fbpx

Relevansi Perjalanan Pendidikan Nasional

Guru yang mempelajari filsofi pendidikan nasional berguna untuk memahami dasar-dasar  pendidikan nasional yang akan menjadi landasan sehingga dapat mendalami pemahaman tentang pendidikan dari berbagai perspektif. Selain itu dengan mengikuti filososfi pendidikan mampu mendalami landasan sistem pendidikan serta mengetahui kekurangan dan kelebihan sehingga mampu untuk berkontribusi dalam perbaikan maupun pengembangan dari sistem pendidikan.

Ki Hajar Dewantara berkata bahwa, “Anak-anak tumbuh berdasarkan kekuatan kodratnya yang unik,” yang mana guru yang mampu mendidik serta membimbing peserta didik sesuai kodratnya dan mengembangkan minat dan bakat peserta didik. Sebagai seorang guru haruslah berpihak kepada peserta didik, karena tugas guru adalah mengajar dan mendidik. Selain itu, sesuai dengan pendapat Ki Hajar Dewantara, seorang guru juga bertugas menuntun, dan mengembangkan potensi yang ada pada diri peserta didik. Agar bisa menjadi guru yang berpihak pada peserta didik perlu mengenali karakteristik peserta didik terlebih dahulu, memahami perbedaan dan kebutuhan peserta didik. Kemudian membuat lingkungan dan suasana yang nyaman bagi peserta didik. Membangun komunikasi yang baik serta membimbing sosial emosional peserta didik. Melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, serta aktif sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik.

Ki Hajar Dewantara mengungkapkan asas Tri-Con yakni yang mengajarkan, bahwa di dalam pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus kontinuitas dengan alam kebudayaannya sendiri, lalu konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada, dan akhirnya bersatu dalam alam universal. Dengan begitu, masyarakat dapat mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang konsentris, yakni bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia, tetapi masih memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah suatu bentuk dari sifat “Bhineka Tunggal Ika”.

Kemerdekaan nusa dan bangsa untuk mengejar keselamatan dan kebahagiaan rakyat, tidak mungkin tercapai hanya dengan jalan politik. Selalu ada hubungan yang baik dan erat antara pergerakan pendidikan dan kebudayaan Taman siswa dengan pergerakan politik.

Para pemimpin yang berpolitik buah hasil dari pendidikan pada zaman belanda yang mengakibatkan terasing dan hilangnya dasar-dasar nasional. Penguasa bangsa Belanda di Indonesia sebenarnya sama sekali tidak memperhatikan soal pendidikan kebudayaan. Mereka semata-mata mementingkan pengajaran, yang intelektualitas serta materialistis, Pendidikan kecerdasan pikiran harus ada pendidikan yang kultural. Ki Hajar Dewantara berkata untuk mendidik anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri. Di samping itu pelajarilah hidup kejiwaan rakyat kita, dengan adat  istiadatnya yang dalam hal ini bukan hanya meniru secara mentah-mentah, namun karena adat istiadat itu merupakan petunjuk- petunjuk yang berharga.

Baru pada tahun 1920 timbullah cita-cita baru, yang menghendaki perubahan radikal dalam lapangan pendidikan dan pengajaran. Cita-cita baru tadi seakan-akan merupakan gabungan kesadaran kultural dan kebangkitan politik. Pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara diciptakan “Taman Siswa” di Yogyakarta.

Bahwa aliran Taman siswa itu sebenarnya sudah terkandung dalam jiwa rakyat diseluruh tanah air, adalah terbukti dengan berdirinya perguruan-perguruan Taman siswa di seluruh kepulauan Indonesia. Juga sekolah-sekolah yang berdasarkan “keagamaan” sekolah partikelir yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, di samping dasar-dasar keagamaannya masing-masing, memasukan juga dasar dan semangat  revolusioner. bermanfaat dan efisien dapat ikut serta dalam segala usaha kenegaraan baik dalam gerakan revolusi maupun dalam usaha pembangunan bangsa dan negara.

Bersamaan dengan penyusunan Undang-undang Dasar (UUD), bekerja pula dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) suatu Sub-Panitia Pendidikan dan Pengajaran untuk menyusun rencana pengajaran bagi Indonesia merdeka nanti.

BP KNIP dalam sidangnya tanggal 29 Desember 1945 mengusulkan kepada, Kementerian Pengajaran untuk selekas mungkin mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan UUD.

Kemudian pada tahhun 1950-1960 paham liberalisme dalam bidang pendidikan dan kebudayaan menimbulkan beberapa hal yang kurang menguntungkan, yaitu:

  • Pendidikan dan kebudayaan menjadi ajang pertengkaran paham. Karena banyaknya partai politik di Indonesia, maka mereka saling menanamkan pengaruhnya pada tujuan pendidikan.
  • Timbulnya intelektualisme dan verbalisme. Pendidikan selalu berorientasi ke negara-negara Barat, akibatnya pelajaran hanya bersifat verbalistis. lntelektualisme dan feodalisme makin meluas.
  • Timbulnya individualisme. Pada umumnya para pemuda ingin mencapai ijazah negeri yang setinggi-tingginya agar nanti dapat menjadi pegawai tinggi Ini mengakibatkan mereka mementingkan diri sendiri.
  • Timbulnya orang-orang yang mencari untung lewat pendidikan Karena adanya kebebasan pihak swasta untuk menyelenggarakan pendidikan dan kurangnya pengetahuan.
  • Timbulnya rongrongan terhadap kebudayaan nasional Dengan adanya sistem liberal ini, masyarakat bebas mengusahakan kebudayaan. Akibatnya kebudayaan Indonesia terancam dan masuklah kebudayaan asing.

Semua program yang telah dibentuk oleh delapan kabinet 1951-1959, kemudian dikelompokkan menjadi 4 program sebagai berikut:

  • Mengusahakan konsepsi sistem pendidikan nasional dengan undang-undangnya.
  • Mengusahakan pendidikan dan pengajaran secara luas dan merata dalam rangka mencerdaskan bangsa.
  • Mengusahakan konsepsi kebudayaan nasional serta usaha-usaha pembinaan dan pengembangannya.
  • Mengusahakan struktur organisasi yang sesuai guna mencapai usaha-usaha yang telah direncanakan.

Pada tahun 1854, beberapa bupati menginisiasi pendirian sekolah kabuten yang hanya mendidik calon pegawai.Kemudian di tahun yang sama Sekolah Bumi putera lahir dan hanya memiliki tiga kelas, rakyat hanya diajari membaca, menulis, dan menghitung seperlunya dan hanya mendidik orang-orang pembantu dalam mendukung usaha dagang mereka. Pemerintah Hindia Belanda memberikan kelonggaran kepada para calon murid dokter jawa untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran 

Dalam menghadapi tantangan membangun negara, Gerakan Taman Siswa dan ideologi Ki Hadjar Dewantara menginspirasi pembentukan sistem pendidikan nasional yang lebih inklusif. Pendidikan diarahkan untuk menciptakan warga negara yang cerdas, berakhlak, dan memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan bangsa. Pendidikan berbasis karakter dan kemandirian yang diperjuangkan oleh Gerakan Taman Siswa terus menjadi landasan bagi perkembangan pendidikan nasional setelah kemerdekaan. Prinsip-prinsip ini tercermin dalam sistem pendidikan Indonesia yang diakui secara nasional.

Ki Hadjar Dewantara diakui sebagai pahlawan nasional pada tanggal 3 Agustus 1959. Pengakuan sebagai pahlawan nasional menunjukkan penghargaan atas peran besar Ki Hadjar Dewantara dalam transformasi pendidikan di Indonesia. Warisan Gerakan Taman Siswa terus memengaruhi kebijakan pendidikan, dengan prinsip-prinsipnya terintegrasi dalam kurikulum dan pendekatan pembelajaran. Prinsip-prinsip seperti pendidikan untuk semua, pengembangan karakter, dan kebebasan berpendapat masih menjadi pijakan dalam pembentukan system Pendidikan.

Pada masa periode demokrasi terpimpin, tanggal 10 Oktober 1960 Menteri PP & K Dr. Prijono mengeluarkan Instruksi No. 2, yang memuat konsepsi “Sistem Pendidikan Panca Wardhana”. Instruksi Menteri PP & K ini antara lain memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. Menegaskan Pancasila dan Manipol sebagai pelengkapnya, sebagai asas Pendidikan Nasional;
  2. Menetapkan Panca Wardhana sebagai sistem pendidikan yang berisikan prinsip-prinsip: (a) Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional, internasional, dan keagamaan; (b) Perkembangan kecerdasan; · (c) Perkembangan emosional-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir-batin; · (d) Perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan; (e) Perkembangan jasmani;
  3. Menyelenggarakan “Hari Krida” atau hari untuk kegiatan dalam lapangan kebudayaan, kesenian, olah raga, dan permainan pada tiap-tiap hari Sabtu

Pada masa orde baru sampai akhir pelita III, tahun 1964 yang diwarnai oleh Panca Wardhana dan Manipol/Usdek tidak sesuai dengan kebijaksanaan pendidikan Orde Baru tersebut. Kurikulum 1968 disusun dengan bertitik tolak dari dasar dan tujuan pendidikan nasional tersebut dalam konteks pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Dalam penerapan pendidikan Pancasila tidak bisa secara lain kecuali dengan menggunakan akal dan rasa sehingga menghasilkan solah bawa (tindak tanduk). Pancasila bukanlah suatu benda khasiat yang dapat diberi secara serah terima (overgave – overname) seperti barang-barang inventaris, melainkan suatu prinsip hidup bangsa Indonesia berupa kebudayaan yang harus diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui pendidikan.

Kurikulum 1975 yang menggantikan Kurikulum 1968 merupakan suatu usaha pembaharuan di bidang pendidikan dan pengajaran. Hal ini disebabkan karena Kurikulum 1975 bila dibandingkan dengan Kurikulum 1968 terdapat beberapa perbedaan, antara lain dalam orientasi tujuan, jumlah mata pelajaran, dan jam pelajaran. Kurikulum 1975 berorientasi pada tujuan. Terdapat berbagai tujuan yang dirumuskan secara jelas: tujuan institusional harus dicapai oleh keseluruhan program sekolah; tujuan kurikuler pencapaiannya dibebankan pada program studi; dan tujuan instruksional pencapaiannya dibebankan pada program pengajaran suatu bidang studi.

Kurikulum 1994: Merupakan kurikulum nasional yang diperkenalkan pada awal tahun 1990-an dan masih berlaku pada awal periode reformasi. Kurikulum 2004 (KTSP): Kemudian, pada tahun 2004, diperkenalkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberikan lebih banyak kebebasan kepada sekolah dalam mengelola kurikulum mereka. Kurikulum 2013: Pada tahun 2013, diperkenalkan Kurikulum 2013 yang lebih menekankan pada pengembangan karakter, kreativitas, dan keterampilan peserta didik. Kurikulum Merdeka: Pada tahun 2023, sebanyak 70% sekolah sudah menerapkan kurikulum merdeka. Kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.

Perjalanan pendidikan Indonesia begitu panjang untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia dari waktu-waktu. Kini, pendidikan menerapkan kurikulum merdeka dengan projek penguatan profil pelajar Pancasila yang memberikan kesempatan kepada peserta didik.  

Setelah mempelajari topik 1 pada mata kuliah Filosofi Pendidikan, ada banyak pengetahuan baru yang dapat diperoleh, sebagai berikut:

  1. Mengetahui pengetahuan baru berupa sejarah perjalanan pendidikan Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan hingga sekarang.
  2. Mengetahui tokoh-tokoh yang berjasa dalam membangun pendidikan nasional Indonesia.
  3. Prinsip dan pengajaran baru yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Referensi:

Pidato Sambutan Ki Hadjar Dewantara. Dewan Senat Universitas Gadjah Mada, 7 November 1956

Video Pendidikan Zaman Kolonial

Wiryopranoto, Herlina, Marihan, dkk. ”Perjuangan Ki Hajar Dewantara : dari Politik ke Pendidikan”, Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.