fbpx
Pixabay/Yulius Gustav Ndolu Widyasputra

Warisan Arsitektur Kota Terus Dibiarkan Mati Suri?

Bangunan dan warisan arsitektur merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam wisata sejarah dan warisan budaya. Arsitektur telah menjadi komoditas penting dari modal budaya yang merepresentasikan kebudayaan dan peradaban. Estetika ruang yang tercipta dalam konstruksi arsitektur mendefinisikan sense-of-place pada interaksi manusia dengan persepsi multidimensional spasial. Dalam bidang kesejarahan, arsitektur menghasilkan konteks tertentu yang menjelaskan testimoni atas peristiwa sejarah. 

Pemanfaatan warisan arsitektur kota secara maksimal dan terpelihara dalam kerangka pariwisata berkelanjutan terbukti memberikan keuntungan dan membangun nilai-nilai dalam sosial, ekonomi, dan lingkungan. The British Urban Regeneration Association (BURA) menyatakan bahwa bangunan dan warisan arsitektur bertindak sebagai titik fokus upaya regenerasi kawasan atau klaster, dan meningkatkan nilai utilitas bangunan pada kawasan. Sayangnya, tidak sedikit dari bangunan dan warisan arsitektur Indonesia berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Beberapa penyebab utamanya antara lain yaitu penataan kota yang buruk, komitmen dan aksi politis yang tidak berpihak pada pelestarian cagar budaya bangunan, hak penguasaan bangunan yang tidak diurus, hingga edukasi masyarakat yang minim. 

Pembiaran terhadap bangunan dan warisan arsitektur di satu sisi dapat diamati pada kawasan Kota Tua Medan dan kawasan Pecinan Lasem. Di lain sisi, beberapa lainnya dirobohkan untuk dibangun gedung komersial baru, pelebaran jalan, dan alasan-alasan lainnya. Pembongkaran bangunan sejarah Hotel Des Indes dapat dijadikan contoh korban pembangunan tanpa apresiasi sejarah. Padahal, semua bangunan dan warisan arsitektur di atas menempati posisi strategis jantung kota dan memiliki signifikansi masing-masing pada masanya.

Melihat potensi warisan arsitektur kota dan permasalahan yang terjadi, penyusunan pedoman rancangan kepariwisataan berkelanjutan pada warisan arsitektur kota menjadi penting. Sesuatu yang dapat dilaksanakan melalui kolaborasi Quintuple Helix Innovation Model dalam pengembangan nilai warisan arsitektur. Nah, salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah melalui strategi narasi dan cipta ruang. 

Narasi

Konsep pengembangan narasi warisan budaya dalam konteks pariwisata dan ekonomi kreatif (storynomics tourism) merupakan bagian metode strategi promosi pariwisata yang dicanangkan pemerintah Indonesia, di samping konten kreatif dan budaya hidup (living culture). 

Pembentukan komposisi narasi didesain berdasarkan interpretasi yang diprioritaskan. Narasi yang terbentuk perlu dipahami dan ditempatkan dalam suatu proses terungkap serta memiliki signifikansi dalam menjelaskan rangkaian peristiwa yang lebih besar. Audiens diposisikan sebagai tokoh atau pengamat yang terlibat aktif dalam penarasian. Pada akhirnya, narasi menciptakan reaksi yang menginspirasi audiens untuk melakukan aksi tertentu.

Penerapan strategi wisata berbasis narasi relevan dengan pergeseran teknik promosi dalam dunia pemasaran secara umum ini.  Dalam arsitektur, narasi adalah komponen kunci yang sering diabaikan. Terlepas dari usia, setiap bangunan, struktur, fasad, dan lanskap memiliki cerita sendiri. Sophia Psarra melalui buku  Architecture  and  Narrative menjelaskan bahwa geometri dan konfigurasi hubungan struktural bangun terhadap keutuhan bangunan. Geometri dan konfigurasi ini mendefinisikan bidang visual dari individu pengamat dalam menciptakan makna. Lebih lanjut, narasi arsitektur berkembang dari eksplorasi reflektif kepada fungsionalitas, konteks lingkungan, dan penempatan dalam sejarah.

Cipta Ruang

Konsep cipta ruang atau disebut juga dengan istilah placemaking, dapat dipahami sebagai proses pembaruan, peremajaan, dan atau revitalisasi berbasis komunitas (community-centric) yang menciptakan, mempertegas, maupun mengubah suatu kawasan. Setiap kawasan memiliki keunikan yang memengaruhi lingkungan sosial sekitar. Dalam arsitektur, terkadang ada nilai dan makna yang tidak dapat dijelaskan dengan sifat keruangan dan kebendaannya. Maka dari itu, pendekatan cipta ruang dibutuhkan dalam penataan ruang untuk mengembangkan aspek fungsionalitas dari ruang tersebut.

Dalam konteks kepariwisataan, ruang dan tempat menciptakan atraksi wisata dan atraksi wisata menghasilkan kehadiran turis, bisnis, dan aktivitas ekonomi. Cipta ruang berperan dalam penyediaan dan pembangunan infrastruktur pelayanan dan ruang publik. Berkenaan dengan ini, nilai arsitektural merupakan manfaat kebendaan (tangible) dalam cipta ruang pariwisata, sedangkan nilai budaya dan alam merupakan manfaat tak benda (intangible) yang ditangkap dan  membentuk persepsi wisatawan.

Pengadopsian narasi dan cipta ruang bukanlah hal yang baru dalam pengembangan ekonomi baru pariwisata di berbagai negara. Singapura telah menggunakan konsep pendekatan ini dalam intervensi kepariwisataan di kawasan Pecinan Singapura dan Little India dengan memanfaatkan keragaman komunitas etnik dan tata ruang pemukiman yang sudah terbentuk. Selain Singapura, contoh terdekat dari negara yang sudah menerapkan narasi dan cipta ruang adalah Malaysia, dengan kota warisan budaya Melaka yang kaya akan sejarah Kerajaan Melayu dan peranakan Baba-Nyonya. Di Indonesia sendiri, proyek perintis dari pengembangan wisata berbasis narasi dan cipta ruang dijelaskan sebagai berikut :

Mbloc : Kebangkitan Kembali Pusat Kreatif Jakarta

Kawasan Blok M menikmati masa kejayaannya pada dekade 80 dan 90-an. Tersohor sebagai tempat berkumpul muda-mudi ibu kota, Blok M berubah wujud menjadi wadah dan ruang bagi komunitas kreatif remaja Jakarta. Musik disko-pop, roller skate, skateboard dan breakdance merupakan beberapa tren hits yang berkembang di sini. Budaya pop Blok M tertangkap jelas dalam berbagai sandiwara radio dan film seperti Catatan si Boy, Olga Sepatu Roda, dan Lupus.

Pamor Blok M meredup pada tahun 2000-an, seiring perubahan zaman dan hadirnya pusat belanja dan hiburan baru di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Melihat potensi dan narasi kreatif pada kawasan ini, terciptalah Mbloc Space yang resmi dibuka pada September 2019. Diprakarsai oleh Handoko, Glenn Fredly, dan rekan-rekan lainnya, Mbloc Space memanfaatkan kompleks gudang percetakan uang dan rumah dinas Perum Peruri yang tidak terpakai selama kurang lebih 30 tahun. Secara lokasi dan letak tata ruang, kompleks Peruri ini berada dalam kawasan strategis komersial dan transit. Berdekatan dengan Blok M Square, Blok M Plaza, dan Stasiun MRT Blok M membuat Mbloc Space cocok sebagai proyek percontohan penjenamaan dan revitalisasi kawasan.

Revitalisasi dilakukan dengan mempertahankan desain dan arsitektur khas bergaya retro dan tropis. Deretan rumah dinas yang berdekatan dengan jalan raya dialihfungsikan menjadi shophouse jenama lokal mulai dari bidang kuliner, fesyen, komik dan animasi, hingga musik. Di bagian belakang, terdapat 2 gudang yang masing-masing difungsikan sebagai Mbloc Live House dan Restoran Oeang, ditambah 2 gudang pada fase 2 sebagai Mbloc Market dan Museum Peruri. 

Berbagai kegiatan kreatif secara rutin dilangsungkan di setiap ruang dan  bangunan kawasan Mbloc Space. Diskusi publik, lokakarya, seminar, dan konser adalah beberapa kegiatan diantaranya. Dengan pendekatan narasi dan cipta ruang yang diterapkan, Mbloc Space berhasil meningkatkan nilai bangunan dan arsitektur pergudangan Peruri menjadi ruang publik yang hidup, dan secara umum membangkitkan kembali Blok M sebagai kawasan kreatif. Tidak hanya itu, penjenamaan kawasan yang dilakukan juga berdampak positif bagi sosio-kultural dan ekonomi pelaku kreatif, komunitas, dan masyarakat sekitar.

Kota Lama Semarang : Wajah Baru dan Masyarakat Berdaya

Konsep pendekatan narasi dan cipta ruang juga dilakukan dalam program penataan ulang dan revitalisasi fungsi kawasan Kota Lama Semarang oleh Pemerintah Kota Semarang. Kawasan cagar budaya seluas 31 hektar ini memegang peranan yang penting dalam ekonomi dan administrasi perkebunan dan komoditas gula sejak dibentuknya kota ini pada akhir abad ke-17 hingga abad ke-19. Tata ruang dominan bergaya Barat dengan bangunan bergaya perpaduan antara barok dan indies sebagaimana kota administrasi lainnya, Jakarta dan Surabaya. Pusat kota terdiri dari balai kota, katedral, dan sumur, sedangkan periferal terbagi menjadi kawasan perniagaan, benteng, hiburan, dan taman. 

Upaya pengembangan Kota Lama Semarang sebagai kawasan wisata dan warisan budaya sejatinya telah dimulai pada 1992 dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah No. 2 tahun 1992. Selama 20 tahun berbagai kegiatan seperti perlindungan kawasan terhadap banjir, perbaikan akses jalan, dan acara-acara kesenian telah dilakukan dan terlaksana, namun peningkatan jumlah wisatawan masih belum signifikan. Melalui seminar & lokakarya internasional Urban Heritage Sustainable Infrastructure Development, para ahli di bidang sejarah, cagar budaya, arsitek, arkeolog, dan budayawan menyimpulkan bahwa kendala pengembangan kawasan Kota Lama Semarang terletak pada bangunan dan arsitektur yang tidak terawat, pemilik atau ahli waris bangunan yang tidak dilibatkan, dan pendanaan yang tidak mencukupi. 

Pada 2015, 4 pilar yang berperan untuk kawasan cagar budaya, yaitu warga Kota Lama, akademisi, pemerintah, dan sektor swasta dipertemukan. Melalui forum pertemuan yang dilakukan, terbentuklah paguyuban warga kota lama bernama AMBO (Asosiasi Masyarakat mBangun Oudestadt). AMBO menjadi tempat bertukar pikir, saling mengedukasi, senasib sepenanggungan dalam hidup bertetangga, dan menjalin komunikasi dengan pihak terkait, seperti tim ahli, komunitas, dan pemerintah. Dari sinergi dan kolaborasi ini, restorasi dan konservasi 105 bangunan terdaftar dapat terlaksana melalui beberapa fase. 

Dampak positif penerapan pendekatan narasi dan cipta ruang telah dirasakan sejak pengerjaan hingga selesainya revitalisasi fase 1 2017-2019. Jumlah pengunjung pada 2019 tumbuh 21% dari tahun sebelumnya, dengan pembagian 61 ribu wisatawan asing dan 2,6 juta wisatawan nusantara. Sejumlah kafe, restoran, kegiatan temporer dikelola sendiri oleh pemilik bangunan menambah nilai ekonomi dari bangunan dan kawasan. Selain itu acara Pasar Semawis, Keroncong Generasi, dan Semarang Night Carnival yang diselenggarakan tiap tahun turut menambah pengalaman dan daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung.

Dari revitalisasi Mbloc Space dan Kota Lama Semarang, kita dapat mengetahui bahwa pendekatan narasi dan cipta ruang dimulai dengan kajian historis, budaya, dan sosiologis terhadap kawasan wisata yang ingin dikembangkan. Berikutnya, hasil kajian dipublikasikan sebagai dasar dan bahan pertimbangan rancangan pengembagan wisata. Pemerintah, masyarakat, para ahli, dan pemangku kemudian berkolaborasi dalam konservasi bangunan dan penciptaan ruang publik. Dari pendekatan yang dilakukan, didapati pengaruh positif pada aspek ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat sekitar kawasan wisata. Dengan demikian, warisan arsitektur kota memiliki potensi yang besar untuk dihidupkan kembali sebagai bagian terintegrasi dari pariwisata berkelanjutan urban.

Referensi:

Collins, T. 2016. Urban civic pride and the new localism. Transactions of the Institute of British Geographers. 41 (2):175-186. Diakses pada 25 September 2021.

Dewantara, G.A.H, ., Fitriyah, Astuti, P. 2017. Kajian implementasi program revitalisasi kawasan Kota Lama sebagai kawasan pariwisata di Kota Semarang. Journal of Politic and Government Studies. 6 (4): 41-50. Diakses pada 25 September 2021.

Karacor, E. 2014. Placemaking approachment to accomplish social sustainability. European Journal of Sustainable Development. 3 (4): 253-262. Diakses pada 25 September 2021.

Lew, A. 2017. Tourism planning and place making: place-making or placemaking? Tourism Geographies. 19 (3): 1-19. Diakses pada 25 September 2021.

Murtomo, B.A. 2008. Arsitektur kolonial Kota Lama Semarang. Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman. 7 (2): 69-79. Diakses pada 25 September 2021.

Plzáková, L. 2015. Economic and social impacts of cultural tourism. 2nd International Multidisciplinary Scientific Conference on Social Science and Arts. 2 (3): 1-8. Diakses pada 25 September 2021.

Rahman, N.A., Halim, N., & Zakariya, K. 2018. Architectural value for urban tourism placemaking to rejuvenate the cityscape in Johor Bahru. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering. 401 (2): 1-9. Diakses pada 25 September 2021.

Rashid, M. 2010. Architecture and narrative: the formation of space and cultural meaning. The Journal of Architecture. 15 (4): 543-549. Diakses pada 25 September 2021.

Scerri, M., Edwards, D., & Forley, C. 2016. The value of architecture to tourism. 26th Annual CAUTHE Conference. Februari 2016, Sydney, Australia. Hal. 1-21. Diakses pada 25 September 2021.

Sukasta, K.A.G., & Winandari, M.I.R. 2020. Placemaking in Tanah Abang: between dimensions and intensity of pedestrian ways. International Journal on Livable Space. 5 (1): 1-10. Diakses pada 25 September 2021.

Trifena, L.J. & Dewi, S.P. 2020. Pengaruh revitalisasi kawasan Kota Lama Semarang terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. Diakses pada 25 September 2021.

Yuliati, D. 2019. Mengungkap sejarah Kota Lama Semarang dan pengembangannya sebagai asset pariwisata budaya. ANUVA. 3 (2): 157-171. Diakses pada 25 September 2021.

Zadel, Z. & Bogdan, S. 2013. Economic impact of cultural tourism. UTMS Journal of Economics. 4 (3): 355–366. Diakses pada 25 September 2021.

Zatwarnicka-Madura, B., & Nowacki, R. 2018. Storytelling and its impact on effectiveness of advertising. Conference: 8th International Conference on Management “Leadership, Innovativeness and Entrepreneurship in a Sustainable Economy”. November 2018, Częstochowa, Polandia. Hal. 694-699. Diakses pada 25 September 2021.