan tanggung jawab pemuda dalam mencegah ekstremisme tidak dapat mengesampingkan pengalaman dan perspektif yang datang dari generasi sebelumnya. Pemuda patut untuk berkolaborasi dengan seluruh komponen masyarakat yang ada untuk bersama-sama menolak gejala ekstremisme. Tokoh-tokoh politik, adat, dan keagamaan perlu pemuda bersamai selagi pemuda berusaha membenahi sesama. Pelibatan berbagai generasi dalam usaha ini akan mempermudah kita mencapai poin-poin yang ada di dalam SDG 16 mengenai Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh. Selain perubahan secara masif dengan skala struktural, pemuda juga dapat mencegah ekstremisme melalui sikap dan pandangan dalam kehidupan sehari-hari yang akan memutus rantai diskriminasi dan intoleransi. Seperti yang telah disebutkan oleh Voigtländer dan Voth, pandangan ekstremisme dapat tetap hidup meskipun telah melalui waktu yang lama. Maka dari itu, penting bagi pemuda untuk membuka mata terhadap perilaku-perilaku turunan dari generasi sebelumnya yang dapat memupuk tumbuhnya sikap ekstrem. Berbuat baik terhadap sesama terlepas dari latar belakang, berhati-hati dalam berbicara mengenai individu atau kelompok lain, dan berusaha untuk memahami ketika menghadapi perlakuan yang kurang menyenangkan dapat menjauhkan pemuda dari prasangka dan permusuhan. Nilai-nilai dan cara pandang hidup seperti inilah yang patut untuk dirawat dan dijadikan sebagai langkah awal bersama untuk memerangi ekstremisme. Meskipun melawan gerakan ekstremisme sebagai salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah usaha global, upaya ini dimulai dari diri kita sebagai seorang pribadi. Benang demi benang kebaikan dan keterbukaan terhadap perbedaan yang kita rajut bersama adalah modal utama kita dalam mewujudkan masa depan perdamaian dunia yang terikat dalam satu kain persaudaraan – jauh dari ekstremisme. Daftar Pustaka Afrianty, D. (2012). Islamic education and youth extremism in Indonesia. Journal of Policing, Intelligence and Counter Terrorism, 7(2), 134–146. Davydov, D.G. (2015). The Causes of Youth Extremism and Ways to Prevent It in the Educational Environment. Russian Social Science Review, 56(5), 51–64. Ghosh, R., Chan, W. Y. A., Manuel, A., & Dilimulati, M. (2016). Can education counter violent religious extremism? Canadian Foreign Policy Journal, 23(2), 117–133. Voigtländer, N., & Voth, H. J. (2015). Nazi indoctrination and anti-Semitic beliefs in Germany. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112 (26), 7931-7936. Weak Institutions, Gender Inequality Creating Environment Ripe for Extremism in Africa, Deputy Secretary-General Tells Security Council | Meetings Coverage and Press Releases. (2018). Un.org. https://www.un.org/press/en/2018/sc13414.doc.htm
Pendidikan Inklusif untuk Semua: Kepemimpinan dalam Mengatasi Hambatan Struktural dan Mencapai Ekonomi Berkelanjutan Read More