Admin Beranda Inspirasi 0shares Jangan Takut Bicara: Mendukung Korban Kekerasan Seksual Read More Pendahuluan Berdasarkan UU Nomor 18 tahun 2012, kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan negara bertanggung jawab atas penentuan sistem pangan yang sesuai dengan sumber daya lokal. Negara memiliki peran yang signifikan dalam menjamin setiap warga negara mendapatkan hak untuk mendapatkan pangan yang sesuai dengan kebutuhannya. Dengan populasi 273,81 juta jiwa (BPS, 2021), banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam menyediakan pangan yang berkualitas dan merata kepada seluruh masyarakatnya. Permasalahan utama dunia dan Indonesia dalam konteks kedaulatan pangan adalah masih besarnya angka food loss dan food waste. Menurut Food Agriculture Organization (2011), Food loss merupakan penurunan kuantitas pangan yang disebabkan oleh keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh penyuplai pangan dalam rantai pasokan. Di sisi lain, food waste merupakan penurunan kuantitas pangan yang diakibatkan oleh keputusan dan tindakan oleh distributor dan konsumen pangan tersebut. Di Indonesia, data menunjukkan 44% sampah disumbang oleh adanya food waste (KLHK, 2018). Data tersebut mendukung posisi Indonesia sebagai salah satu dari berbagai negara yang menyumbang food waste terbesar dunia dengan estimasi per tahunnya sebesar 300 kg per kapita (WWF, 2020). Selain mengganggu ketahanan dan kedaulatan pangan, adanya food loss and waste (FLW) juga dapat menimbulkan emisi greenhouse gas. Emisi GHG ini diproduksi ketika adanya tumpukan sampah makanan yang mengalami dekomposisi sebagai akibat dari FLW. Dimana per tahunnya, FLW menyumbang sebesar 7.29% dari total emisi yang ada di Indonesia (BAPPENAS Study Report, 2022). Apabila ditelisik lebih lanjut, isu FLW secara signifikan terjadi di dalam supply chain atau rantai pasokan dari produsen ke tangan konsumen. Pada umumnya, pangan yang sampai di tangan masyarakat untuk dikonsumsi telah melewati berbagai tahap, yaitu dari produksi pertanian (hulu) hingga tahap konsumsi (hilir). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bappenas (2022), terdapat 5 tahap rantai pasokan pangan, yaitu: 1) produksi agrikultur; 2) pascapanen dan penyimpanan; 3) pengolahan dan pengemasan; 4) distribusi dan pemasaran; dan 5) konsumsi. Ironinya, FLW banyak terjadi pada rantai pasokan pangan, dimana food loss terjadi pada tahap pertama hingga ketiga dan food waste terjadi pada tahap keempat hingga kelima yang diilustrasikan pada Gambar 1. Oleh karena itu, kontrol rantai pasokan menjadi kunci dan fondasi dalam menyelesaikan masalah food loss dan food waste. Sumber : BAPPENAS Study Report, 2022 Gambar 1: Food Loss dan Waste dalam Rantai Pasokan Makanan/Pangan Peningkatan kompleksitas rantai pasokan pangan dapat menimbulkan masalah lainnya, seperti produksi karbon dan emisi. Implementasi teknologi tampaknya menjadi solusi yang dapat ditawarkan untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian rantai pasokan makanan. Penerapan teknologi blockchain dapat menjadi solusi penangan FLW, dimana blockchain merupakan teknologi yang berbentuk database terdistribusi dari catatan atau buku besar publik/pribadi bersama dari semua peristiwa digital yang telah dieksekusi dan dibagikan di antara agen-agen yang berpartisipasi dalam blockchain (Crosby et al., 2016). Implementasi blockchain dapat menjadi kunci efektivitas karena dapat melacak serta menyimpan informasi secara sistematis, real-time, dan aman sehingga dapat meningkatkan kontrol internal yang efisien. Adanya implementasi teknologi blockchain dalam mengatasi permasalahan pangan juga mendukung sustainable development goals (SDGs) nomor 2 dan 12 dengan fokus umum pembangunan pilar sosial dan lingkungan. Pembahasan Food supply chain atau rantai pasokan pangan merupakan sistem yang paling signifikan dalam menentukan pembuangan sampah makanan yang selama ini mengganggu kedaulatan pangan, khususnya di Indonesia. Dalam rantai ini, terdapat beberapa pihak yang terkait sehingga produk pangan dapat dikonsumsi, seperti produsen, pengecer, distributor, dan konsumen sendiri. Dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, rantai pasokan makanan di Indonesia tentunya sangat kompleks dan membutuhkan kontrol yang tepat agar semua lapisan masyarakat mendapatkan pangan yang berkualitas, aman, dan tidak menimbulkan dampak lingkungan. Konsep keberlanjutan juga perlu dipraktikkan dalam rantai pasokan pangan sehingga dapat mewujudkan triple-bottom-line yang mencakup keseimbangan lingkungan, sosial, dan dimensi bisnis dalam menjaga rantai pasokan (Seuring et al. 2008). Pentingnya rantai pasokan dalam menjaga ketahanan pangan memunculkan pertanyaan, apakah rantai pasokan pangan di Indonesia telah memuat sistem informasi yang dibutuhkan untuk mengawasi produksi barang dan jasa secara tepat waktu, menjaga kualitas hingga ke hilir, serta dapat meminimalisasi food loss dan food waste? Teknologi blockchain dapat membantu mewujudkan peningkatan efisiensi rantai pasokan sehingga meminimalisasi terbentuknya FLW. Dalam konteks rantai pasokan pangan, blockchain akan menjamin keandalan informasi, keterlacakan produk, dan informasi akurat lainnya. Menurut Saberi (2019), teknologi blockchain dapat menyoroti dan merinci setidaknya lima dimensi produk utama: sifat , kualitas, kuantitas, lokasi, dan kepemilikan. Dengan pendekatan tersebut, blockchain dapat meningkatkan transparansi informasi dengan mengoperasikan sistem yang terintegrasi. Informasi ini dicatat dalam buku besar (ledgers) saat transaksi terjadi secara realtime dengan pembaruan yang dapat diverifikasi. Hal ini memungkinkan setiap stakeholders untuk memeriksa dan melacak rantai pasokan. Dalam Gambar 2, terlihat bahwa penggunaan teknologi blockchain dalam rantai pasokan makanan memungkinkan pengumpulan, penyimpanan, dan manajemen data produk yang lebih efisien. Dalam kerangka teknologi ini, karakteristik utama seperti transparansi, keterbukaan, netralitas, keandalan, dan keamanan dapat diperluas ke pemangku kepentingan dalam rantai pasokan sehingga dapat mengurangi risiko terciptanya FLW secara signifikan. Sumber : Ilustrasi oleh Penulis Gambar 2: Siklus Rantai Pasokan Pangan Tertutup dengan Implementasi Teknologi Blockchain Dibandingkan dengan metode konvensional untuk mengumpulkan informasi, penggunaan blockchain mampu meningkatkan efisiensi rantai pasokan dengan mengurangi biaya transaksi dan waktu pemrosesan, mengurangi ketidakefisienan dalam rantai pasokan. Selain itu, teknologi blockchain berpotensi meningkatkan keberlanjutan lingkungan dalam rantai pasokan melalui berbagai aplikasi, seperti pelacakan produk substandar dan identifikasi transaksi produk berikutnya (Saberi, 2019). Setiap tahapan dalam blockchain dapat membantu mengurangi risiko kegagalan produk, mengurangi limbah produk, konsumsi sumber daya, dan emisi gas rumah kaca. Selain itu, implementasi blockchain juga dapat meminimalisasi pemborosan energi menggunakan efisiensi rantai pasokan. Teknologi dapat mengakselerasi produk hijau dalam pasar dengan menyediakan informasi produk hijau, seperti menggunakan bahan ramah lingkungan, zero-waste products, dan emisi gas rumah kaca yang rendah. Ketika proses pembuatan produk terverifikasi memiliki jejak emisi yang rendah, konsumen yang peduli terhadap lingkungan akan lebih cenderung memilih produk tersebut. Dengan demikian, teknologi blockchain dapat membentuk rangkaian rantai pasokan yang berkelanjutan dan mendukung konsep circular economy.Implementasi blockchain dalam rantai pasokan pangan secara konstruktif dapat mendukung pilar pembangunan sosial serta lingkungan, khususnya pada poin Sustainable Development Goals ke-2 dan ke-12. Hal ini menjadi langkah yang revolusioner demi mewujudkan ketahanan pangan dan zero food waste and food loss. Dari perspektif poin ke-2 SDGs, Tanpa Kelaparan, dapat dicapai dengan implementasi teknologi blockchain. Misalnya, blockchain meningkatkan ketercapaian indikator 2.2.2. (Metadata Indikator Bappenas, 2020), yaitu peningkatan konsumsi pangan yang berkualitas dengan indikator Pola Pangan Harapan (PPH). Blockchain menciptakan rantai pasokan yang dilengkapi dengan informasi yang merekam perjalanan pangan dari hulu ke hilir sehingga setiap langkah dalam produksi dan distribusi dapat dilacak dengan akurat. Hal ini akan menjamin kualitas pangan yang tidak hanya menjamin gizi yang terpenuhi, tetapi juga mengawasi komposisi gizi,dengan indikator cita rasa, daya konsumsi, penerimaan masyarakat, kuantitas dan kemampuan daya beli. Peran teknologi blockchain dapat mengakselerasi dan mendukung perwujudan poin ke-12 SDGs, yaitu Pola Konsumsi dan Produksi yang Berkelanjutan. Blockchain menawarkan desain sistem yang terdesentralisasi dan terbuka, blockchain menciptakan sistem pelacakan yang akurat terhadap penggunaan sumber daya dan bahan baku dalam rantai pasokan pangan. Sistem rantai pasokan ini dapat membantu perusahaan dan pemerintah untuk mengurangi konsumsi sumber daya dan mempromosikan penggunaan yang lebih berkelanjutan. Hal ini sangat mendukung perwujudan indikator 12.3.1 (a) dan 12.3.1 (b) dapat mewujudkan pengurangan Setengah dari total jumlah limbah pangan per individu di tingkat penjualan eceran dan konsumen, serta mengurangi kerugian pangan sepanjang proses produksi dan rantai pasokan. (Metadata Indikator Bappenas, 2020). Kesimpulan dan Saran Kompleksitas ketahanan pangan serta mitigasi FLW dengan implementasi blockchain sebagai solusi dapat disederhanakan ke dalam satu konsep, yaitu KATALISaSi. KATALISaSi (Ketahanan pangan, Agrikultur, Teknologi, Akselerasi, Lingkungan, Inovasi, Sustainability Supply Chain) merupakan integrasi permasalahan serta solusi yang dapat ditawarkan oleh teknologi Blockchain dalam memerangi FLW dengan adanya efisiensi dalam rantai pasokan pangan sehingga dapat memperkecil risiko adanya FLW dalam setiap proses dan tahapannya.Teknologi blockchain memiliki peran signifikan untuk menciptakan rantai pasokan yang dapat mengumpulkan, menyimpan, dan manajemen data produk secara kompleks dan real-time.KATALISaSi mewujudkan kehadiran teknologi dalam menjamin keberlangsungan agroindustri serta menjamin kualitas pangan masyarakat sehingga dapat diidentifikasi sebagai solusi terpadu. Namun, pengimplementasian teknologi blockchain pada rantai pasokan pangan bukanlah hal yang mudah. Beberapa tantangan dalam implementasi blockchain adalah masih minimnya infrastruktur dan konektivitas teknologi dalam industri pangan sehingga tidak cukup siap dalam mengadopsi teknologi blockchain yang relatif kompleks. Peran pemerintah sangat diperlukan untuk menstimulasi pengadopsian teknologi blockchain pada rantai pasok pangan. Hal ini dapat dimulai dari pembangunan infrastruktur teknologi yang memadai dan pengembangan industri pangan yang menggunakan teknologi melalui sosialisasi atau stimulus lainnya. Sinergi dengan masyarakat juga sangat diperlukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk sadar akan rantai pasok pangan yang berkaitan dengan kualitas pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Ketika kesadaran masyarakat meningkat, secara linear FLW dapat diminimalisasi secara bertahap dan akan mengurangi dampak negatif dari rantai pasokan pangan, seperti penghasil emisi gas rumah kaca. KATALISaSi juga dapat menjadi akselerasi perwujudan poin SDGs poin ke-2 dan ke-12, dimana dapat mengatasi permasalahan kelaparan dan kualitas pangan, serta pengelolaan pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. (n.d.). Retrieved September 17, 2023, from https://www.bps.go.id/indicator/12/1975/1/jumlah-penduduk-pertengahan-tahu n.html BAPPENAS Study Report: Food Loss and Waste in Indonesia Supporting The Implementation of Circular Economy and Low Carbon Development. (2022, July 7). GRASP 2030. https://grasp2030.ibcsd.or.id/2022/07/07/bappenas-study-report-food-loss-and- waste-in-indonesia-supporting-the-implementation-of-circular-economy-and-l ow-carbon-development/ Crosby, M., Pattanayak, P., Verma, S. and Kalyanaraman, V. (2016) Blockchain Technology: Beyond Bitcoin. Applied Innovation, 2, 71. Food and Agriculture Organization (FAO). 2011. Global Food Losses and Food Waste – Extent, Causes and Prevention. Retrieved September 17, 2023, from https://www.fao.org/sustainable-food-value-chains/library/details/en/c/266053/ Bappenas. (2017). Metadata indikator tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB): Pilar pembangunan sosial (Jakarta). Bappenas. //perpustakaan.big.go.id/index.php?p=show_detail&id=1318&keywords= Bappenas. (2017). Metadata indikator tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB): Pilar pembangunan lingkungan (Jakarta). Bappenas. //perpustakaan.big.go.id/index.php?p=show_detail&id=1318&keywords= Perpustakaan Kementerian Lingkungan Hidup. (n.d.). Retrieved September 17, 2023, from http://perpustakaan.menlhk.go.id/pustaka/home/index.php?page=ebook&code=plh&view=yes&id=1480 Saberi, S., Kouhizadeh, M., Sarkis, J., & Shen, L. (2019). Blockchain technology and its relationships to sustainable supply chain management. International Journal of Production Research, 57(7), 2117–2135.https://doi.org/10.1080/00207543.2018.1533261 Seuring, S., & Müller, M. (2008). From a literature review to a conceptual framework for sustainable supply chain management. Journal of CleanerProduction, 16(15), 1699–1710. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2008.04.020 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan WWF Report: The UK’S carbon footprint. (n.d.). WWF. Retrieved September 17, 2023, from https://www.wwf.org.uk/updates/wwf-report-uks-carbon-footprint Penulis : Hans Mangatur Pakpahan | Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada Pemenang Kompetisi Menulis Beranda Inspirasi ke – 9