fbpx
Shutterstock/Leonard S

Kesamaan Tujuan dan Musuh Bersama sebagai Pemersatu

Siapa sebenarnya yang dapat disebut sebagai bangsa Indonesia? Saya kadang kala bertanya-tanya tentang siapa atau ciri apakah yang harus dimiliki seseorang agar layak dan tepat disebut sebagai seorang yang berkebangsaan Indonesia. Pertanyaan tersebut makin timbul ketika saya melihat terjadinya beberapa tindakan diskriminatif terhadap beberapa kelompok yang biasanya berasal dari golongan yang minoritas di Indonesia. Tindakan diskriminatif tersebut seakan-akan menjadikan orang-orang yang berasal dari golongan minoritas tersebut bukanlah bagian dari kewarganegaraan Indonesia. Berangkat dari pertanyaan dan realitas sosial tersebut, saya mencoba melihat ke belakang, melihat ke masa sebelum Indonesia mendapatkan kemerdekaannya melalui proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan harapan dapat menemukan jawaban atas pertanyaan saya tersebut.

Indonesia yang dahulu sama sekali berbeda dengan yang sekarang kita kenal. Dulu, Indonesia bukanlah suatu negara yang berdaulat, melainkan suatu kepulauan yang masing-masing daerahnya dipimpin oleh pemimpin-pemimpin tradisional, seperti raja, kepala suku, dll. Kepemimpinan lokal ini pun suatu waktu, harus tunduk di bawah suatu hegemoni asing, yaitu kolonialis Belanda. Kemudian, kepulauan itu berubah namanya menjadi Hindia Belanda yang diakui dunia sebagai negara jajahan Belanda. Setelah kedatangan Belanda, Indonesia tidak sepenuhnya menyerahkan diri kepada hegemoni Belanda sehingga banyak perlawanan terjadi untuk membebaskan diri dari belenggu Belanda. Ada banyak jumlah pertempuran dan pergerakan perjuangan yang terjadi, mulai dari Perang Padri, Perang Toba, Perang Aceh, Perang Diponegoro, dll. Sangking banyaknya jumlah pertempuran dan pergerakan perjuangan yang terjadi, saya tidak dapat menyertakan dan menjelasakan satu per satu pertempuran dan pergerakan yang terjadi tersebut. Akan tetapi, dari antara banyaknya peristiwa yang terjadi, ada beberapa peristiwa yang hendak saya sorot dan  jadikan gambaran tentang bagaimana persatuan dapat terjalin di kalangan rakyat pada masa itu dalam melawan Belanda sebagai musuh bersama (common enemy).

Ada satu catatan sejarah menarik yang mewarnai gejolak sosial politik di Hindia Belanda, yaitu Peristiwa Geger Pacinan. Geger Pacinan adalah sebuah penamaan yang diberikan pada serangkaian pertempuran yang terjadi di Jawa yang melibatkan Belanda, Kerajaan Mataram, dan komunitas Tionghoa. Pertempuran tersebut bermula dari pembantaian terhadap masyarakat beretnis Tionghoa yang mendiami Batavia atau sekarang kita kenal dengan Jakarta.  Dari pembantaian mengerikan itu, terdapat beberapa masyrakat Tionghoa yang selamat dan kemudian, melarikan diri ke wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram di bawah pimpinan Pakubuwana II. Kedatangan para pelarian Tionghoa itu ternyata disambut oleh Pakubuwana II yang juga bersilang posisi dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan yang menjadi wakil kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Pakubuwana II pun memutuskan untuk bekerja sama dengan orang-orang Tionghoa dan melakukan penyerangan terhadap VOC. Pasukan Jawa dan kerja samanya dengan pasukan Tionghoa yang dipimpin oleh Kapiten Sepanjang, pimpinan perang Tiongha menjadi suatu panorama yang luar biasa yang berhasil membuat VOC resah.

Sayangnya, akhir dari kisah Geger Pacinan tidak sebaik awalnya. Saat pertempuran terjadi, atas beberapa pertimbangan, Pakubuwana II memutuskan untuk berkhianat dari kerja sama antara Jawa-Tionghoa dan mengalihkan dukungannya kepada Belanda. Namun, terlepas dari akhir yang kurang baik, Kisah Geger Pacinan mengajarkan kita bahwa persatuan sejatinya, tidak terbatas pada landasan genealogi atau kekerabatan semata. Persatuan antara masyarakat Jawa dan Tionghoa yang berasal dari ras yang berbeda menggambarkan bahwa perbedaan di antara mereka tidak menjadi soal, terutama ketika terdapat suatu tujuan yang jauh lebih berarti. Adanya kesamaan tujuan, yaitu untuk melawan kolonial Belanda menyatukan dua masyarakat yang berbeda latar belakang. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat memahami bahwa persatuan sangat erat kaitannya dengan kepentingan bersama.

Kisah tentang persatuan dalam melawan Belanda ternyata tidak selesai sampai pada Geger Pacinan, tetapi berlanjut hingga pada satu momentum yang menjadi tonggak persatuan kebangsaan Indonesia, yaitu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang pada intinya menyatakan bahwa para pemuda Indonesia bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Akhirnya, semangat Sumpah Pemuda itu pun merebak ke seluruh Hindia Belanda dan terus menyala hingga akhirnya memuncak pada momentum kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nyala semangat persatuan tersebut pada akhirnya, dituangkan dalam Sila Ketiga Pancasila sebagai dasar negara, yaitu persatuan Indonesia.

Dari serangkaian kisah di atas, kita dapat menarik garis besar bahwa dulu, Indonesia bersatu disebabkan oleh adanya kesamaan tujuan dan musuh bersama. Lantas, bagaimana mempersatukan Indonesia untuk saat ini di saat Indonesia tidak lagi dijajah sehingga tidak lagi memiliki satu tujuan dan musuh bersama? Sejatinya, Indonesia tidak benar-benar tidak memiliki musuh bersama. Indonesia dulu, memiliki musuh bersama, yaitu Belanda, tetapi Indonesia sekarang memiliki musuh bersama yang tak kalah mengerikan, yaitu kemiskinan, kelaparan, krisis lingkungan, dan berbagai permasalahan lainnya yang segera harus diberantas oleh segenap rakyat Indonesia. Seharusnya, Indonesia tidak lagi memberikan ruang bagi isu-isu yang berkaitan dengan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) ketika di depan mata sendiri, negara tengah berhadapan dengan musuh-musuh baru, seperti kemiskinan. Keberadaan musuh bersama ini adalah salah satu alasan kuat bagi segenap bangsa Indonesia untuk bersatu dalam keberagaman demi mengalahkan musuh bersama tersebut.

Adanya musuh bersama yang harus dihadapi oleh Indonesia tidak cukup, tetapi perlu dicari perekat tambahan, yaitu tujuan bersama. Saat ini, Indonesia tidak perlu kesulitan untuk mencari atau merumuskan tujuan bersamanya. Indonesia tinggal mengikut apa yang telah dirumuskan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). TPB adalah tujuan bersama Indonesia yang harus diimplementasikan agar dapat mengalahkan musuh bersama yang telah disebutkan. Dengan adanya musuh bersama dan diperkuat lagi dengan kesamaan tujuan yang secara komprehensif termaktub dalam TPB, saya yakin persatuan Indonesia dapat terwujud. Lebih lagi, TPB tidak hanya hadir sebagai pemersatu di tingkat nasional, tetapi global. TPB sebagai sebuah tujuan yang bersifat universal, inklusif, dan integratif dapat mempersatukan bukan hanya sesama bangsa Indonesia, melainkan juga sesama umat manusia di mana pun dan apa pun latar belakangnya.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa melahirkan persatuan di tengah keberagaman bukanlah hal yang mustahil. Apalagi, alat-alat pemersatu, yaitu musuh bersama dan kesamaan tujuan sudah ada. Sekarang, tinggal bagaimana seluruh pihak bisa dapat melibatkan dirinya dalam melawan musuh bersama dan mewujudkan tujuan bersama tersebut. Dalam meningkatkan keterlibatan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah promosi terhadap ide atau gagasan tentang siapa musuh bersama dan apa tujuan bersama, salah satunya melalui promosi tentang SDGs atau TPB melalui media sosial secara interaktif dan partisipatoris. Dengan begitu, diharapkan setiap orang memiliki pemahaman yang sama tentang siapa musuh kita di saat ini dan apa yang hendak bersama dituju.