fbpx
https://images.app.goo.gl/uRifE6rwpnJ2Z2Va7

Bersinergi Ciptakan Sekolah Aman dari Kekerasan Seksual: Langkah Nyata Menuju Kesetaraan Gender?

        Institusi pendidikan sejatinya merupakan lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan kondusif bagi para siswa untuk menuntut ilmu dan mengembangkan diri. Namun, realita yang terjadi justru sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam artikel berita kompas.com (10/10/2023) yang menunjukkan, sepanjang periode Januari hingga Agustus 2023, ada 861 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak yang terjadi di lingkup satuan Pendidikan. Dari total kasus tersebut, jenis Dari total kasus tersebut, jenis pelanggaran dengan angka tertinggi adalah kekerasan seksual, dengan jumlah mencapai 487 kasus. Betapa mirisnya, tempat yang semestinya mencerahkan malah memupuk trauma mendalam bagi para korbannya.

       Angka tersebut bahkan diyakini jauh lebih besar lagi mengingat banyak kasus yang tidak terungkap atau tidak dilaporkan karena berbagai faktor. Laporan World Health Organization WHO pada 2022 dalam teknokra (25/3/2024) menyebutkan, bahwa 9 dari 10 korban kekerasan seksual tidak melapor. Artinya, jika laporan tersebut dipakai dalam konteks Indonesia, jumlah kasus kekerasan seksual di sekolah bisa berkali-kali lipat dari laporan yang ada.

        Salah satu faktor yang menjadi penyebab banyak kasus kekerasan seksual di sekolah tidak terungkap adalah rasa takut akan ancaman dari pelaku yang menghalangi untuk melapor, sehingga korban semakin merasa terintimidasi dan takut untuk bersuara. Faktor lain adalah stigma masyarakat yang menganggap terjadinya kekerasan seksual sebagai aib yang harus ditutupi, turut menyebabkan keengganan korban melaporkan peristiwa yang dialaminya dan lebih memilih untuk diam (Wijayanti dan Luh, 2023). Korban merasa malu, bersalah, dan khawatir akan dihakimi oleh lingkungan sekitarnya jika berbicara terus terang.

       Di balik fenomena kekerasan seksual di sekolah yang tidak terungkap, terselip akar permasalahan yang lebih besar, yakni budaya patriarki dan ketimpangan gender yang masih mengakar kuat di masyarakat kita. Budaya patriarki menciptakan relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya bentuk kekerasan kekerasan seksual. Jika kita menilik lebih dalam, realita kekerasan seksual di sekolah sebenarnya merupakan cerminan dari ketimpangan gender yang masih terjadi di lingkungan pendidikan kita. Hal ini dapat dilihat dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam artikel berita detiknews (28/12/2021), dimana mayoritas pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan adalah pendidik/guru (55,55%), kepala sekolah/pimpinan pondok pesantren (22,22%), pengasuh (11,11%), tokoh agama (5,56%), dan pembina asrama (5,56%). KPAI mencatat 19 pelaku kekerasan seksual untuk 18 kasus, dengan mayoritas korbannya adalah anak perempuan (126 dari 207 orang).

        Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan agenda kesetaraan gender yang menjadi salah satu inti dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. SDGs nomor 5 secara khusus menekankan pentingnya mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.

       Bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan kesetaraan gender yang sesungguhnya jika masih ada anak-anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksualdi sekolah, tempat yang seharusnya menjadi lingkungan paling aman bagi mereka?

      Realita kekerasan seksual di sekolah menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan kita masih gagal dalam melindungi hak-hak anak perempuan dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan. Padahal, pemenuhan hak-hak dasar anak perempuan, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan aman, menjadi salah satu prasyarat penting mencapai pembangunan berkelanjutan.

Sinergitas dari seluruh pihak

       Dampak traumatik yang dialami korban dari tindak kekerasan seksual di sekolah tentu sangat besar. Secara psikologis, korban bisa mengalami guncangan batin, rendah diri, rasa bersalah, hingga depresi. Korban juga berpotensi mengalami gangguan Kesehatan fisik. Hal ini tentu dapat mengganggu proses pendidikan dan berdampak pada prestasi akademik mereka. Banyak di antara para korban yang mengalami penurunan motivasi belajar, kesulitan berkonsentrasi, hingga akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah karena menanggung trauma yang mendalam.

       Melihat masalah ini, sudah sepatutnya semua pihak bersinergi untuk sama-sama menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dari ancaman kekerasan seksual.  Diperlukan komitmen, kerja sama, dan kontribusi nyata dari berbagai pihak agar kekerasan seksual ini bisa dipatahkan dan sekolah kembali menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para siswa untuk menimba ilmu pengetahuan dan mengembangkan keterampilannya.

      Upaya yang perlu dilakukan antara lain: Pertama, pihak sekolah harus memiliki peraturan dan sanksi yang jelas untuk menindak segala bentuk tindakan pelecehan dan kekerasan seksual. Tidak ada toleransi, apalagi pembiaran terhadap pelaku kekerasan. Korban pun harus mendapat pendampingan dan pemulihan secara menyeluruh. Kedua, sarana pelaporan dan pengaduan kasus harus disosialisasikan luas dan dikelola secara profesional, rahasia, dan aman. Ketiga, kampanye literasi dan budaya anti-kekerasan seksual perlu terus digalakkan. Keempat, kerjasama lintas pemangku kepentingan sangat dibutuhkan. Pihak sekolah bisa bermitra dengan organisasi masyarakat, lembaga bantuan hukum, psikolog, dan aparat penegak hukum untuk membentuk skema perlindungan dan pemulihan korban secara komprehensif. Kelima, penegakan hukum yang tegas dan proses peradilan yang kredibel terhadap pelaku kekerasan seksual harus diupayakan. Ini bukan saja untuk menghukum pelaku, tetapi juga mengirimkan pesan kuat bahwa tindakan kekerasan seksual tidak bisa ditolerir.

Merajut Masa Depan yang Lebih Baik

       Berbagai payung hukum telah diterbitkan oleh pemerintah guna merespons maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, seperti Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 73 Tahun 2022 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan. Hal ini membawa harapan bagi para korban kekerasan seksual di sekolah dalam mendapatkan perlindungan dan keadilan yang layak. Namun, Aturan hukum tersebut belumlah cukup jika tidak diimbangi dengan tindakan tegas dalam menjalankan regulasi didalamnya. Peran semua pihak dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual diperlukan agar kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah dapat menurun atau bahkan tidak ada lagi.

       Pada akhirnya, pemberantasan kekerasan seksual di sekolah dan upaya mewujudkan kesetaraan gender yang sesungguhnya membutuhkan langkah nyata dan sinergitas dari semua pihak. Kekerasan seksual di lingkungan sekolah merupakan permasalahan serius yang mengancam rasa aman dan keamanan para siswa-siswi dalam menuntut ilmu. Angka kasus yang terlaporkan diyakini jauh lebih kecil dibandingkan kenyataan, karena banyak korban yang tidak berani melapor akibat intimidasi pelaku, stigma masyarakat, dan rasa malu. Berbagai aturan dan regulasi telah diterbitkan untuk menangani masalah ini, namun dibutuhkan tindakan nyata dari semua pihak untuk mengimplementasikannya secara efektif

Dengan kolaborasi semua pihak, rasa aman di sekolah dapat dikembalikan. Para siswa-siswi bisa berkarya dan menuntut ilmu dengan tenang, tanpa diliputi ketakutan menjadi korban kekerasan seksual. Mari bersama kita wujudkan lingkungan sekolah yang aman dan bermartabat!

 

 

 

 

 

Referensi:

Vasudewa., R. P., Novianti., S. 2023. KPAI Sebut Ada 2.355 Kasus Pelanggaran Perlindungan Anak Selama 2023, 861 di Lingkungan Pendidikan. https://nasional.kompas.com/

Teknokra. 2024.  Opini : Melawan Pelecehan Seksual di Kampus. https://teknokra.co/

Wijayanti, N. S. T. P. L., & Suarya, L. M. K. S. (2023). Fenomena Victim Blaming Pada Korban Kekerasan Seksual. Psychopolytan: Jurnal Psikologi, 7(1), 12-20.

Timdetikcom. 2021. Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan 2021, KPAI: Pelaku 55% Guru. https://news.detik.com/

https://sdgs.ub.ac.id/inacol-sdgs/17-goals-bappenas/sdgs-5-kesetaraan-gender/