fbpx
Freepik/odua

Perempuan dalam Balutan Norma dan Budaya

Perempuan dalam Balutan Norma dan Budaya

Oleh Fahtur Rahman Syah

Sejak zaman dinasti Han perempuan telah dipandang sebelah mata, kebanyakan laki-laki menganggap bahwa perempuan hanya diciptakan untuk menjadi pemuas nafsu dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Salah satu contohnya Kartini yang menjadi contoh tokoh yang memperjuangkan hak-haknya. Perempuan dianggap lebih lemah dibandingkan laki-laki yang membuatnya kerap mendapatkan permasalahan baik dalam pekerjaan, pendidikan, dan lain-lain. Permasalahan yang beberapa tahun belakangan terjadi pada perempuan adalah pelecehan hingga kekerasan seksual oleh keluarga, guru, teman dan lain-lain. Dilansir dari CNN Indonesia (19/4/2021) terjadi 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya 2400 kasus. Salah satu contoh kekerasan seksual yang sering terjadi asalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual tak hanya menimpa masyarakat biasa, public figur pun pernah mengalami kasus serupa. Anehnya pelecehan terhadap perempuan tak hanya terjadi pada yang menggunakan pakaian terbuka melainkan pakaian tertutup juga pernah mengalaminya.

Dalam mengatasi permasalahan ini hanya ada langkah yang dapat dilakukan adalah menanamkan sikap yang dapat menciptakan ruang aman bagi perempuan. Langkah tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara pertama adalah pendidikan. Pendidikan merupakan suatu langkah dalam mendidik generasi bangsa. Dalam menciptakan ruang aman haruslah dimulai dari pendidikan dengan memberikan nilai-nilai yang dapat menghormati wanita. Salah satunya adalah memberikan pelajaran terkait sex education. Pelajaran ini sebenarnya tidak asing bagi masyarakat di Papuakarena telah menjadi mata pelajaran wajib yang ada disetiap sekolah mulai jenjang sekolah dasar hingga menengah dengan nama LSE (life skill education). Namun, kemudian muncul pertanyaannya ‘apakah hal ini berhasil?’ jawabannya ‘tidak’. Banyak faktor yang mempengaruhi tidak berhasilnya mata pelajaran ini salah satunya materi yang diulang-ulang disetiap jenjang pendidikan, seharusnya materi yang disampaikan secara bertahap sesuai kemampuan berpikir siswa. Dimana pada usia sekolah dasar seharusnya diberikan materi terkait tidak bolehnya beberapa bagian disentuh oleh orang lain maupun orang tua, penjelasan tersebut kemudian disampaikan secara menyenangkan. Kemudian pada jenjang sekolah menengah pertama guru melanjutkan materi yang telah diajarkan dengan memberikan materi yang lebih berat seputar pergaulan bebas karena pada masa ini siswa sedang dalam tahap mencari identitas diri. Kemudian pada jenjang sekolah menengah atas siswa dituntut untuk dapat mengatasi permasalahan seputar pergaulan bebas bagaimana menjauhinya dan bagaimana terlepas dari pergaulan bebas. Siswa juga diajarkan bagaimana memberikan tanggapan dan membantu mengatasi permasalahan siswa lainnya terkait pergaulan bebas. Sebenarnya melalui kurikulum 2013 pemerintah telah memberikan pengetahuan terkait dengan bahasan yang sama dalam mata pelajaran PJOK. Namun, dalam penerapannya banyak guru yang tidak menjelaskan materi ini dengan baik. Muncul pertanyaan baru ‘apakah hal ini hanya bagi siswa saja? bagaimana jika guru yang menjadi salah satu oknum?

Tak dapat dipungkiri kekerasan seksual dilakukan oleh berbagai orang dari masyarakat, salah satunya guru dan dosen. Guru dan dosen yang seharusnya menjadi contoh bukan menjadi orang yang melakukan tindak kekerasan seksual seperti beberapa kasus terjadi belakangan ini. Kekerasan semacam ini pula pernah dialami oleh kakak dari teman saya dimana ia dilecehkan oleh seorang dosen saat bimbingan skripsi disuatu universitas negeri. Hal ini mengakibatkan pindahnya siswa tersebut di universitas lain demi melanjutkan pendidikannya.

Dalam mengatasi hal ini seharusnya pemerintah memasukan masalah ini kedalam ujian khusus yang dilaksanakan oleh guru dan dosen sebelum menjadi pengajar. Seperti halnya dengan tes TWK, pemerintah juga memberikan tes terkait toleransi masyarakat dan pandangannya terhadap wanita agar tidak terjadinya kekerasan seksual dalam masyarakat. Tes ini juga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan keprofesian berkelanjutan dan penilaian kinerja guru, serta sebagai informasi awal untuk menganalisis lembaga Pendidikan. Kenapa harus tes?

Banyaknya masyarakat yang masih menyalahkan korban dalam berbagai kasus kekerasan seksual membuat korban yang didominasi wanita tidak memiliki ruang untuk menyampaikan masalah yang dihadapi dengan alasan takut, hal ini kemudian berujung pada ketidaktahuan lembaga terkait yang mengurus masalah tersebut. Tuntutan tes ini akan mempermudah masuknya nilai-nilai kedalam sistem sosial  masyarakat yaitu norma dan budaya.

Indonesia negara yang majemuk dengan berbagai suku dan budaya yang kemudian menciptakan sebuah identitas keteraturan dalam masyarakat yang dikenal dengan norma. Aturan norma yang melekat dalam masyarakat merupakan sebuah peraturan tidak tertulis yang ampuh dalam mengatasi pelecehan dan kekerasan seksual dalam masyarakat. Dalam norma masyarakat seharusnya dibentuk kepedulian dilindungi dan melindungi orang lain sehingga jika terjadi masalah sosial norma secara alamiah akan bertindak sebagai peradilan sebelum pergerakan dari aparat penegak hukum.

Dengan di masuknnya nilai-nilai tersebut dalam sosial budaya masyarakat Indonesia dapat menciptakan ruang yang aman bagi perempuan bergerak mengekspresikan diri tanpa kekangan dari berbagai pihak yang hanya menganggap perempuan lemah dan hanyak sebagai objek pemuas nafsu semata. Masuknya nilai ini juga tak hanya berdapak pada perempuan, namun pada laki-laki yang kerap mendapatkan perlakuan serupa karena ruang aman tak hanya dibutuhkan oleh perempuan tapi laki-laki juga. Seperti halnmya perlakukan tidak senonoh yang saya alami disebuah kota dimana ada seorang laki-laki dewasa yang memandanggi saya dengan penuh nafsu kemudian mendekati saya dan mengatakan “hai ganteng” sambil menyentuh pantat saya. Hal ini merupakan perlakuan tidak nyaman sehingga ruang yang aman dan nyaman seharusnya dibentuk untuk seluruh umat manusia.