Azzahra Putri Kristiana 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Alam sebagai sarana pendidikan dan bukan cuma petualangan – Norman Edwin Kondisi lingkungan saat ini, seperti pemanasan global, pencemaran lautan dan daratan, deforestasi, sangatlah mengkhawatirkan. Salah satu penyebab kerusakan ini adalah pengelolaan sampah yang tidak baik. Sisa aktivitas manusia yang dibuang begitu saja akan mendegradasi kualitas iklim, ekosistem daratan, dan ekosistem lautan. Efek degradasi lingkungan akan memengaruhi kualitas kehidupan manusia, baik yang hidup saat ini maupun di masa mendatang. Dan manusia memiliki tiga hubungan dengan lingkungan, yaitu sebagai pihak yang merusak, pihak yang terdampak, dan juga pihak yang melakukan perbaikan. Karena itu, kesadaran manusia sekaligus tindakan kolektif sangatlah penting dalam menjaga kelestarian lingkungan, sehingga perlu distimulasi dengan edukasi yang komprehensif dan efektif (Ahsanti et al., 2022). Dalam era modern ini, implementasi pembangunan berkelanjutan sangatlah krusial. Konsep ini memberikan petunjuk pada generasi yang hidup saat ini dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan menjaga kualitas dan kuantitas kebutuhan generasi mendatang. Sustainable Development Goals (SDGs), yang dicanangkan oleh PBB, adalah kerangka global yang menunjukkan betapa pentingnya pembangunan berkelanjutan. Dari 17 tujuan tersebut, SDG 4, 13, 14, dan 15 memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan pengelolaan lingkungan, yaitu dengan pendidikan lingkungan (Rahayu, 2022; Hayati, 2020) Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan merupakan suatu inisiatif dengan menggabungkan prinsip keberlanjutan ke dalam sistem edukasi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan tindakan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Pendidikan ini dapat diberikan pada siswa di lingkungan sekolah, dengan kontribusi seluruh elemen yang ada di sekolah, salah satunya dengan pengelolaan sampah berkelanjutan. Tidak hanya pemberian pengetahuan teoritis, mereka juga dilibatkan dalam pengambilan tindakan praktis. Hal ini bertujuan untuk menciptakan generasi yang lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan, serta mendukung keberlanjutan di masa depan. Ini juga akan menginspirasi sekolah lain untuk mengambil tindakan serupa untuk menciptakan generasi yang lebih hijau. Seberapa parah kondisi lingkungan di negara kita? Berdasarkan SIPSN KLHK, total sampah pada tahun 2023 di Indonesia mencapai 25,3 juta, dengan 8,5 juta ton yang tidak terkelola. Tentu ini bukanlah angka yang sedikit dan pasti akan terus bertambah. Waktu terus berjalan dan aktivitas manusia tidak bisa dihentikan. Dan menurut World Bank Group (2021), Indonesia menghasilkan 7,8 juta ton sampah plastik, yaitu sampah yang mendominasi perairan, di setiap tahun. Diperkirakan sebanyak 346,6 kton dibuang dari darat ke laut, dengan rincian 83% terbawa oleh arus sungai dan sisanya dibuang langsung dari pesisir. Alhasil, sampah yang tak terkelola ini akan merugikan banyak aspek, seperti menurunnya kualitas lingkungan, kesehatan, dan ekonomi. Pada tahun 2020, sampah berkontribusi dalam perubahan iklim dengan menghasilkan 1.65 miliar ton GRK, dengan komposisi 1,51 miliar ton gas metana dan 144,95 juta ton gas nitrogen oksida, ditambah pembakaran sampah sembarangan yang menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) yang dapat menambah kuantitas GRK. Hal ini menjadikan sampah sebagai kontributor peningkatan suhu rata-rata di bumi secara signifikan, selain El Nino dan peristiwa alam lainnya. Peningkatan suhu rata-rata menunjukkan efek nyata dari perubahan iklim. Berdasarkan data dari Copernicus Climate Change Service (2024), temperatur global hampir mencapai 1,5 °C di tahun 2023. Rata-rata suhu udara permukaan bumi pada tahun yang sama mengalami anomali +0,6 °C dibanding rata-rata suhu periode 1991—2020, sehingga angkanya mencapai 14, 98 °C, lebih besar 0,17 °C dari tahun 2016, tahun terpanas sebelumnya. Angka ini menjadikan tahun 2023 menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah dalam pencatatan data yang dimulai sejak tahun 1850, dan diprediksi akan terus meningkat. Penyebab utama dari masalah ini adalah kurangnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat, serta infrastruktur yang kurang memadai untuk pengelolaan sampah. Kondisi ini diperburuk oleh penggunaan plastik sekali pakai dan kebiasaan membuang sampah sembarangan. Oleh karena itu, penting sekali untuk menumbuhkan rasa cinta pada lingkungan lewat pendidikan, sehingga generasi muda lebih peduli dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Pendidikan Berkualitas dan Kesadaran Lingkungan untuk Mewujudkan SDG 4, 13, 14, dan 15 SDG 4 berfokus pada pendidikan berkualitas, sementara SDG 13, 14, dan 15 berpusat pada kelestarian lingkungan, yaitu dengan membahas penanganan perubahan iklim, kehidupan di air, dan kehidupan di darat. Keempat tujuan ini dapat dikolaborasikan dalam pendidikan lingkungan. Dengan menciptakan pengalaman belajar yang relevan dan aplikatif, kolaborasi antara pendidikan dan praktik lingkungan ini berpotensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sekolah memiliki peran strategis untuk menanamkan cinta lingkungan pada siswa. Melalui kurikulum yang terintegrasi dengan pendidikan lingkungan, siswa dapat belajar tentang pentingnya menjaga alam sejak dini. Kegiatan seperti memilah sampah, menanam pohon, mendaur ulang, membuat kompos, dan lainnya juga dapat membentuk kebiasaan yang positif. Pengelolaan sampah berkelanjutan memberikan dampak positif terhadap perubahan iklim dengan mengurangi emisi GRK. Pemilahan sampah dapat menjaga kualitas sampah, sehingga sampah masih layak dikelola dan dapat bernilai ekonomis. Selain itu, dengan mengurangi penggunaan sampah plastik, keanekaragaman hayati di darat dan di laut dapat terjaga, dan secara tidak langsung akan berdampak baik pada kualitas kesehatan manusia. Mengapa generasi muda? Generasi muda menjadi kunci keberhasilan program lingkungan ini karena merekalah yang akan menghadapi dampak dari keadaan lingkungan saat ini. Untuk membuat perubahan berkelanjutan, mereka harus sadar dan bertindak. Dengan pendidikan lingkungan yang konsisten dilakukan sejak dini, para siswa diharapkan terbiasa untuk mengaplikasikan kegiatan tersebut hingga dewasa. Dalam masyarakat, siswa adalah agen perubahan. Mereka memiliki kemampuan dan potensi untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan yang mereka peroleh di sekolah kepada keluarga dan komunitas mereka. Dengan menunjukkan contoh yang baik, mereka mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama untuk melindungi lingkungan, yang menghasilkan efek domino yang luas. Pengelolaan Sampah Berkelanjutan di Sekolah Pengelolaan sampah berkelanjutan memiliki 3 dimensi, yaitu stakeholder, waste system element, dan aspects (hmgp.geo, 2021). Tujuan pengelolaan sampah berkelanjutan adalah mengurangi dampak negatif sampah terhadap lingkungan dengan mempertimbangkan sektor lainnya. Sekolah berfungsi sebagai model untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat. Guru, murid, dan orang tua sebagai stakeholders, prinsip 3R sebagai waste system element, dan eveluasi bersama terkait dampak kegiatan terhadap sektor lainnya sebagai penunjang aspects. Stakeholders sebagai pelaksana program, memiliki kendali dalam mengarahkan alur kegiatan agar mencapai tujuan secara optimal. Karena itulah program ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa melibatkan orang tua dan guru sebagai role model bagi siswa. Kegiatan ekstrakurikuler atau proyek sekolah memungkinkan siswa berpartisipasi, memberi mereka kesempatan untuk belajar tentang pengelolaan sampah secara langsung. Guru membantu memasukkan materi lingkungan ke dalam pembelajaran dan menjadi suri tauladan yang baik bagi siswa. Orang tua dapat membantu dengan mendorong anak-anak di rumah dengan mencontohkan tindakan cinta lingkungan (Masruroh, 2018). Dengan ini, pengelolaan sampah berkelanjutan di sekolah dapat dilakukan dengan baik dan memiliki manfaat jangka panjang. Di sekolah, waste system element mencakup hal-hal sederhana, yaitu pemilahan dan 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Pemilahan sampah dimulai dengan menyediakan tempat sampah terpisah untuk sampah organik, anorganik, dan berbahaya. Siswa dilatih untuk membuang sampah sesuai kategorinya. Lalu, siswa juga diajarkan 3R, yaitu mengurangi konsumsi yang penghasilkan sampah, memakai kembali sampah yang masih berkualitas baik dan aman digunakan, dan mendaur ulang sampah. Daur ulang adalah proses pengumpulan dan pemrosesan bahan yang dapat digunakan kembali, seperti membuat kerajinan dari plastik dan membuat kompos dari sampah organik. Dan terakhir, evaluasi program dilaksanakan untuk merefleksikan kembali hal-hal yang sudah dicapai maupun yang belum dicapai. Disini, semua sumber daya manusia ikut terlibat. Diskusi mencakup dampak yang terjadi pada sektor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, kesehatan, dan lainnya. Langkah ini bertujuan agar program tetap berlanjut dengan ditingkatkan keefektivitasannya sesuai dengan hasil evaluasi. Untuk memulai program ini, alat dan sumber daya seperti tempat sampah terpisah, bahan edukasi, alat daur ulang sederhana, dan ruang kompos sangat diperlukan. Sumber daya manusia, seperti siswa yang antusias, guru yang terlatih, dan orang tua yang peduli, sangat penting. Sekolah dapat mendapatkan dana dari anggaran sendiri atau melalui kerja sama dengan pemerintah atau organisasi lingkungan. Dan dengan dilakukan secara konsisten dan meningkat levelnya seiring berjalannya waktu, siswa dapat memahami dan mampu berkontribusi dalam pengelolaan sampah yang lebih efektif di masyarakat. Penutup Sebagai bagian dari pelaksanaan SDG 4, 13, 14, dan 15 di sekolah, artikel ini menekankan pentingnya pendidikan lingkungan dengan pengelolaan sampah berkelanjutan. Kita dapat membentuk agen perubahan yang berkomitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dengan memberikan generasi muda pendidikan berkualitas tinggi dan pengalaman praktis. Mudah-mudahan upaya ini tidak hanya meningkatkan kesadaran individu tetapi juga memiliki dampak jangka panjang pada masyarakat luas. Untuk mewujudkan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan, mari kita mendukung dan aktif berpartisipasi dalam program lingkungan di sekolah. The only way forward, if we are going to improve the quality of environment, is to get everybody involved – Richard Rogers REFERENSI Ahsanti, A., Husen, A., dan Samadi. (2022). Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat dalam Mitigasi Perubahan Iklim: Suatu Telaah Sistematik. Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan. 11: 19-26. DOI: 10.21009/jgg.v11i1.19276. Copernicus Climate Change Service. (2024). Copernicus: 2023 is the hottest year on record, with global temperatures close to the 1.5°C limit. hmgp.geo. (2021). Pengelolaan Sampah dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan (Waste Management in the Context of Waste Management). Hayati, RS. (2020). Pendidikan lingkungan berbasis experiential learning untuk meningkatkan literasi lingkungan. Humanika. 20(1):63-82. DOI: 10.21831/hum.v20i1.29039.63-82. Masruroh. (2018). Membentuk Karakter Peduli Lingkungan dengan Pendidikan. Jurnal Geografi Gea. 18(2):130. DOI: 10.17509/gea.v18i2.13461. Our World in Data. (2024). Breakdown of carbon dioxide, methane and nitrous oxide emissions by sector. Rahayu, L. (2022). Peningkatan Pendidikan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Melalui Gerakan Peduli dan Berbudaya Lingkungan Hidup di Sekolah. Ekalaya: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Indonesia. 1.:279-283. DOI: 10.57254/eka.v1i3.42. SIPSN. (2023). Capaian Kinerja Pengelolaan Sampah. World Bank Group. (2021). Pembuangan Limbah Plastik dari Sungai dan Garis Pantai di Indonesia.