fbpx

Sebuah Privilege untuk Bisa Bersekolah di Pulau Jawa

Anak yang bisa bersekolah di Pulau Jawa sudah termasuk mempunyai privilege. Begitu kesan yang saya dapat setelah saya pulang dari menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu pulau terpencil dan terluar di Indonesia. Privilege, satu kata yang belakangan ini sangat sering dipakai oleh Gen-Z, suatu ungkapan yang mengartikan bahwa seseorang bisa mempunyai akses lebih dibanding orang lain, memiliki dukungan, memiliki koneksi, yang bisa menaikkan karir seseorang. Privilege sering disandingkan dengan latar belakang keluarga yang mapan, orang tua yang memiliki pangkat, dan lain sebagainya. Namun, bagi saya, semua orang yang berkesempatan mengenyam pendidikan di Pulau Jawa, sudah mempunyai privilege itu. Tidak percaya? Akan saya jabarkan buktinya satu persatu.

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan menjalankan KKN di Pulau Karatung, suatu pulau kecil yang sudah hampir berbatasan dengan Negara Filipina. Sebuah pulau kecil di ujung utara Indonesia, menjadi bagian dari Pulau Sulawesi, yang memerlukan perjalanan 4 hari 4 malam dengan kapal apabila kita berangkat dari Talaud, Kabupaten dari Pulau Karatung. Pulau ini merupakan sebuah pulau kecil yang hanya berisikan 3 desa. Terdapat 4 sekolah di pulau ini, diantaranya 2 SD, 1 SMP, dan 1 SMA. Di atas kertas, mungkin pendidikan di Pulau ini akan terlihat baik-baik saja, namun kenyataannya, masih jauh dari bayangan kami semua. Selama 2 bulan di pulau ini, selain melakukan berbagai program kerja, kami juga membagi tugas menjadi guru di sekolah, sesuai dengan keahlian kami masing-masing. Ada yang mengajar matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA, IPS, dan lain sebagainya.

Melalui kegiatan belajar mengajar ini, kami terbenturkan dengan suatu realita, bahwa kemampuan belajar anak-anak disini jauh berbeda dengan anak-anak di Pulau Jawa. Murid kelas 6 SD masih kesulitan membaca dan menulis. Murid SMA yang bahkan belum dapat mengeja kata dalam kalimat dengan tepat. Kemampuan Bahasa Inggris yang jauh dari kurikulum yang ada, bahkan murid SMA masih belum bisa melakukan perkenalan diri dalam Bahasa Inggris. Seiring berjalannya waktu, satu dua hal muncul ke permukaan, seakan ingin menunjukkan akar masalah yang ada. Guru-guru di sekolah yang masih kurang, satu mata pelajaran hanya mempunyai satu orang guru, hingga guru yang tidak masuk ke dalam kelas sehingga murid mempunyai banyak jam kosong. Alhasil, para murid menggunakan jam kosong untuk bermain voli, dan kemudian saat jam 12 siang mulai berlarian untuk kabur dari sekolah.

Sarana prasarana di sekolah juga menjadi sumber masalah. Di dalam kelas tidak ada layar proyektor, tidak semua kelas mempunyai spidol papan tulis, dan murid-murid hanya dapat belajar dengan buku tulis. Mereka tidak mempunyai buku cetak ataupun buku tematik. Buku cetak hanya dimiliki oleh guru. Menurut saya, kenyataan ini adalah sesuatu yang miris. Bagaimana mungkin seorang murid dapat menguasai bahan pembelajaran apabila mereka tidak mempunyai buku cetak? Sedangkan di kelas pun para guru tidak menulis di papan tulis, lalu bagaimana mereka dapat belajar dengan baik? Bukankah ini merupakan suatu kesenjangan yang sudah diluar bayangan kita semua?

Program mengajar kami selama di KKN seakan memberi hembusan angin segar bagi anak-anak di Pulau Karatung, mulai dari murid SD hingga SMA, kami mengisi kelasnya setiap hari.

“Baru kali ini saya merasa bisa memahami pelajaran kimia kak”, ucap seorang murid setelah diajar teman saya dari jurusan Peternakan. “Diajar oleh kakak-kakak sangat asik, mudah dipahami, dan membuat kami semangat untuk berangkat ke sekolah”, ucap murid lain yang saya ajar Biologi di SMA. “Saya berharap bisa diajar kakak-kakak untuk seterusnya, tidak hanya selama 1 bulan”, ucap murid lain lagi.

Bahkan acap kali, murid-murid sendiri yang inisiatif meminta kami memberi mereka pekerjaan rumah (PR) untuk dapat dibawa pulang dan menjadi bahan pembelajaran mandiri. Disini saya benar-benar tersentuh dengan semangat belajar mereka, semangat yang bahkan tidak pernah saya lihat dan alami seumur hidup saya.

Program mengajar kami sudah memberikan kesan yang mendalam bagi para murid. Mereka memahami konsep dasar dalam mempelajari setiap mata pelajaran, membentuk pola pikir mereka bahwa seseorang harus bersekolah yang tinggi, harus terus mengenyam pendidikan, karena terinspirasi oleh kakak-kakak yang mengajar mereka. Kedatangan kami juga memberi mereka cita-cita dan harapan, membuat mereka mampu bermimpi, untuk bisa menjadi seorang yang sukses di masa depan, sesuai dengan bidang yang mereka gemari. Dan yang terakhir, membentuk semangat belajar yang tinggi, yang apabila tidak ada tindak lanjut segera, semangat itu akan segera kembali hilang dan padam.

Selama kami menjalani KKN di Pulau Karatung, kami disambut dengan sangat baik. Kami sangat dihormati, selalu dihargai, dan bahkan disediakan makanan tiap harinya. Setiap Rukun Tetangga (RT) setiap hari bergantian memberikan kami sajian makanan yang lezat dan lengkap, karbohidrat, protein, serat, semuanya sudah tersaji dengan hangat diatas meja makan. Dibalik ketulusan warga Pulau Karatung kepada kami, terdapat sebuah harapan besar dalam hati mereka masing-masing. Mereka sangat berharap, bahwa kami yang berasal dari salah satu universitas besar di Indonesia, bisa segera lulus dan menjadi orang yang sukses, menjadi pejabat dan petinggi pemerintahan, agar dapat membuat Indonesia memperhatikan Pulau Karatung. Sekian tahun berlalu setelah negara ini dibangun, namun mereka merasa tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah.

“Begitulah namanya juga perbatasan, semuanya serba terbatas. Apapun yang ada di sini, semua harus disyukuri” ucap seorang perawat desa di Pulau Karatung ketika kami membahas kondisi dari pulau ini.

Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 mengatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, namun pendidikan seperti apa yang harus negara berikan? Pendidikan yang hanya menjadi formalitas untuk memperoleh ijazah, atau pendidikan berkualitas yang dapat membantu warganya menjadi maju, dan dengan demikian dapat memberikan kontribusi kepada negara? Pasal 28C ayat 1 UUD 1945 mengatakan bahwa “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Melihat dari realita pendidikan di Pulau Karatung, apakah kualitas pendidikan seperti itu dapat meningkatkan kualitas hidup mereka?

Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) pada tahun 2021 pernah merilis hasil UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer). Hasilnya, dari 1000 sekolah yang termasuk dalam peraih nilai UTBK tertinggi, 806 sekolah berasal dari Pulau Jawa, dan sisanya dari luar Pulau Jawa. Artinya, empat dari lima sekolah yang memperoleh nilai tertinggi tersebut berasal dari Pulau Jawa. Suatu ketimpangan yang dapat terlihat dengan sangat jelas. Bukankah semakin jelas terlihat bahwa dapat bersekolah di Pulau Jawa sungguh sudah merupakan hal yang harus disyukuri dan merupakan suatu privilege?

Beberapa waktu lalu media memberitakan bahwa pemerintah akan mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar Rp660,8 triliun atau 20% pada APBN 2024. Kira-kira niat yang terlihat baik ini akan seperti apa eksekusinya? Apakah anggaran akan banyak dikeluarkan untuk pertukaran pelajar ke luar negeri yang memakan biaya terbesar tahun lalu? Atau akan digunakan untuk berbagai perjalanan dinas dan kegiatan formalitas lainnya yang hanya akan menghabiskan biaya? Indonesia masih memiliki cita-cita besar untuk menuju Indonesia Emas 2045, melihat kenyataan diatas, apakah cita-cita tersebut terlalu tinggi untuk bisa dicapai?

Indonesia memiliki banyak potensi. Anak-anak bangsa ini cerdas, tekun, dan mau dibina, asalkan diarahkan dengan benar. Sudah sewajarnya negara bisa menjadi wadah untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas, untuk mempersiapkan anak-anak bangsa menjadi lebih baik lagi dan menjadi lebih siap untuk memberikan sumbangsih di masa depan. Indonesia bukan hanya Pulau Jawa saja, semua desa dan pulau diluar Jawa, juga merupakan bagian dari Indonesia. Pemerintah harus berhenti menjadikan Pulau lain sebagai anak tiri, dan mulai memberikan perhatian lebih, untuk kemajuan kualitas pendidikan mereka. Anak-anak bangsa dari Sabang hingga Merauke, memiliki potensi mereka masing-masing, dan memiliki hak yang sama, untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dari negara ini.

Daftar Pustaka

Habibah, A.F. (2023) Kemendikbudristek: Hampir 500 Ribu Mahasiswa Ikuti program MBKM, Antara News. Available at: https://www.antaranews.com/berita/3385980/kemendikbudristek-hampir-500-ribu-mahasiswa-ikuti-program-mbkm (Accessed: 09 June 2024).

Ihsan, D. (2021) Sekolah Terbaik Indonesia Masih didominasi Pulau Jawa halaman all, KOMPAS.com. Available at: https://duniakuliah.kompas.com/read/2021/10/07/061100071/sekolah-terbaik-indonesia-masih-didominasi-pulau-jawa?page=all (Accessed: 09 June 2024).

Redaksi (2023) Anggaran Pendidikan 2024 tembus RP660,8 T, Buat Apa Saja?, CNBC Indonesia. Available at: https://www.cnbcindonesia.com/news/20231012100655-4-479927/anggaran-pendidikan-2024-tembus-rp6608-t-buat-apa-saja (Accessed: 09 June 2024).