Efa febrianti Doali 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Membangun Persatuan dalam Keberagaman: Mengatasi Intoleransi untuk Menciptakan Keharmonisan Sosial Oleh : Efa Febrianti Doali Dalam dunia ini kita memiliki banyak perbedaan dalam hal budaya, agama, ras, etnis, dan orientasi politik. Namun, intoleransi tetap menjadi ancaman besar yang dapat menghancurkan keharmonisan sosial dan tatanan sosial di tengah keberagaman ini. Konflik yang mengakar dalam kehidupan bermasyarakat sering kali disebabkan oleh intoleransi, yang didefinisikan sebagai ketidakmauan untuk menerima perbedaan. Intoleransi adalah masalah besar di Indonesia, sebuah negara dengan banyak keragaman budaya dan agama. Banyak kasus yang melibatkan diskriminasi, ujaran kebencian, dan kekerasan berbasis identitas menunjukkan bahwa masalah ini belum sepenuhnya diselesaikan. Intoleransi sering kali berawal dari stereotip, kurangnya pemahaman, dan perilaku eksklusi yang membuat kelompok yang bersangkutan menjadi kurang unggul dibandingkan kelompok lainnya. Di dunia global saat ini, di mana interaksi antarbudaya semakin sering terjadi, intoleransi menjadi ancaman serius bagi keharmonisan sosial. Intoleransi merupakan salah satu isu yang terus mengemuka di tengah masyarakat modern. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti intoleransi adalah ketiadaan tenggang rasa. Istilah ini tentu memiliki makna yang berbanding terbalik dengan toleransi. Intoleransi bukan hanya menjadi ancaman bagi hubungan sosial, tetapi juga dapat mengganggu stabilitas nasional. Ketika masyarakat terpecah karena perbedaan, pembangunan dalam berbagai aspek ekonomi, pendidikan, hingga keamanan akan terhambat. Oleh karena itu, memahami akar masalah intoleransi, dampaknya, serta cara mengatasinya adalah langkah penting untuk menciptakan kehidupan yang damai dan harmonis. Toleransi berasal dari bahasa Latin tolerantia, berarti kelonggaran kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Secara umum istilah toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela dan kelembutan. Terdapat dua penafsiran dalam memakanai toleransi. Pertama, penafsiran bersifat negatif yang menyatakan bahwa toleransi itu cukup mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang lain atau kelompok. Kedua, penafisran bersifat positif yaitu dengan mengatakan bahwa toleransi tidak hanya sekedar membiarkan melainkan adanya dukungan keberadaan orang lain atau kelompok (Amir & Hakim, 2018). Kasus siswi SMKN 2 Padang dipaksa memakai jilbab Salah satu kasus intoleransi yang sempat mengejutkan publik terjadi di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat, di mana seorang siswi non-Muslim dilaporkan dipaksa memakai jilbab oleh pihak sekolah. Orang tua siswi tersebut mengajukan protes setelah mendapati anaknya ditekan untuk mengikuti aturan berpakaian yang tidak sesuai dengan keyakinan agamanya. Mereka menyayangkan peraturan tersebut dan mengaku keberatan jika anaknya harus mengenakan jilbab selama bersekolah. Kasus ini bukan yang pertama terjadi di Indonesia. Kasus di SMKN 2 Padang ini mencerminkan bentuk nyata intoleransi yang masih sering terjadi di berbagai lembaga pendidikan. Intoleransi, dalam konteks ini, mengacu pada ketidakmampuan atau ketidakinginan untuk menghormati perbedaan keyakinan dan hak individu. Padahal, sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan inklusif, di mana setiap siswa, tanpa memandang latar belakang agama atau budaya, merasa dihormati dan diperlakukan setara. Faktor penyebab intoleransi Intoleransi tidak muncul begitu saja melainkan tentu ada faktor penyebab yang memicu terjadinya intoleransi, faktor-faktornya antara lain kepribadian, pengetahuan yang memutlakkan, hubungan dengan kekuasaan, dan menganggap pribadi atau golongannya paling benar. Dilihat dari penjabaran tersebut, dapat dikatakan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap budaya juga berpengaruh. Bila dikaitkan dengan keadaan di zaman sekarang, intoleransi tidak lepas dari pengaruh adanya gadget ( Halimah, 2018, yang dikutip dalam jurnal Azzahira et al.,). Dampak intoleransi bagi Pendidikan Intoleransi di sekolah adalah bentuk sikap atau perilaku yang tidak menerima perbedaan berdasarkan agama, etnis, gender, orientasi seksual, atau status sosial-ekonomi. Intoleransi sering muncu dalam bentuk perundungan, diskriminasi, atau kekerasan verbal dan fisik, yang merusak lingkungan belajar serta menghambat perkembangan sosial dan mengenai tiga dosa besar dalam pendidikan, terutama dalam hal pencegahan dan penanganan perundungan, Kekerasan seksual, dan intoleransi. (Aprilyanti, R., Hendra, R. Novianti, & Sutandi 2024) Intoleransi dalam pendidikan dapat memberikan dampak yang sangat merugikan pada lingkungan belajar siswa dan pertumbuhan karakter mereka. Penerimaan atau ketidakmampuan untuk mengatasi intoleransi ini dapat menyebabkan polarisasi sosial di sekolah, yang membuat siswa dari latar belakang berbeda merasa terisolasi atau bahkan terdiskriminasi. Siswa yang terpinggirkan cenderung mengalami penurunan partisipasi dalam kegiatan belajar dan menurunkan semangat mereka untuk berprestasi, yang merupakan dampak yang sangat mengganggu. Dampak-dampaknya seperti Stres Emosional dimana siswa menjadi korban intoleransi atau merasa dihakimi karena perbedaan mereka mungkin mengalami stres emosional. Mereka dapat merasa tidak aman, tertekan, atau cemas. Rasa tidak diterima, intoleransi dapat membuat anak-anak merasa tidak diterima oleh kelompok sosial tertentu, teman sebaya, atau masyarakat. Hal ini dapat merusak harga diri dan harga diri mereka. Isolasi sosial intoleransi dapat mengisolasi anak-anak dari teman sebaya mereka, karena mereka mungkin merasa sulit untuk berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan atau latar belakang berbeda. Gangguan kesehatan mental dimana anak-anak yang mengalami intoleransi dapat lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan makan. Perasaan tidak diterima dan terdiskriminasi dapat menjadi pemicu stres psikologis (Studi et al., 2023) Perbedaan bukan menjadi alasan perpecahan, namun justru menjadi kekuatan yang mempererat persatuan. Di tengah keberagaman suku, ras, agama, dan budaya, kita sebagai masyarakat Indonesia harus mampu membangun ikatan yang lebih kuat serta saling mendukung dan melindungi. Konsep ini mengingatkan kita akan pentingnya saling menghormati dan memahami karena hakikatnya kita adalah saudara satu negara. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada yang lebih penting daripada prinsip bahwa semua individu, baik mayoritas maupun minoritas, mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Seperti keluarga mana pun, setiap anggota, baik muda maupun tua, memiliki peran dan tanggung jawab yang saling melengkapi.Perbedaan usia, pengalaman, dan latar belakang tidak menghalangi kita untuk saling menjaga dan melindungi. Demikian pula kita harus saling menjaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memperhatikan perbedaan-perbedaan yang ada, dan tidak membiarkannya menjadi sumber perpecahan. Harmoni muncul ketika setiap orang menyadari bahwa mereka berhak atas perlakuan yang adil dan setara, bebas dari pilih kasih dan diskriminasi. Peran pemerintah dalam permasalahan ini sangatlah penting. Pemerintah harus mampu merawat dan mencintai seluruh rakyat Indonesia, apapun perbedaannya. Pemerintahan yang baik harus memastikan bahwa tidak ada kelompok yang merasa diabaikan atau dimanjakan, dan tidak ada kelompok lain yang merasa dikucilkan. Dalam hal ini, pemerintah bertugas menjaga keseimbangan dan kesetaraan, yang pada akhirnya mendorong terciptanya perdamaian dan keadilan sosial bagi semua pihak. Jika prinsip-prinsip tersebut diterapkan dengan baik maka dapat meminimalisir potensi kecemburuan sosial yang seringkali berujung pada perpecahan. Ketika setiap orang merasa dihargai dan diperlakukan secara adil, rasa kebersamaan tumbuh dan menjadi lebih kuat. Di situlah letak kekuatan keberagaman Indonesia yang tidak hanya berpotensi membawa perubahan, namun juga memperkuat negara. Dengan memperkuat ikatan persatuan dalam keberagaman, kita akan menjadi bangsa yang semakin kuat secara keseluruhan. Sebagai satu kesatuan bangsa NKRI, sudah sepatutnya kita hidup berdampingan dalam keberagaman, penuh toleransi dan saling menghargai. Dengan memperkuat persatuan berdasarkan perbedaan, Indonesia akan menjadi negara yang lebih kuat dan damai (Nurhakim et al., 2024). Daftar Pustaka Amir, S., & Hakim, A. (2018). Pencegahan sikap intoleransi pada siswa melalui penguatan pendidikan Pancasila Aprilyanti, R., Hendra, R. Novianti, & Sutandi. (2024) Pengembangan potensi diri dan pembentukan karakter sebagai strategi pencegahan tiga dosa besar dalam pendidikan Kirani, N. C. (n.d.). Membangun Masyarakat Toleran: Mengatasi Intoleransi Beragama. Nurhakim, N., Adriansyah, M. I., & Dewi, D. A. (2024). Intoleransi Antar Umat Beragama di Indonesia. 50–61. Studi, P., Teknologi, M., Tanjungpura, U., & Pontianak, K. (2023). Dampak Perilaku Intoleran terhadap Psikologis dan Karakter Siswa di Jenjang SMA. 06(01), 9564–9572. https://sumbar.suara.com/read/2021/01/25/110203/kronologi-lengkap-kasus-siswi-nonmuslim-smkn-2-padang-dipaksa-berjilbab