Muhammad Iqbal Amien 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Mengenal apa itu Cycle of Poverty. Cycle of poverty atau ‘lingkaran kemiskinan’ merupakan kondisi kemiskinan ekstrem dan kronik yang diwariskan dari generasi ke generasi (Shlonsky, H. 1984). Kondisi ini seringkali ditemukan pada kawasan permukiman kumuh dan dapat terjadi ketika seorang anak terlahir pada keluarga dengan tingkat kemiskinan ekstrem dan tidak memiliki kesempatan untuk membuat perubahan yang dapat meningkatkan kualitas hidup dirinya sendiri hingga anak-anaknya nanti. Ilustrasi oleh Penulis Dari awal saja, keluarga yang hidup dalam kemiskinan seringkali tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan bahkan yang paling mendasar sekalipun dari anaknya, seperti: Malnutrisi yang memengaruhi kualitas kesehatan dan perkembangan otak. Akses terhadap air bersih dan sanitasi yang minim menyebabkan rentan terhadap penyakit menular. Tidak dapat menjangkau fasilitas kesehatan sehingga kurang jaminan kesehatan. Minim akses pendidikan layak yang berujung pada kurangnya kesempatan kerja dan kemampuan intelektual yang rendah. Tidak dapat dipungkiri bahwasannya lingkaran kemiskinan ini merupakan kondisi multidimensi yang dipengaruhi dan disebabkan oleh banyak aspek dan sektor. Mulai dari sosial, ekonomi, politik, lingkungan hingga pendidikan. Namun disini penulis akan mencoba berfokus pada bahasan di sektor pendidikan dengan parameter kawasan permukiman kumuh. Mengapa di Kawasan Permukiman Kumuh (Slum Area)? Kawasan kumuh sering didefinisikan sebagai area tak layak huni dengan kualitas kesejahteraan yang buruk. Kawasan kumuh sendiri terbentuk dari marginalisasi dan segregasi sosial dimana penduduk berpendapatan rendah cenderung berkumpul lalu mempersempit area huniannya dengan alasan untuk mendapatkan akses (dalam konteks jarak) yang baik ke pusat CBD namun dengan harga sewa/beli hunian yang murah. Maka dari itu segregasi ini juga yang membuat kawasan kumuh erat kaitannya dengan kemiskinan dan sangat berpotensi memunculkan lingkaran kemiskinan. Selanjutnya untuk memahami keterkaitan antara permukiman kumuh dengan kualitas pendidikan kita dapat merujuk pada konsep yang dikemukakan Arthur O’Sullivan dalam bukunya Urban Economics. O’Sullivan menjelaskan bahwa produktivitas pendidikan dapat dipengaruhi dua faktor yaitu The Home Environment (lingkungan rumah) dan Peer Effect (efek pergaulan). Maka dari itu, berikut analisis kondisi dua faktor tersebut dalam konteks lingkungan permukiman kumuh. 1. The Home Environment: Orang tua menghabiskan waktu dan fokusnya terlalu banyak pada pekerjaan sehingga minim perhatian dan support kepada anak. Orang tua tidak mampu menyediakan peralatan sekolah yang maksimal karena keterbatasan ekonomi. Orang tua relatif kurang bisa menjadi panutan. Beberapa kasus orang tua justru mendorong anak untuk langsung bekerja daripada menempuh pendidikan. 2. Peer Effect: Kurangnya teman sebaya yang dapat memunculkan motivasi untuk bersaing dalam hal belajar. Kurangnya sosok idola atau role model yang dapat membangkitkan keinginan dan semangat untuk melakukan perubahan. Pengaruh negatif dari lingkungan pergaulan yang bebas. Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa pada kawasan kumuh produktivitas pendidikan yang dihasilkan akan sangat rendah. Selanjutnya isu ini menjadi lebih mengkhawatirkan ketika pertumbuhan kawasan kumuh terus berjalan. Menurut konsep The New Urban Agenda, diprediksi 2/3 penduduk di dunia akan tinggal di perkotaan. Perkotaan sendiri secara umum dibagi menjadi pusat perekonomian (CBD Area), pusat pelayanan publik dan area hunian. Area hunian dapat dibagi menjadi suitable dan unsuitable (kumuh). Statistik dan tren dari pertumbuhan permukiman kumuh inilah yang menjadi isu. Menurut UN Habitat, saat ini diperkirakan 1 miliar orang tinggal di permukiman kumuh dan diprediksi jika tidak segera ditangani angka dapat membesar sampai 2 miliar orang pada tahun 2030. Di Indonesia sendiri mengambil contoh DKI Jakarta, sebesar 42,73% merupakan urban slum household (BPS 2020). Angka ini sangat fantastis mengingat hubungan antara permukiman kumuh dan lingkaran kemiskinan itu begitu dekat. Pendidikan Berkualitas untuk Memutus Lingkaran Kemiskinan. Setiap anak sejatinya merupakan bakal calon pemimpin masa depan dan setiap individu berhak untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan yang layak. Sekolah memiliki peran penting untuk mengembangkan berbagai keterampilan seperti keterampilan kognitif dari yang sederhana seperti baca tulis hitung hingga kemampuan untuk berpikir kritis, kemampuan sosial seperti cara bersosialisasi dan membuat keputusan yang bijak hingga kemampuan fisik. Namun kenyataannya fasilitas pendidikan yang bisa diakses oleh anak-anak dari kaum marginal cenderung di bawah standar yang ada. Tidak jarang kita menemukan fenomena bahwa sekolah dengan kualitas terbaik memerlukan biaya yang mahal. Maka suntikan pendidikan harus segera diberikan kepada mereka yang memiliki keterbatasan dalam mengaksesnya. Menurut O’Sullivan setidaknya ada tiga hal yang harus dipastikan terpenuhi untuk dapat mengatasi ketimpangan pendidikan ini. Adequacy: Setiap sekolah harus memastikan kualitas pendidikan yang diberikan memenuhi/melebihi standar nasional. Acces Equality: Setiap golongan masyarakat harus memiliki akses yang setara pada pendidikan berkualitas. Equality: Setiap sekolah harus memberikan pelayanan yang setara tanpa memandang status sosial maupun latar belakang muridnya. Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa pemberdayaan pemimpin masa depan bersifat inklusif, mencakup seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali dan tidak terbatas hanya pada komunitas-komunitas tertentu yang lebih beruntung atau memiliki akses lebih baik. Keberagaman sumber daya dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya akan menciptakan kolaborasi yang jauh lebih baik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Card dan Payne pada tahun 2002, ketika ketimpangan pengeluaran untuk pendidikan diatasi, terjadi perbedaan efek pada tiga golongan. Pada golongan low spending terjadi kenaikan sebesar 27%, pada golongan medium spending terjadi kenaikan sebesar 15% dan pada golongan high spending tidak ada perubahan signifikan yang terjadi. Hal ini memperlihatkan bahwasannya ketika penyetaraan akses dalam pendidikan dilakukan, terjadi dampak yang sangat baik untuk mereka anak-anak yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah. Anak-anak yang berhasil mendapatkan akses terhadap pendidikan yang layak dan berkualitas ini diharapkan dapat memutus siklus kemiskinannya dengan kesempatan kerja yang lebih layak serta dapat membuat perubahan pada hidup mereka. Mereka yang berhasil lepas dari lingkaran ini dapat membangun keluarga yang berkecukupan dan mampu menyediakan fasilitas-fasilitas yang dulunya tidak mereka dapatkan kepada anak-anak mereka. Lalu mereka yang sudah meningkat kualitas hidupnya ini akan memiliki keinginan yang kuat untuk kembali dan membangun komunitas asalnya serta membantu keluarga lain Mereka paham sekali bagaimana kesulitan dan tantangan yang dulu dihadapi sehingga mereka akan menggunakan kesuksesan yang telah diraih untuk membuka jalan bagi yang lain. Hal ini akan menjadi domino kebaikan yang diharapkan akan terus berjalan. Ilustrasi Oleh Penulis Dengan demikian, memberikan akses pendidikan berkualitas pada kawasan permukiman kumuh tidak hanya meningkatkan kualitas hidup individu anak-anak di kawasan tersebut melainkan juga sebagai rantai usaha pengangkatan kemiskinan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan di Indonesia. Referensi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2020). Kawasan kumuh. Data Informasi Kementerian PUPR. https://data.pu.go.id/dataset/kawasan-kumuh O’Sullivan, A. (2012). Urban Economics (8th ed.). McGraw-Hill/Irwin. Statistics Indonesia (BPS). (2020). Percentage of urban slum households (40% and below) by province. https://www.bps.go.id/en/statistics-table/2/MTU2MSMy/percentage-of-urban-slum-households–40–and-below—by-province.html Shlonsky, H. (1984). Continuity in Poverty Along Family Lines: A Reexamination of the Intergenerational Cycle of Poverty. Human Relations, 37, 455 – 471. https://doi.org/10.1177/001872678403700603. United Nations. (2023). Goal 11: Make cities and human settlements inclusive, safe, resilient, and sustainable. United Nations Sustainable Development Goals. https://unstats.un.org/sdgs/report/2023/goal-11/#:~:text=Approximately%201.1%20billion%20people%20currently,convenient%20access%20to%20public%20transportation