fbpx
Freepik/pressfoto

Membangun Kesetaraan Gender Demi Terwujudnya Keluarga Sehat, Bahagia, dan Harmonis

Gender equality is more than a goal in itself. It’s a precondition for meeting the challenge of reducing poverty, promoting sustainable development and building good governance – Kofi Annan.

Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama. Namun sayangnya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan serta kekerasan berbasis gender masih menjadi masalah besar di Indonesia. Keluarga yang semestinya menjadi tempat paling aman dan nyaman justru menjadi tempat bersarangnya ketidakadilan peran gender dan pembagian kerja gender dalam keluarga.  Hal tersebut terbukti dari beberapa pekerjaan domestik seperti mencuci, menyapu, mengurus anak, dan memasak masih cenderung dilakukan oleh perempuan hingga menciptakan beban ganda yang membuat perempuan tertindas dan menderita.

Selain itu, banyaknya kasus pelecehan seksual dan penganiayaan terhadap perempuan juga sering terjadi. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, ada sekitar 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode Januari – Juli 2021. Data tersebut naik sebanyak 100 kasus jika dibandingkan dengan tahun 2020 yang mencapai 2.400 kasus. Bahkan angka tersebut akan bisa naik dua kali lipat pada akhir 2021 jika tidak ditanggulangi dengan baik. Terlebih lagi, awal Desember 2021, Indonesia digegerkan dengan adanya berita bunuh diri seorang mahasiswa asal Malang berinisial NWR yang diduga depresi karena dipaksa menggugurkan kandungannya oleh pacarnya yang seorang anggota Polri. Ironisnya, ruang aman bagi perempuan pun seolah semakin sempit. Kesetaraan gender seakan hanya cerita bisu.

Jika ditelisik dari sejarah, perjuangan terhadap kesetaraan gender sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman penjajahan. Salah satunya adalah perjuangan Pahlawan Nasional Emansipasi Wanita R.A Kartini yang berjuang menepis stigma bahwa perempuan tidak boleh belajar dan menempuh pendidikan formal.

Melalui tulisan-tulisannya, R.A Kartini menyerukan persamaan hak mendapatkan pendidikan yang layak bagi perempuan. Sejak saat itu, merdeka belajar dan menempuh pendidikan di Indonesia bagi perempuan mulai dilakukan. Meskipun demikian, sampai saat ini diskriminasi terhadap perempuan masih sering terjadi yang menyebabkan terkekangnya kebebasan perempuan untuk berdaya dan berekspresi.

Fenomena Kesetaraan Gender di Indonesia

Ada beberapa stereotip kuno tentang perempuan yang sepertinya masih mendarah daging di lingkungan sosial. Perilaku seksisme atau kata-kata yang cenderung merendahkan perempuan sering kali terlontar baik sengaja maupun tidak sengaja.

Adapun 4 prilaku seksisme yang paling sering dialami oleh perempuan adalah sebagai berikut:

Perempuan adalah Makhluk Lemah dan Tak Berdaya

Meskipun kampanye kesataraan gender terus menerus digencarkan, ternyata dalam beberapa kondisi, perempuan masih dianggap sebagai makhluk lemah tak berdaya. Contohnya seperti posisi executive chef pada restoran yang biasanya didominasi oleh laki-laki. Hal tersebut karena pekerjaan sebagai chef adalah pekerjaan yang keras dan berat. Banyak yang beranggapan perempuan tidak akan bisa melakoni pekerjaan tersebut padahal belum tentu demikian.

Perempuan Tidak Boleh Berpendapat

Pada suatu forum, sering kali pendapat seorang perempuan diragukan, bahkan tidak diizinkan untuk berpendapat. Hal tersebut pernah dialami oleh seorang teman penulis yang memberikan usul pada rapat Karang Taruna justru dicibir oleh anggota laki-laki, sehingga orang tersebut sampai saat ini tidak berani berpendapat.

Demikian pula halnya dalam keluarga. Ketika ada pertemuan penting, seringkali pendapat istri atau anak perempuan akan jarang didengarkan. Hal tersebut terjadi karena perempuan dinilai sebagai sosok yang tidak tahu apa-apa.

Perempuan Tidak Boleh Berpendidikan Tinggi

Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, nanti nggak ada lelaki yang mau sama kamu.

Ngapain perempuan sekolah sampai S3, toh pada akhirnya hanya untuk dapur, sumur, dan kasur.

Ungkapan kuno ini sering kali kita temui di kehidupan sehari-hari, baik di media sosial, sekolah, maupun lingkungan keluarga. Secara tidak langsung ungkapan tersebut menyudutkan perempuan dan menganggap bahwa laki-lakilah yang pantas memiliki pendidikan tinggi.

Apalagi pada negara yang menganut sistem patriakis, di mana laki-laki harus selalu dihormati meskipun itu harus menginjak harga diri perempuan. Padahal kesetaraan gender yang sesungguhnya adalah memberikan hak dan kesempatan yang sama untuk laki-laki dan perempuan dalam mengembangkan potensi dirinya.

Setelah Menikah, Perempuan Harus Bisa Bekerja dan Mengerjakan Pekerjaan Rumah Sekaligus

Dalam masyarakat berpenghasilan rendah dan tradisional, anak laki-laki dan perempuan sering kali terikat oleh kebiasaan kuno yang menentukan bahwa pekerjaan rumah adalah pekerjaan perempuan.

Perempuan yang masa mudanya memiliki karir cemerlang, setelah menikah mungkin mengalami guncangan yang cukup ekstrem jika tidak ada dukungan dari suami.

Lebih parahnya lagi, kebanyakan laki-laki tetap menuntut perempuan untuk bekerja namun juga harus mengurus pekerjaan rumah tangga seorang diri. Sang suami hanya bekerja. Urusan rumah tangga adalah tugas istri. Menyapu, memasak, mencuci baju, mengurus anak, melayani suami dan seluruh anggota keluarga juga harus dilakukan oleh seorang istri sembari bekerja.

Pentingnya Membangun Kesetaraan Gender Demi Terciptanya Keluarga Utuh dan Bahagia

Kesetaraan gender dalam relasi keluarga menjadi salah satu pondasi dalam mewujudkan ketahanan keluarga yang harmonis. Kesetaraan gender dapat dilakukan melalui pembagian peran anggota keluarga dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, termasuk pengasuhan dan perlindungan anak. Dilansir dari Human Right Career dalam walipop.detik.com, kesetaraan gender memberikan manfaat yang luar biasa dalam menjaga ketahanan keluarga, yaitu:

Membantu Finansial Keluarga

Kondisi finansial merupakan aspek penting yang seringkali menjadi penyebab keretakan keluarga apabila tidak segera diatasi. Terlebih pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini yang mengguncang perekonomian. Jika dalam kondisi ini istri dibiarkan bekerja, maka ia akan mampu membantu suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Jika gaji suami habis untuk memenuhi kebutuhan seperti cicilan rumah, tagihan listrik dan air, maka gaji istri dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dapur dan kebutuhan anak. Sisanya, gaji tersebut dapat ditabung untuk memenuhi kebutuhan lain. Dengan demikian kesetaraan gender dalam hal finansial akan dapat terwujud.

Anak Tumbuh Lebih Sehat

Urusan mengasuh anak sering sekali menjadi stereotip tugas perempuan saja. Padahal sebenarnya mengurus dan mendidik anak merupakan tanggung jawab suami istri. Bonding yang baik antara ayah dan ibu akan berdampak positif terhadap perkembangan anak. Anak akan cenderung lebih bahagia jika dibesarkan dalam lingkungan keseimbangan gender yang baik daripada yang dibesarkan dengan ketidakseimbangan pola asuh orang tuanya.

Menumbuhkan Keharmonisan

Keterlibatan   suami   dalam   kegiatan rumah  tangga dapat  meningkatkan  rasa  kebersamaan, terutama pada keluarga yang memiliki karir ganda. Kehidupan keluarga karir ganda ini menimbulkan suatu pola hidup yang lebih kompleks dan membutuhkan keseimbangan, penyesuaian dan  pengertian  dari  seluruh  anggota  keluarga  agar  tercapai suatu kehidupan   keluarga   yang  sehat, bahagia, dan harmonis. Seperti   yang  tercantum dalam penelitian Rahmawati (2015) bahwa jika suami ikut terlibat dalam kegiatan rumah tangga, istri akan merasa sangat terbantu karena perhatian suami. Tugas keluarga akan terasa lebih ringan apabila dikerjakan bersama-sama. Dengan demikian keharmonisan keluarga akan terbentuk.

Menjadi Role Model Bagi Anak

Penerapan kesetaraan gender dalam keluarga dapat dimulai dengan berbagi peran domestik antara suami dan istri. Misalnya ketika ibu memasak, ayah membantu membereskan rumah. Ibu mencuci, ayah bantu jaga anak.

Berdasarkan penelitian, pasangan suami istri yang sama-sama mengambil peran dalam pekerjaan rumah tangga akan merasa lebih baik dan terbuka dengan anak-anaknya sehingga anak-anak tumbuh dengan kemampuan diri yang lebih tinggi dengan keyakinan diri lebih besar, cenderung lebih matang dan dapat bergaul serta mampu menghadapi berbagai masalah. Perkembangan berkomunikasi pada anak-anak tersebut pun menjadi lebih tinggi

Jika peran tersebut selalu dilakukan dengan penuh kesadaran, maka orang tua akan bisa menjadi role model bagi anak. Mereka akan belajar saling menghormati dan mengasihi sesama. Alhasil, pemahaman tentang kesetaraan gender pun akan dibawanya pada lingkungan sosial di luar keluarga dan masa depannya.

Kesimpulan

Begitu pentingnya kesetaraan gender membuat kita harus memperhatikan asas keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Terlebih keluarga sebagai fondasi awal yang dapat mewujudkan kesetaraan gender demi pembangunan berkelanjutan. Oleh karenanya, mari kita ciptakan ruang aman dan nyaman bagi perempuan, teguhkan hati, saling support satu sama lain dan wujudkan kesetaraan gender pada lingkungan keluarga dan masyarakat.

Jalan-jalan ke Sibolga,

Jangan lupa membeli Badar.

Kalau Anda sayang keluarga, 

mari wujudkan kesetaraan gender. 

(Pantun by Ayu Natih Widhiarini).

****

Referensi :

Antaranews. 2019. Yohana, Kesetaraan Gender Sebagai Kunci Keluarga Harmonis. https://www.antaranews.com/berita/1112696/yohana-kesetaraan-gender-sebagai-kunci-keluarga-harmonis. Diakses pada 4 Desember 2021.

CCNIndonesia. 2021. Ada 2.500 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Sepanjang 2021. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210819042140-20-682186/ada-2500-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-sepanjang-2021. Diakses pada 4 Desember 2021.

Rahmawati, Anita. 2015. Harmoni dalam Keluarga Perempuan Karir: Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan gender dalamKeluarga. Jurnal Palastren. Vol.8 No.1.

Wolipop.2020. Kesetaraan Gender Diperlukan Untuk Keluarga Masa Kini, Kenapa? . https://wolipop.detik.com/love/d-5151753/kesetaraan-gender-diperlukan-untuk-keluarga-masa-kini-kenapa. Diakses pada 4 Desember 2021.