fbpx

Bercerita: Inovasi Pendidikan Inklusif dan Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Tantang terhadap tersedianya sebuah sistem pendidikan yang menjamin peningkatan mutu dan kualitas pemberian layanan Pendidikan bagi pelajar, menempatkan pemerintah pada situasi adaptasi yang terus bergerak dari waktu ke waktu. Upaya pemerintah dalam memberikan perbaikan terhadap infrastruktur pendidikan dan kualitas guru merupakan bentuk jaminan terhadap pemenuhan mutu Pendidikan yang dapat menjawab tantangan perubahan merupakan kunci dari keberhasilan pembangunan Pendidikan yang berkelanjutan. Sebagai bagian dari masyarakat global yang menghadapi tantangan seperti perubahan iklim, ketimpangan gender, dan kemiskinan, Pendidikan yang inklusif dan terbuka menjadi fondasi awal dalam mencapai masyarakat yang berkelanjutan, sebagaimana United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dalam Reimagining our Future Together (2021) menjelaskan perlu adanya pergeseran stigma sempit tentang Pendidikan menuju ke kontribusi dan keterlibatan serius terhadap tujuan-tujuan yang lebih besar.

Dalam Konteks ini, Indonesia dibawah kepemimpinan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Bapak Nadiem Makarim telah mengambil Langkah inovatif dengan memperkenalkan Kurikulum Merdeka dalam upaya meningkatkan kualitas Pendidikan. Lahir dari pengalaman akan kondisi darurat yang tercipta dari pandemi Covid-19, mengharuskan perubahan sistem Pendidikan yang secara terpaksa mengadaptasi penerapan kurikulum dalam kondisi khusus (Kurikulum Darurat) (Anggraeni et al., 2022). Kurikulum merdeka telah membuka ruang dengan memberikan keleluasaan bagi guru untuk menerapkan pendekatan baru dalam kegiatan pengajaran yang lebih relevan dan kontekstual, dengan berfokus pada potensi siswa. Pergeseran kontrol Pendidikan yang sebelumnya dibuat seragam dengan berbagai kerumitan administrasi telah menuju kearah peningkatan peran guru dalam memberikan warna dalam Pendidikan yang berfokus pada peningkatan kompetensi siswa.

Kebutuhan akan mutu Pendidikan yang baik tidak terbatas pada upaya membangun sebuah kelompok tenaga kerja yang dilengkapi dengan kemampuan dan pengetahuan yang menjawab tantangan perubahan, lebih jauh sistem pendidikan haruslah bisa melahirkan pengembangan karakter yang terbuka dalam menyambut pergeseran batasan dunia yang perlahan menjadikan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global. Perubahan konteks Pendidikan yang sebelumnya lebih berbasis pada pengetahuan dan keterampilan ke arah Pendidikan yang mampu merangkul pengembangan karakter adalah langkah penting dalam menciptakan Sumber Daya Manusia yang kompeten dengan kemampuan adaptasi dalam lingkungan yang inklusif.

Guru sebagai pusat dari penerapan kurikulum merdeka dituntut untuk menghadirkan kebaruan dan inovasi dalam sistem pembelajaran yang mengalami perubahan yang begitu drastis dari penerapan Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka. Salah satu inovasi pembelajaran yang dapat menyesuaikan kebutuhan Kurikulum Merdeka adalah melalui metode bercerita (storytelling), mengambil sebuah kutipan terkenal dari Albert Einstein “If you want your children to be smart, tell them stories. If you want them to be brilliant, tell them more stories.” Kutipan ini memberikan sebuah gambaran tentang kekuatan cerita dalam membentuk pikiran dan imajinasi anak-anak. Bercerita bukan hanya hiburan, lebih dari itu cerita menjadi sebuah sarana pembelajaran yang efektif dan multi fungsi. Merupakan bentuk pengajaran tertua yang tetap bertahan melalui berbagai perubahan, bercerita menjadi sebuah alat yang digunakan manusia dimasa lampau untuk mempersatukan komunitasnya, memberikan anak-anak jawaban atas pertanyaan terbesar tentang penciptaan, kehidupan, dan akhirat. Cerita mendefinisikan kita, mengendalikan kita, dan memainkan peran penting dalam membentuk identitas, kepribadian, dan cara kita berpikir serta bertindak sebagai manusia (TheFuturekid, 2020). Jika kita melihat Kembali pada zaman dahulu, tidak semua budaya manusia di dunia mengenal dan melek huruf, namun setiap budaya manusia telah mengenal cerita sebagai sebuah sarana menyampaikan berbagai informasi yang mengandung nilai-nilai kebiasaan dan kebudayaan manusia yang tumbuh di dalam komunitas masyarakat.

Bercerita(storytelling) didefinisikan sebagai kemampuan dalam penggunaan suara, ekspresi wajah, gerak tubuh, kontak mata, dan interaksi untuk menghubungkan suatu cerita dengan pendengar (Hsu, 2010). Sebuah cerita tercipta melalui interaksi searah yang terjadi diantara pendongen (orang yang menyampaikan cerita) dan penonton. Ketika seorang pendongen menyampaikan cerita yang disajikan dengan berbagai instrumen seperti suara dan gerak tubuh, penonton akan memberikan reaksi baik berupa tersenyum, menatap, atau berbagai bentuk umpan balik lain yang menunjukan bentuk reaksi terhadap cerita yang disampaikan. Mengapa bercerita memberikan kontribusi yang besar untuk pembelajaran? saya tahu muncul banyak pertanyaan kenapa saya memilih topik ini. Pemilihan topik ini didasarkan kepada sebuah kesadaran bahwa melalui ruang keleluasaan yang hadir melalui penerapan kurikulum merdeka, bercerita menjadi sebuah media yang sangat berguna dalam proses belajar dan mengajar. Melalui cerita yang disampaikan anak mendapatkan kesempatan untuk menjelajahi dunia yang penuh imajinasi, sebuah dunia yang sebelumnya belum pernah dibayangkan.

Vanessa Boris (2017), seorang Profesional dalam bidang komunikasi dan spesialis pengembangan audiens dengan pengalaman 20 tahun memberikan tiga poin penting terkait peran bercerita (storytelling) dalam membantu meningkatkan kualitas pembelajaran :

  1. Menghubungkan Pelajar

Sebuah cerita yang disajikan dengan baik tidak hanya akan membangun hubungan di antarapelajar, tetapi dapat menumbuhkan rasa keakraban dan kepercayaan. Penafsiran sebuah cerita akan sangat terpengaruh oleh pengalaman yang dialami pendengar, sehingga membuka kesempatan untuk peserta terus belajar. Cerita dapat dijadikan sebuah alat yang efektif dalam menyampaikan berbagai ide-ide yang kompleks dengan sajian yang sederhana dan mudah dipahami. Dengan menyajikan berbagai data dalam bentuk sebuah cerita maka menumbuhkan ketertarikan pada setiap pelajar.

  1. Sesuatu untuk Semua Orang

Paul Smith (2012) dalam bukunya “Leader as Storyteller: 10 Reasons It Makes a Better Business Connection” menjelaskan bahwa Dalam setiap kelompok, kira-kira 40 persen akan menjadi pelajar visual yang belajar paling baik dari video, diagram, atau ilustrasi. Sekitar 40 persen lainnya akan menjadi pelajar auditori, yang belajar paling baik melalui ceramah dan diskusi. Sisanya 20 persen adalah pelajar kinestetik, yang belajar paling baik dengan melakukan, mengalami, atau merasakan. Bercerita memiliki aspek-aspek yang cocok untuk ketiga jenis pelajar ini. Pelajar visual menghargai gambaran mental yang dihasilkan oleh cerita. Pelajar auditori fokus pada kata-kata dan suara dari pendongeng. Pelajar kinestetik mengingat hubungan emosional dan perasaan dari cerita tersebut”.

  1. Cerita Melekat

Bercerita mempermudah proses pembelajaran karena cerita cenderung lebih mudah diingat. Peg Neuhauser, seorang psikolog organisasi, menemukan bahwa pembelajaran yang diperoleh melalui cerita yang baik lebih akurat dan tahan lama dibandingkan pembelajaran yang hanya berisi data dan angka. Selain itu, penelitian oleh psikolog Jerome Bruner menunjukkan bahwa sebuah fakta memiliki kemungkinan 20 kali lebih besar untuk diingat jika disampaikan dalam bentuk cerita.

Bercerita merupakan instrumen yang dapat dimanfaat dalam memberikan kesempatan  lahirnya tatanan  pengajaran dan pembelajaran yang lebih inklusif dan terbuka bagi  masyarakat dan siswa yang kurang mampu.  Penggunaan kata kurang mampu disini merujuk pada kemampuan “bercerita” dalam menjembatani  ketimpangan kode Bahasa terperinci (elaborated code) dan  kode  Bahasa terbatas (restricted code).  Teori kode bahasa Bernstein  (2005) mendefinisikan kode terperinci sebagai sebuah kode Bahasa yang kompleks dan beragam, biasanya digunakan oleh kaum kelas menengah yang terdidik. Penggunaan kode ini identic dengan kosa kata yang luas dengan penyajian struktur yang rumit, dan mengekspresikan konsep abstrak. Sedangkan, kode terbatas adalah kode Bahasa yang sederhana biasanya digunakan oleh kaum kelas bawah seperti kelas pekerja dan masyarakat pedesaan. Kode ini identic dengan kosa kata yang terbatas, struktur yang sederhana dan focus pada pengalam pribadi dan asumsi. Bernstein berpendapat bahwa penggunaan kedua kode bahasa ini berdampak signifikan pada mobilitas sosial dan pencapaian pendidikan.

Penggunaan cerita dan bercerita dalam pengajaran dapat membantu “menyamakan kedudukan” bagi siswa dari latar belakang kelas pekerja yang tidak mudah mengakses kode terperinci akademis. Cerita membuat kurikulum lebih mudah diakses dan membantu mencapai inklusi . Masyarakat kelas pekerja atau yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin memiliki kesempatan dalam memahami pelajaran, dengan begitu mereka dapat mengecilkan gap dalam bidang Pendidikan yang tentunya akan memberikan implikasi pada peningkatan taraf hidup mereka dalam konteks ekonomi. Cerita dapat menjadikan konsep abstrak lebih mudah diakses dan dipahami oleh siswa, terutama yang tidak memiliki pengalaman atau latar belakang budaya yang sama dengan guru atau teman sekelas mereka. Selain itu dengan menghubungkan konsep abstrak ke contoh konkret dan pengalaman pribadi, guru dapat membuat pembelajaran lebih menarik dan bermakna serta mengurangi kerugian yang dihadapi oleh mereka yang tidak memiliki akses ke kode terperinci. Cerita memiliki bahasa yang akrab yang membuatnya mudah diikuti dan membantu siswa membuat kesimpulan bermakna setiap kali ada kata-kata yang tidak dikenal. Selain itu, cerita juga membantu siswa belajar dan menggunakan kode terperinci.

 

Anggraena, Y., Felicia, N., Eprijum, D., Pratiwi, I., Utama, B., Alhapip, L., & Widiaswati, D. (2022). Kajian akademik kurikulum untuk pemulihan pembelajaran.

Bernstein, B. (2005). Theoretical studies towards a sociology of language. Routledge.

Boris, V. (2017, December 20). What Makes Storytelling So Effective For Learning? Harvard Business Publishing.

Hsu, Y. (2010). The influence of English Storytelling on the Oral language complexity of EFL primary students. Unpublished Master’s Thesis). National Yunlin University of Science & Technology, Yunlin.

Smith, P. (2012). The leader as storyteller: 10 reasons it makes a better business connection. TLNT. Com, Sept.

TheFuturekid. (2020, May 29). The oldest form of education — Storytelling!

Unesco, P. (2021). Reimagining our futures together: A new social contract for education. Educational and Cultural Organization of the United Nations Paris, France.