Farras Zidane Diego Ali Farhan Mahasiswa Universitas Indonesia 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Kekerasan merupakan salah satu problematika yang menghantui institusi pendidikan di Indonesia. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman bagi setiap warga satuan pendidik untuk meraih potensi terbaik dalam dirinya justru menjadi tempat terjadinya tindakan kekerasan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (“KPAI”) mengungkapkan bahwa 35% dari 114 kasus kekerasan terjadi di lingkungan satuan pendidikan pada tahun 2024 (Pusdatin KPAI, 2024). Salah satu kekerasan di sekolah yang ramai menjadi perbincangan publik adalah penusukan mata menggunakan tusuk bakso hingga buta yang dialami seorang siswi kelas 2 SD di Menganti, Gresik oleh kakak kelasnya. Peristiwa tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat karena institusi seharusnya menjadi tempat mendidik insan muda yang akan memimpin bangsa ini. Namun, bagaimana Indonesia dapat mencapai masa depan berkelanjutan apabila kekerasan masih marak terjadi di lingkungan sekolah? Pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang tinggi terhadap permasalahan kekerasan di dalam lingkungan pendidikan di Indonesia. Kerja sama dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai lembaga dan organisasi untuk merumuskan solusi jitu mengatasi fenomena pelik ini. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang merupakan bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka menjadi strategi pangkus pemerintah dalam menanamkan perilaku anti kekerasan dalam diri para pelajar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pada tahun lalu, pemerintah mengesahkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (“Permendikbudristek PPKSP”) yang menjadi landasan hukum krusial untuk membebaskan sekolah dari praktik kekerasan. Regulasi tersebut secara komprehensif merekapitulasi berbagai bentuk kekerasan yang seringkali ditemukan di sekolah serta langkah-langkah sistematis pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Agenda pemerintah di atas sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-4 yang memiliki target dalam menjamin setiap peserta didik mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan, termasuk promosi budaya damai dan non kekerasan. Target tersebut sangat tepat mengingat nilai-nilai budaya damai dan anti kekerasan harus ditanamkan sedini mungkin. Hal tersebut harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan di Indonesia. Tujuan tersebut juga dapat dipadukan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-16 yang mengadvokasikan isu penghentian segala bentuk kekerasan terhadap anak. Dalam rangka mencapai dua tujuan di atas sudah pasti diperlukan satuan pendidikan sebagai lembaga yang tangguh serta aktif mempromosikan perdamaian dan keadilan. Oleh karena itu, perlu adanya integrasi antara strategi pemerintah seperti Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dengan target-target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) guna mewujudkan masa depan pendidikan Indonesia yang berkelanjutan dan bebas dari kekerasan. Mencabut Akar Budaya Kekerasan di Lingkungan Sekolah Melalui P5 Praktik kekerasan sudah mengakar kuat di dalam institusi pendidikan Indonesia. Berbagai fenomena kekerasan di sekolah yang kita ketahui saat ini sudah seringkali terjadi sebelumnya. Penormalisasian kekerasan dengan berlindung di balik kalimat “cuma bercanda” atau “namanya juga anak-anak” membuat praktik ini terus berlanjut hingga saat ini. Hal yang tidak disadari adalah suatu candaan atau bertingkah seperti anak-anak tidak menimbulkan luka fisik dan psikis bagi orang lain. Oleh karena itu, pengentasan praktik kekerasan di sekolah hanya dapat berhasil melalui penanaman nilai-nilai perdamaian dan anti kekerasan di dalam diri. Dengan begitu, budaya kekerasan yang telah tertanam dalam diri dapat tercabut. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) merupakan program strategis yang dapat digunakan untuk menjamin setiap peserta didik memiliki kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan anti kekerasan. Projek tersebut dihadirkan pemerintah untuk menghasilkan peserta didik dengan kompetensi yang berkaitan dengan jati diri, ideologi, dan cita-cita bangsa Indonesia. Kompetensi tersebut dibagi menjadi 6 dimensi kunci, yaitu: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; 2) berkebhinekaan global; 3) bergotong royong; 4) mandiri; 5) bernalar kritis; serta 6) kreatif. Projek ini dilakukan dengan pembelajaran lintas disiplin ilmu dalam mengamati dan memikirkan terhadap permasalahan di lingkungan sekitar. Kekerasan sebagai permasalahan di lingkungan sekolah merupakan salah satu isu yang menjadi tema dalam projek ini. Terdapat dua tema dalam program P5 yang berkaitan dengan budaya perdamaian dan anti kekerasan. “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan tema pertama yang memiliki target agar peserta didik dapat mengenal serta mempromosikan budaya perdamaian dan anti kekerasan. Para peserta didik diharapkan dapat membangun dialog dan mempelajari sudut pandang teman-temannya secara kritis sehingga tidak lagi mempraktikan stereotip negatif yang dapat mengakibatkan kekerasan. Tema selanjutnya adalah “Bangunlah Jiwa dan Raganya” di mana peserta didik diharapkan dapat membangun kesadaran diri dan mendiskusikan permasalahan terkait kesejahteraan diri, seperti perundungan (bullying). Kedua tema ini ditujukan untuk peserta didik di jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MK, dan sederajat. Konkretisasi dari kedua tema ini perlu dilakukan supaya peserta didik memiliki profil Pancasila untuk memerangi kekerasan yang terjadi di sekolah. Kolaborasi Guru dan Peserta Didik dalam Menciptakan Kehidupan Sekolah yang Bebas dari Kekerasan Pengimplementasian tema “Bhinneka Tunggal Ika” dan “Bangunlah Jiwa dan Raganya” memerlukan kerja sama antara guru dengan peserta didik supaya berhasil. Langkah pertama yang dapat dilakukan oleh guru adalah mengenalkan peserta didik pada budaya perdamaian dan anti kekerasan. Guru diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada peserta didik bahwa kekerasan tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, tetapi juga secara psikis, verbal, seksual, dan sebagainya. Setelah peserta didik memahami apa yang dimaksud dengan kekerasan, langka selanjutnya adalah guru dapat meminta mereka untuk menggali apakah kekerasan dapat ditemukan di lingkungan sekolah mereka. Kontekstualisasi tersebut diharapkan dapat memberikan peserta didik suatu pembelajaran yang bermakna serta secara aktif meningkatkan pemahaman dan kemampuannya mengenai sikap anti kekerasan. Guru sebagai fasilitator pembelajaran harus memastikan bahwa setiap peserta didik dapat merasa aman menceritakan pengalaman kekerasan yang dialaminya ketika berpartisipasi dalam langkah kontekstualisasi ini. Guru dan peserta didik dapat mengembangkan solusi bersama untuk mengatasi praktik kekerasan yang terjadi di sekolah. Perumusan aksi nyata tersebut dapat optimal apabila guru dan peserta didik telah mengupas fenomena kekerasan yang ada. Contohnya, jika kekerasan terjadi dalam bentuk perundungan akibat perbedaan agama atau etnis, maka guru dan peserta didik dapat merancang program dialog penuh hormat. Dalam program tersebut, para peserta didik dapat mendiskusikan perbedaan yang mereka miliki dengan penuh hormat. Dialog tersebut dapat ditutup dengan refleksi mengenai persatuan dalam keberagaman dan keharusan menghormati perbedaan yang ada. Dengan adanya kesadaran bahwa perbedaan bukan hal yang buruk, resiko terjadinya kekerasan di sekolah dapat dihindari. Langkah-langkah yang melibatkan keaktifan peserta didik di bawah pemantauan guru merupakan salah satu cara untuk menanamkan kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan anti kekerasan di sekolah. Peran Pemerintah dalam Mendorong Pelaksanaan Pendidikan Berkelanjutan yang Bebas dari Kekerasan Pemerintah harus berkontribusi aktif untuk memastikan P5 dalam Kurikulum Merdeka di berbagai sekolah terlaksana secara optimal. Dalam memuluskan konkretisasi dari program P5 sebagaimana telah dipaparkan di atas, sudah sepatutnya satuan pendidikan terutama guru terlebih dahulu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan anti kekerasan. Kemendikbudristek harus melakukan sosialisasi kebijakan, pedoman, modul dan program berkaitan dengan program P5 mengenai budaya perdamaian dan anti kekerasan. Selain itu, Kemendikbudristek juga harus memberikan pelatihan kepada para guru untuk dapat melaksanakan program-program yang ada secara optimal. Pengalokasian anggaran juga tidak boleh dilupakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan sehingga program ini tidak tersendat akibat kendala keuangan. Komitmen yang tinggi harus ditunjukan oleh pemerintah dan satuan pendidikan. Dengan jalinan kerja sama tersebut, peserta didik dapat memperoleh pendidikan karakter, pengetahuan, dan keterampilan yang berkelanjutan untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang baik untuk masa depan berkelanjutan adalah pendidikan yang dapat menciptakan ruang aman bagi setiap peserta didik. Permasalahan kekerasan di sekolah harus dituntaskan sehingga seluruh insan muda yang tengah menempuh pendidikan dapat mencapai potensi terbaiknya. Pencabutan budaya kekerasan serta penanaman nilai-nilai kedamaian dan anti kekerasan merupakan cara terbaik untuk mengatasi problematika tersebut. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila adalah langkah konkret pemerintah dalam mempromosikan budaya kedamaian dan anti kekerasan kepada para peserta didik dan seluruh warga satuan pendidikan. Dalam projek tersebut, peserta didik dapat mengkontekstualisasikan kekerasan yang terjadi di sekitar mereka dan merumuskan solusi untuk mengatasinya. Sinergitas antara pemerintah dan satuan pendidikan sangat diperlukan guna merealisasikan pelaksanaan P5 tersebut. Kolaborasi antara pemerintah, satuan pendidikan, guru, dan peserta didik tersebut niscaya dapat membebaskan institusi pendidikan di Indonesia dari belenggu kekerasan.