Muhammad Rizqi Akbar 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Hari demi hari, semakin banyak aksi damai terjadi. Rasa-rasanya, jika diamati, selalu saja ada aksi protes dan melawan di penjuru dunia. Tujuannya pun beragam, mulai menyuarakan aspirasi hingga memperjuangkan perdamaian. Kebanyakan dilakukan melalui unjuk rasa alias demonstrasi, lengkap dengan orasi, poster, dan atribut lainnya. Namun, ada juga yang berbentuk satire, petisi, lagu, karikatur, aksi mogok, boikot, embargo, dan sebagainya. Di Indonesia, terakhir kita mengenal berbagai gerakan damai seperti Aksi Kamisan, #ReformasiDiKorupsi, Tolak Reklamasi, hingga Wadas Melawan. Melalui gerakan-gerakan itu, beragam tuntutan disuarakan. Misalnya, penolakan terhadap kebijakan yang dinilai mencederai demokrasi hingga desakan untuk mengehentikan perlakuan represif dan pelanggaran HAM terhadap rakyat (Wulansari, 2019). Seketika, gerakan di atas mendapat perhatian dan dukungan dari publik, khususnya di media sosial. Hal itu pun mengundang diskusi panjang dari warganet. Selain mendukung, sebagian orang juga mulai mempertanyakan efektivitas upaya nirkekerasan, meski yang dihadapi adalah pihak yang melanggengkan kekerasan, contohnya aparat. Salah satu hal yang menarik adalah munculnya skeptisisme terhadap penggunaan cara-cara nirkekerasan dalam gerakan rakyat. Lantas, apakah perlawanan nirkekerasan efektif untuk mencapai suatu tujuan, misalnya perdamaian? Para ahli menilai aksi nikekerasan dua kali lebih efektif daripada kekerasan dalam mencapai tujuan politik. Studi Maria Stephan dan Erica Chenoweth (2008, 2011) menunjukkan, tingkat efektivitas aksi nirkekerasan adalah 53%, sedangkan perlawanan dengan kekerasan hanya 26% saja yang berhasil. Terbukti, pada April 2019, dua diktator lama Afrika Utara, yakni Abdelaziz Boutefika (Aljazair) dan Omar al-Bashir (Sudan) berhasil dilengserkan oleh gerakan tanpa kekerasan. Keberhasilan ini pun memperkuat efektivitas aksi nirkekerasan yang selama ini diperdebatkan. Hal yang menarik pada pelengseran tersebut dan aksi serupa adalah peran humor dalam gerakan nirkekerasan (Gallagher dan Navone, 2019). Kekuatan Humor Humor, dan komedi, sering diabaikan dalam studi tentang perdamaian dan nirkekerasan. Gene Sharp, tokoh aksi nirkekerasan hanya menyematkan satu referensi untuk “sandiwara dan lelucon” dalam 198 metode aksi kekerasannya. Meski begitu, humor tidak bisa dipandang sebelah mata. Belakangan ini, semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa humor dapat menjadi salah satu taktik yang efektif untuk membangun perdamaian. Humor dapat membantu menjaga perdamaian. Ahli teori humor, Henri Bergson meyakini hal itu. Menurutnya, tertawa dapat merilekskan individu dan menggeser kecenderungan mereka dari kekerasan. Itulah sebabnya televisi Irak beralih ke komedi, ketika ISIS menekan negara mereka. Penulis dan produser ingin memerangi ketakutan publik terhadap ideologi ISIS melalui sindiran. Ketegangan dalam konflik, bahkan konflik tanpa kekerasan, dapat berdampak pada mereka yang terlibat. Humor menawarkan mekanisme yang efektif di mana gerakan nirkekerasan dapat meredakan ketakutan dan mencapai rekonsiliasi untuk perdamaian yang berkelanjutan. Ada banyak contoh yang mengamini pendapat tersebut. Salah satunya yang dilakukan oleh Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Humor menjadi sarana perdamaian. Semasa hidupnya, Gus Dur menyampaikan humor yang sarat akan makna persatuan dan perdamaian. Selain terlibat aktif dalam gerakan perdamaian melalui politik, Gus Dur juga lihai memainkan humor dalam rangka mencairkan suasana politik yang sedang tegang dan meradang. Tercatat sepanjang Juni–Juli 2001, lawan politiknya terus menyerang dengan beragam isu lewat MPR dan DPR. Meski serangan itu memicu amarah para pendukungnya, Gus Dur tetaplah Gus Dur. dengan mengatasnamakan cinta damai, ia meredakan situasi dengan humornya yang khas. Pernah suatu waktu, ketika diminta mundur oleh para demonstran, Gus Dur dengan santainya menyahut, ”Sampeyan ini bagaimana, wong saya ini maju aja susah, harus dituntun, kok disuruh mundur.” Itulah cara Gus Dur mencairkan ketegangan. Dalam racikan Gus Dur, demokrasi dan humor adalah sesuatu yang berdampingan, bukan bertolak belakang. Guyonan yang ditampilkan Gus Dur seolah menjadi pengingat bagi bangsa ini, betapa pentingnya humor untuk merawat semangat demokrasi di Indonesia. Humor juga telah menjadi bagian budaya bangsa yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Sejarah mencatat, pada era imperialisme modern, humor berkembang sebagai sarana kritik politik. Misalnya saja ludruk. Pada era pemerintah kolonial, ludruk digunakan untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Pada era pendudukan Jepang, ludruk digunakan untuk membangkitkan rasa persatuan dalam menghadapi kolonialisme. Seiring berjalannya waktu, humor masih digunakan sebagai kritik sosial dan politik hingga saat ini. Sebab, humor merupakan jalan untuk menyampaikan kritik tanpa berbuah ketegangan. Berakhirnya Orde Baru turut membawa angin segar dalam kebebasan berekspresi di Indonesia. Kebebasan ini juga termasuk kebebasan para insan seni untuk menyampaikan kritik melalui karya mereka. Faktanya, kebebasan ini juga tidak hanya dirasakan oleh seniman, masyarakat pun merasakan manfaatnya. Contohnya ketika warga Lampung bernama Ummu Hani mempublikasikan foto-fotonya berkubang di lubang-lubang jalan yang rusak di Tanjung Bintang, Lampung Selatan, sebagai sindiran terhadap pemerintah yang tak kunjung memperbaiki jalan. Meski sempat dituduh mencari sensasi, pada akhirnya pihak berwenang pun mendengar kritiknya dan memperbaiki jalan tersebut. Selama satu dekade terakhir, seni komedi tunggal atau stand up comedy, menjadi alternatif hiburan di masyarakat. Hiburan dalam format ini tak jarang mengandung edukasi dan kritik sosial hingga politik. Stand up comedy muncul di ruang publik melalui kompetisi di televisi, segmen hiburan program bincang-bincang politik, hingga penampilan komunitas lokal dari kafe ke kafe. Mengapa Humor Diperlukan Dalam banyak hal, proses humor serupa dengan suatu pendekatan komunikasi standar. Secara umum, beberapa aspek inti humor dan komunikasi menekankan pada isi pesan yang disampaikan, motivasi, dan intonasi. Artinya, tidak bisa dipungkiri, momen penyampaian dan interpretasi materi merupakan faktor kunci dalam menentukan dampak positif atau negatif humor. Jika ingin humor memiliki dampak dan efektif, maka humor perlu terjadi dalam konteks untuk membantu memberikan makna tambahan. Selain itu, humor juga dapat digunakan untuk membantu kelompok rentan mengatasi ketegangan, melepaskan frustrasi, menyembuhkan penyakti mental, hingga meredakan luka emosional. Mark Twain pernah berkata, “Melawan serangan tawa, tidak ada yang tahan.” Bapak sastra Amerika itu membandingkan pentingnya komedi dengan hal-hal lain yang lebih jelas, seperti kekuasaan, uang, bujukan, permohonan, dan penganiayaan. Semuanya bisa dan akan memiliki efek kolosal ketika diberi waktu—apakah akan mengangkat, mendorong, memadati atau melemahkan. Twain percaya bahwa hanya tawa yang bisa “blow it to rags and atoms at a blast.” Inilah yang membuat komedi menjadi senjata yang berbahaya. Hal ini karena komedi membuat pesan lebih mudah dicerna dan disebarkan. Dapat dibilang, komedi merupakan alat yang hebat untuk membuat orang memanas. Namun, komedi bukanlah alat untuk menyindir kekacauan. Meskipun, ia bisa menjadi kekacauan itu sendiri. Hal hebat lainnya tentang humor maupun komedi adalah ia bisa membawa begitu banyak kebijaksanaan di dalam diri kita. Komedi bisa mempermalukan kita, juga membebaskan kita dari keyakinan dan prinsip yang kita pegang. Namun, ia juga mengikat kita pada perbaikan. Penelitian menunjukkan, komedi dapat menurunkan pertahanan dalam polarisasi (Boykoff, 2019). Komedi menangguhkan aturan sosial dan menghubungkan orang dengan ide-ide dan cara berpikir atau tindakan yang baru. Komedi mengeksploitasi celah dalam argumen. Ia menggelitik, menohok, memecut, dan menarik perhatian mereka yang tidak sesuai, munafik, palsu, dan sok. Hal ini membuat dimensi kompleks dari masalah perdamaian terlihat mudah dijelaskan dan mudah untuk dihadapi. Di zaman demokrasi dan web 2.0 saat ini, kebebasan berbicara bukan hanya hak asasi, tetapi juga bisa menjadi platform untuk menyuarakan ide. Namun, ruang untuk seni, khususnya komedi, semakin menyempit. Hal ini ditandai dengan komedi menjadi sasaran empuk penyensoran, intimidasi, dan menekan dasar-dasar kebebasan berbicara, sebuah gagasan yang sebelumnya kita perjuangkan begitu lama. Lalu, di mana posisi komedi di dunia saat ini? Dunia yang penuh dengan polisi yang memproklamirkan diri menangkap pelaku kejahatan. Haruskah seseorang selalu meminta maaf ketika seseorang menyinggung orang lain, khususnya orang yang berkuasa? Perasaan tersinggung tidak bisa menjadi pedoman untuk menentukan apa yang bisa atau tidak bisa dibercandakan. Seberapa tebal buku aturan itu jika hal ini terjadi? Kita juga tidak bisa menyerahkannya semuanya kepada pihak berwenang, karena itu akan membuat kita mundur dan semuanya akan berubah menjadi negeri tiran sekali lagi. Untuk mewujudkan perdamaian melalui humor atau komedi, hendaknya kita tumbuh dari perasaan tersinggung itu. Tidak ada yang terjadi ketika kita tersinggung. Ketika datang ke kebebasan berbicara, itu semua masuk, atau tidak sama sekali. Referensi Afrianto, D. (2020, Juni 29). GUS DUR, HUMOR, DAN DEMOKRASI. Diambil kembali dari Kompas: https://www.kompas.id/baca/riset/2020/06/29/gus-dur-humor-dan-demokrasi/ Boykoff, M. (2019, September 30). Leave ‘em laughing instead of crying: Climate humor can break down barriers and find commo. Diambil kembali dari The Conversation: https://theconversation.com/leave-em-laughing-instead-of-crying-climate-humor-can-break-down-barriers-and-find-common-ground-120704 Chenoweth, E., & Stephan, M. (2011). Why civil resistance works. New York: Columbia University Press. Dwiastono, R. (2022, Juni 29). Komedi Buat Mengkritik Isu Sosial Sampai Politik, Memang Ada Batasannya? Diambil kembali dari VOA Indonesia: https://www.voaindonesia.com/a/komedi-buat-mengkritik-isu-sosial-sampai-politik-memang-ada-batasannya-/6636534.html Gallagher, A., & Navone, A. (2019, Mei 16). United States Institute of Peace. Diambil kembali dari Not Just a Punchline: Humor and Nonviolent Action: https://www.usip.org/blog/2019/05/not-just-punchline-humor-and-nonviolent-action Kusumaningrum, D. (2019, October 3). Untuk Apa Nirkekerasan Kalau…. Diambil kembali dari Institute of International Studies: https://iis.fisipol.ugm.ac.id/2019/10/03/untuk-apa-nirkekerasan-kalau/ Qalbi, A. (2020, Juli 9). Comedy and why it is necessary in keeping the world spinning. Diambil kembali dari The Jakarta Post: https://www.thejakartapost.com/life/2020/07/08/comedy-and-why-it-is-necessary-in-keeping-the-world-spinning.html Stephan, M., & Chenoweth, E. (2008). Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict. International Security, 7-44. doi:10.1162/isec.2008.33.1.7 Wulansari, H. Y. (2019, Oktober 2). Bukan Hanya Demonstrasi: 198 Metode Aksi Nirkekerasan untuk Melemahkan Pilar Kekuasaan. Diambil kembali dari Institute of International Studies: https://iis.fisipol.ugm.ac.id/2019/10/02/bukan-hanya-demonstrasi-198-metode-aksi-nirkekerasan-untuk-melemahkan-pilar-kekuasaan/
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More