Tito Tri Kadafi 0shares Transformasi Ekonomi Melalui Pendidikan: Peran STEM, VR, dan Kemitraan Internasional dalam Menciptakan Pertumbuhan yang Adil Read More “Berjumpa dengan orang Batak adalah pengalaman paling mencekam yang pernah saya rasakan, ada kebencian yang tumbuh setelah kejadian konflik antara orang tua saya dan tetangga Batak di masa kanak-kanak. Namun, itu dulu. Sebelum akhirnya sebuah pertemuan menghancurkan prasangka, sebuah pertanyaan merajutkan perdamaian.” Isu ekstremisme beberapa tahun belakangan kembali hangat. Ini juga didorong dengan kemunculan kasus, sebut saja bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar, dan pembunuhan empat warga oleh kelompok teroris di Sigi, Sulawesi Tengah. Ekstremisme kemudian menjelma sebagai isu prioritas yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia. Namun, bagi saya, ekstremisme, terorisme, radikalisme, adalah istilah-istilah yang harusnya tidak menjebak fokus kita untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) nomor 16 ini. Kebencian, prasangka, dan perasaan sebagai superior ialah akar dari ketiga istilah tersebut. Pembawanya juga berpotensi menurunkan sikap yang demikian pada generasi berikutnya, dan bukan tidak mungkin konfrontasi bahkan eskalasi konflik terjadi. Dalam konteks keragaman, konflik sosial mungkin berlangsung, tetapi dapat dihindari melalui langkah preventif. Sebelum melalui tahapan menyusun aktivitas apa yang baik untuk dilakukannya pencegahan, menggali lebih dalam karakteristik problem statement penting dilakukan. Kembali pada bahasan awal paragraf, kebencian dan prasangka adalah bentuk respons yang muncul dari proses kognisi. Mendasari melalui pernyataan sederhana ini, intervensi perlu dilakukan lebih utama pada kognitif manusia, hal ini yang nantinya akan sebanding dengan peningkatan kemampuan sosio-emosional seseorang dalam berpikir; dalam menentukan pendapat dan perilaku. Konsep superior atau mayoritas yang menjadi tantangan juga perlu diilhami sebagai bagian fenomena masyarakat majemuk. Mendorong terciptanya ruang yang beragam dan inklusif semestinya menjadi jalan ketimbang meleburkan segmentasi masyarakat majemuk dan menjadikan semuanya sama. Hal tersebut justru menghilangkan esensi keragaman masyarakat Indonesia dengan dalih konsep merajut perdamaian. Makna ruang yang beragam identik dengan pertemuan orang-orang dengan latar belakang yang berbeda. Praktik baik seperti ini sejatinya sudah banyak dilakukan oleh para filantropi melalui gerakannya, salah satunya adalah SabangMerauke. Saya jadi teringat 2019 silam, saat mengikuti program pertukaran pelajar SabangMerauke Program ini memasangkan satu orang kakak (mahasiswa), adik (siswa SMP), dan sebuah famili dari berbagai daerah yang awalnya tidak saling mengenal, untuk tinggal bersama selama 20 hari, SabangMerauke mendekatkan saya yang saat itu menjadi “kakak” dengan orang-orang yang berbeda suku dan agama. Melalui kesempatan ini, para peserta, khususnya adik, dapat dengan mudah mengklarifikasi prasangka yang tumbuh terhadap beberapa suku dan agama, yang padahal mereka jarang sekali berinteraksi dengannya. Saya katakan “adik”, sebab beberapa dari mereka datang dari latar belakang yang homogen, saat dipertemukan dengan keragaman, perasaan sumringah, bingung, bahkan ketakutan tak terelakkan dari perilaku dan ekspresi mereka saat pertama kali bertemu. Salah satu bentuk praktik baik yang ada di SabangMerauke bernama Ask Me Anything, yakni pertemuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait prasangka, keunikan, kebiasaan agama atau suku tertentu, dengan objektif menghilangkan prasangka tersebut dari pikiran manusia. Salah satu rangkaian kegiatan SabangMerauke untuk mengunjungi rumah ibadah, yakni Gereja Katedral. Saat pelaksanaan program pertukaran pelajar, praktik ini dilakukan dengan mengunjungi rumah-rumah ibadah, sehingga klarifikasi dapat dilakukan kepada para pemuka agama. Ini adalah hal yang perlu digarisbawahi, yakni pelaksanaan menggunakan metode ini memerlukan pembicara yang memang memiliki kapasitas untuk menjawab pertanyaan, tetapi dalam sebuah konteks, dengan kapasitas yang kita miliki, kita juga perlu percaya diri dan bergerak untuk membantu orang lain menjawab prasangka tentang identitas kita. Jika belum dapat menjawab? sebuah metode bernama “parking lot” bisa jadi dasar untuk kita mempelajari lebih dulu dan menjawab pertanyaan kelak. Pertanyaan yang datang juga tidak dapat dianggap picisan, semisal “Izin bertanya, kenapa biksu itu botak?” tutur salah satu adik saat bertanya pada biksu di Vihara Dhammacakka Jaya. Alih-alih merasa tersinggung karena pertanyaannya menyangkut fisik, lebih dari jawaban mengapa seorang biksu itu botak, penjawab pertanyaan (tak lain adalah biksu tersebut) justru bersikap asertif dan hangat, serta menjelaskannya dengan bahasa yang dapat diterima oleh anak. Kondisi seperti ini yang justru membuat perbedaan bukan lagi sebagai masalah. Anak-anak yang rentan ditanami prasangka/kebencian, perlu mendapatkan edukasi dengan tepat, sehingga ia dapat melihat tiap identitas sebagai manusia seutuhnya, tanpa membandingkan mana yang lebih superior untuk tetap bertahan. Pelaksanaan Ask Me Anything merupakan langkah untuk memberikan kesempatan terbuka seseorang mengetahui lebih banyak. Lebih dari sekadar diskusi, substansi Ask Me Anything hadir untuk menjawab rasa penasaran tanpa ketakutan ataupun perasaan sungkan. Kondisional yang memungkinkan Ask Me Anything dilaksanakan seperti menjelang hari raya keagamaan, perayaan pada suku tertentu, ataupun acara-acara kebudayaan. Objektif ini kemudian dapat dibangun lebih spesifik untuk menciptakan perdamaian pada rangkaian selebrasi atau peringatan tertentu, sehingga kemudian prosesi yang dijalankan dapat lebih khidmat tanpa konflik apapun. Salah satu bentuk praktik baik Ask Me Anything pada perayaan Nyepi umat Hindu. Tulisan ini juga hendak merekomendasikan banyak pihak sebagai bentuk kolaborasi pentahelix, untuk menduplikasi praktik baik ini dengan penyesuaian target sasaran. Target anak-anak memungkinkan mereka teredukasi sejak dini untuk membangun perlakuan positif terhadap perbedaan kultural, tetapi tidak menutup kemungkinan jika duplikasi praktik baik ini dilakukan juga kepada peningkatan kapasitas pemahaman orang dewasa untuk meleburkan setiap prasangka bahkan stereotip, dengan tujuan besar untuk membangun dunia yang lebih damai tanpa tindakan ekstremisme. Perwujudan perdamaian manusia dimulai dari manusia. Kontrol diri dan respons yang toleran terhadap keragaman seyogianya hadir dan dijalankan oleh tiap individu saat hidup di tengah perbedaan. ______ Setelah kejadian konflik yang terjadi antara orang tua saya dan tetangga Batak di masa kanak-kanak dahulu, saya sempat meyakini kalau orang Batak kasar-kasar. Prasangka dan stereotip ini hancur perlahan saat saya banyak memiliki teman dari suku Batak, dan punya banyak kesempatan untuk mengklarifikasi prasangka ini; kenapa orang Batak biasanya bicara sangat kencang? apakah tiap orang Batak kasar-kasar? Pemahaman yang saya dapatkan, bahwa bersikap untuk selalu berpikir kritis dan empati dibutuhkan dalam kehidupan sosial, dan perlu dipupuk sedini mungkin. Meskipun ibarat kemajemukan kadang membuat tiap orang berbeda jalan, tetapi setiap jalan dengan arah yang tepat akan mengantarkan kita kepada kebaikan.
Transformasi Ekonomi Melalui Pendidikan: Peran STEM, VR, dan Kemitraan Internasional dalam Menciptakan Pertumbuhan yang Adil Read More