fbpx

Membangun Ulang Pendidikan di Indonesia

Dulu di lingkungan citra antara SMA dan SMK bisa dibilang tidak imbang. Jika mau berhasil, maka pilihlah SMA. Saat SMA pilihlah jurusan IPA jangan jurusan IPS karena nanti susah mendapat kerja.

Jika kamu sekolah di SMA, maka peluang besar untuk kuliah sangat besar dan bisa dibilang peluang “sukses” lebih besar. Walaupun sampai saat ini saya pun masih bertanya-tanya sukses sesukses apa yang dimaksud orang-orang pada zaman itu?

Saya pun mengikuti alur berharap bisa cepat sukses. Minimal bergaji diatas UMR Jakarta, misalnya. Namun kenyataanya cobaan demi cobaan harus ditaklukkan, mulai dari maksimal umur sekian, minimal punya pengalaman di bidang ini sekian tahun, mampu menguasai sofware ini dan itu, dan juga minimal memiliki sertifikat yang harganya bagi kaum kaya nggak miskin juga nggak adalah tetap butuh dompet tebal. Mungkin saya cukup gegar budaya. Ternyata begini ya melamar kerja prosesnya. Modalnya nggak bisa modal ijazah loh. Orang pikir lulus kuliah-lamar kerja-keterima kerja-beres, nyatanya butuh jalan yang panjang. Untuk mengumpulkan sertifikat keahlian, sertifikat bahasa, dan pengalaman, tetap butuh uang untuk menuju kesana. Contohnya mau mengikuti tes TOEFL. Anda semua tahu harga TOEFL itu berapa: 3 juta+. Untuk ke tempat tes pasti perlu transportasi dan bekal,dong. Itu artinya uang 3 juta belum cukup untuk mendapatkan satu sertifikat. Padahal ada beberapa sertifikat dan magang yang mana pasti butuh modal, contohnya kos, transport, makan, dan gear untuk melakukan magang.

Saya pikir-pikir jika begini, tak ayal banyak warga kurang mampu lebih memilih sekolah sekenanya saja, setelah itu mendaftar jadi PMI (Pekerja Migran Indonesia) sebagai buruh.

Kan ada beasiswa, ada bantuan, masa’ ngeles? Betul ada beasiswa dan ada bantuan. Namun logika saja dengan jumlah siswa sekolah sekian juta, tentu pemerintah belum bisa meng-cover. Bahkan dengar-dengar di lapangan ada yang tidak mampu, malah tidak mendapatkan. Begitu sebaliknya.

Itu baru satu masalah. Masalah lain terutama daerah pelosok, banyak yang kekurangan guru kompeten, jaringan internet susah menjangkau, dan tentunya kondisi jalanan yang memprihatinkan. Naluri manusia untuk bertahan hidup, oleh karena itu secara otomatis jika kebutuhan dasar saja belum terpenuhi dengan baik, maka urusan pendidikan adalah sesuatu yang mewah dan belum patut di”seriusin” bagi kaum seperti ini.

Akibatnya lama-kelamaan semakin banyak orang-orang yang gagal berpikir bahkan untuk kehidupannya sendiri. Karena apa, orang-orang ini pun seandainya disuguhi fakta dan hoax, mereka tidak bisa memilah dan memilih yang terbaik. Ini ujung-ujungnya akan berimbas pada negara juga. Beban negara semakin berat dan efeknya dirasakan seluruh warga negara.

Di China siswa SMA/SMK baru selesai sekolah pukul 9.30 malam. Apakah itu manusiawi? Atau justru kejam? Menurut pendapat saya, justru kegigihan dan kesabaran hasil dari selesai sekolah pukul 9.30 malam lebih menyiapkan orang untuk menghadapi kehidupan nyata sesungguhnya. Bahwa tidak ada hasil yang instan, berusaha memang semelelahkan itu, dan kesabaran akan berbuah manis.

Beda dengan anak-anak yang dituntut dengan PR, ditarget hasil sempurna, dan dimarahi jika gagal. Saya rasa justru ketika murid gagal, adalah waktu pendekatan untuk membangkitkan dan memberi kepercayaan bahwa mereka sebenarnya mampu jika bersungguh-sungguh dan belajar dari kesalahan.

Dari sini perlu sistem yang disepakati bersama yang dipegang teguh sepanjang hayat, tidak ganti kebijakan setiap ganti pemimpin, dan dijalankan dengan tekun. Kesadaran bahwa dengan menyiapkan sumber daya manusia lebih kompeten dan tangguh akan berimbas baik untuk negara Indonesia dan seisinya.